e Tersedianya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah publik
Menurut Dunn 1994problemstructuring memiliki 4 fase yaitu :
a Pencarian masalah problem search b Pendefenisian masalah problen definition
c Spesifikasi masalah problem spesification d Pengenalan masalah problem setting
Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki dan brainstroming,
analisis multi prespektif, analisis asumsional serta pemetaan argumentasi.
2. Policy Formulation
Woll 1966 berpendapat bahwa formulasi kebijakan berarti pengembangan
sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap analisis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk
menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan yang terbaik dari kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain.
3. Policy Adoption
Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stekeholders atau pelaku yang terlibat.
4. Policy Implementasi
Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit – unit eksekutor birokrasi pemerintah tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber
daya lainnya teknologi dan manajemen, dan pada tahap ini monitoring dapat
dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki1993 bahwa implementasi berkaitan
dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir,
mengintreprestasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.
5. Policy Assesment
Dalam tahapan ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan.
Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai – nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.
2.2. Implementasi Kebijakan 2.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau
disetujui. Seperti dinyatakan Anderson : “ Kebijakan dibuat saat ia sedang diatur
dan diatur saat sedang dibuat “Anderson, 1975 : 98”. Implementasi adalah
pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara – cara lain, akan tetapi biasanya kita cenderung menganggap sistem politik sebagai yang menambah problem,
dengan menarik garis pemisah antara kebijakan dan administrasi. Parson, 2008 : 464
Perbedaan antara kebijakan sebagai politik dan administrasi sebagai implemenatsi, maka penjelasan tentang implementasi akan dikaji lebih lanjut
dengan memberikan pengertian terhadap studi implementasi. Studi implementasi adalah studi perubahan, yaitu bagaimana perubahan terjadi, merupakan suatu
kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu
proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam
proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan
oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach dalam Leo Agustino
2006:138, yaitu: ”Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata- kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para
pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk
mereka anggap klien.”
Sedangkan, Van Meter dan Van Horn dalam Leo Agustino 2006 : 139
mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-
kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan- tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”
Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni
pendekatan top down, yang muncul pertama kali. Model ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa – apa yang diperintahkan,
dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Sedangkan model bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi dilapangan memberikan keleluasaan
dalam penerapan kebijakan, namun pada dasarnya mereka bertitik - tolak pada asumsi - asumsi yang sama dalam bentuk mengembangkan kerangka analisis
tentang studi implementasi. Parson, 2008 : 463 - 471
Berangkat dari perspektif tersebut, maka timbullah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Sampai sejauhmana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten dengan keputusan kebijakan tersebut?
2. Sejauhmana tujuan kebijakan tercapai? 3. Faktor-faktor apa yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak
kebijakan? 4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai pengalaman
lapangan? Empat pertanyaan tersebut mengarah pada inti sejauhmana tindakan para
pelaksana sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan para pembuat kebijakan dilevel pusat. Fokus tersebut membawa konsekuensi pada
perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan.
2.2.2. Model-Model Implementasi Kebijakan Publik
Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.
Dalam bukunya Public Policy, Riant Nugroho 2009, 494-495 memberi
makna implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang”
. Ditambahkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik,
ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan publik tesebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini
adalah antara lain Richard Matland 1995, Helen Ingram 1990, dan Denise Scheberle 1997.
2.2.2.1 Model Van Meter dan Van Horn
Model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn 1975. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik,
implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 2. Karakteristik agen pelaksanaimplementator
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik 4. Kecenderungan disposition pelaksanaimplementor.
Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 faktor, yaitu : 1 Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan dan
keputusan kebijakan secara umum. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran
kebijakan kabur, maka akan terjadi multiintrepretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen impelementasi.
2 Sumberdaya kebijakan berupa dana pendukung implementasi. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumber daya
manusia human resources maupun sumberdaya non manusia non human resources
. Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti program jaringan pengaman sosial JPS untuk kelompok miskin dipedesaan kurang
berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana. 3 Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan
oleh pelaksanaan untuk memakai tujuan yang hendak dicapai bagi keberhasilan suatu program.
4 Karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program,
mencakup struktur birokrasi, norma – norma, dan pola – pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua itu akan mempengaruhi implementasi
suatu program. 5 Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil
kebijakan. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok
– kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak,
bagaimana sifat opini publik yang ada dilingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
6 Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan. Disposisi
implementor ini mencakup akan tiga hal, yakni : a Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan
kebijakan, b Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, c Intensitas disposisi implementor, yakni
preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Komunikasi antar organisasi Dan kegiatan pelaksana
Sumber : Van Meter dan Horn, 1975 : 463
2.2.2.2 Model Grindle1980
Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle 1980:7
menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan
pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy isi kebijakan dan Contex of Implementation
konteks implementasinya. Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1 Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan interest affected. 2 Jenis manfaat yang dihasilkan tipe of benefit.
3 Derajat perubahan yang diinginkan extent of change envisioned. 4 Kedudukan pembuat kebijakan site of decision making.
5 Para pelaksana program program implementators.
Ukuran dan tujuan Kebijakan
Sumber daya Karakteristik
badan pelaksana Disposisi
Pelaksana Kinerja
Implemen tasi
Lingkungan ekonomi,sosial dan politik
6 Sumber daya yang dikerahkan Resources commited.
Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Grindle
Tujuan yang ingin
dicapai
mengukur keberhasilan
Sumber : Samodra Wibawa, 1994 : 23
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud :
Melaksanakan kegiatan
dipengaruhi oleh : a Isi Kebijakan
1. Kepentingan yang dipengaruhi
2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan
yang diharapkan 4. Letak pengambilan
keputusan 5. Pelaksana program
6. Sumberdaya yang dilibatkan
Hasil kebijakan a. Dampak pada masyarakat,
individu, dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan oleh
masyarakat Tujuan
kebijakan
Program aksi dan proyeksi individu yang
didesain dan dibiayai Program yang dijalankan
seperti direncanakan ?
1 Kekuasaan power. 2 Kepentingan strategi aktor yang terlibat interest strategies of actors
involved .
3 Karakteristik lembaga dan penguasa institution and regime characteristics
. 4 Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana compliance and responsiveness.
2.2.2.3 Model Mazmanian dan Sabatier 1983
Model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier 1983 yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut model kerangka
analisis implementasi a framework for implementation analysis.
Mazmanian - Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke
dalam tiga variabel, yaitu:
1. Variabel Independen
Mudah - tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti
apa yang dikehendaki
2. Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya
teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan
pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan
indikator kondisi sosio – ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan
kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3. Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari : pertama, pemahaman dari lembaga atau badan
pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana; kedua, kepatuhan objek; ketiga
, hasil nyata; ke empat, penerimaan atas hasil nyata; dan ke-lima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik
sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Gambar 2.4 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier
Karakteristik Masalah : 1. Ketersedian teknologi dan teori teoritis
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi
4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan
Sumber : Samodra Wibawa, 1994:26
2.2.2.4 Model George Edward III 1980
Menurut George Edward III administrasi publik adalah lack of attention to
implementation . Dikatakannya, without effective implementation the decission of
policymakers will not be carried out successfully
. Edward menyarankan untuk
memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan beureucratic
structures .
1 Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi danatau publik, ketersediaan sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan konsistensi, tujuan sasaran
2. Teori kausal yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi
4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Dikresi pelaksana
6. Rekrutmendari pejabat pelaksana 7. Akses formal pelaksana keorganisasi lain
Variabel Non – Peraturan 1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi
2. Perhatian pers terhadap masalah kebijakan 3. Dukungan publik
4. Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama 5. Dukungan kewenangan
6. Komitment dan kemampuan pejabat pelaksana
PROSES IMPLEMENTASI
Keluaran kebijakan Kesesuain
Dari organisasi keluaran
Dampak aktual Dampak yang
Pelaksana kebijakan dengan keluaran
diperkirakan
2 Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan
pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif. 3 Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk
carry out kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi,
tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. 4 Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang
menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic fragmentation karena struktur
ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena
kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan atau pemerintahan.
Gambar 2.5 Model Implementasi George Edwards III
Sumber: Winarno, 2002: 125
2.3. Identifikasi Hubungan Antar Variabel Implementasi dalam Penelitian
Pelaksanaan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tidak
bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Maksudnya, adalah pada tahap ini bermacam alternatif strategi diperhitungkan dengan menggunakan kriteria yang
berdasarkan atas nilai – nilai yang ada dalam masyarakat. Perhitungan nilai – nilai bergantung pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan – pendekatan ini
mempunyai nilai berbeda dalam melihat hakekat dari kebijakan publik yang dengan sendirinya mempunyai pengaruh pada proses kebijakan publik.
Di karenakan penelitian sosial pada dasarnya merupakan usaha mencari hubungan diantara variabel – variabel maka atribut apapun juga tidak bervariasi
tidak dapat hubungannya dengan sesuatu yang lain. Oleh karena itu seorang peneliti perlu melakukakn identifikasi terlebih dahulu terhadap variabel
penelitiannya. Identifikasi variabel merupakan langkah penetapan variabel – variabel utama dalam penelitian dan penetuan fungsinya masing – masing. Untuk
memudahkan pengertian akan fungsi setiap variabel, kita lihat lebih dahulu
gambar 2.6 yang menggambarkan suatu hubungan umum yang sederhana diantara variabel – variabel berikut ini :
Gambar : 2.6 Hubungan antara variabel -variabel V
� V
� V
�
Variabel Bebas Variabel Tergantung
Sumber : Saifuddin Azwar 1998 : 61 Dalam gambar 2.6, V4 adalah suatu variabel yang variasinya dipengaruhi
oleh variasi beberapa variabel lain yaitu, V1, V2,dan V3. Variasi variabel V1, V2,dan V3 dapat terjadi secara alamiah dan dapat pula terjadi lewat manipulasi
atau kehendak peneliti sedangkan variasi variabel V4 dalam model ini tergantung pada variasi ketiga variabel tersebut. Variabel V1, V2,dan V3 merupakan variabel
bebeas independent dan variabel V4 merupakan variabel tergantung
dependent . Variabel tergantung dependent adalah variabel penelitian yang diukur
untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain. Besarnyavariabel tersebut diamati dari ada – tidaknya, timbul – hilangnya, membesar –
mengecilnya, atau berubahnya variasi yang tampak sebagai akibat perubahan pada variabel lain. Maksudnya variabel tergantung tersebut merupakan kinerja dari
implementasi kebijakan tersebut. Sedangkan variabel independent adalah suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain, yaitu faktor – faktor yang
dapat mempengaruhi kinerja impelementasi tersebut.
V2 T
Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok yang akan dijelaskan dalam variabel – variabel lain. Kinerja implemntasi tersebut
digambarkan secara sederhana dalam tingkat pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut. Sedangkan variabel independent merupakan variabel yang di harapkan
mampu menjelaskan kinerja dari seluruh kebijakan tersebut. Variabel independent
ini menjelaskan keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses implementasi kebijakan yang dilakukan oleh BPM sendiri terhadap
investasi yang berada di wilayah Kota Medan.
2.4. Hasil - hasil Penelitian Terdahulu mengenai Pelaksanaan Pengawasan Penanaman Modal Dalam Implementasi Kebijakan
Secara umum, pengawasan diartikan adalah suatu tindakan yang dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran, atau tidak menyimpang dari ketentuan yang
ditetapkan. Menurut GR Terry pengawasan diartikan sebagai kontroling yaitu
proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standart, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan
perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras
dengan standart. Menurut Saragih 1982 : 88 , pengawasan adalah kegiatan
menajer yang mengusahakan agar pekerjaan – pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan hasil yang dikehendaki.
Berdasarkan pengertian diatas peneliti mengambil atau mencantukmakn beberapa penelitian terdahulu, sebagai bahan pertimbangan terhadap isu yang
akan diteliti yaitu mengenai pengawasan. Badan Koordinasi Penanaman Modal
Daerah. Pada penelitian ini Rizky Wahyu Moch. Azhar melakukan penelitian di Provinsi Jawa Barat mengenai pengawasan pada PMA dan PMDN. Di awal
penelitiannya ditemukan suatu permasalahan terutama dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pembinaan masih terdapat banyak hal yang menjadi
kendala bagi Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Daerah BKPPMD Provinsi Jawa Barat diantaranya yang paling mendasar belum adanya petunjuk
teknis yang dimiliki oleh pemerintah daerah, adanya otonomi daerah yang mewarnai kelembagaan investasi di KabupatennKota yang berbeda-beda kondisi
ini mengakibatkan lemahnya koordinasi sering terjadi mutasi pegawai di KabupatenKota khususnya aparatur penanaman modal sehingga mengakibatkan
kurang memahami wawasan dan pengetahuan tentang penanaman modal, peraturan daerah yang membebani para investor sehingga biaya ekonomi menjadi
tinggi. Kesadaran investor untuk menyampaikan LKPM berkisar antara 4-6. Kompleksnya permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus disikapi
dengan penuh kesungguhan, cermat, teliti dan professional oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat sehingga fungsi pengawasan yang dilakukan terhadap
proyek-proyek PMA dan PMDN dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dalam pembahasan ini, menjelaskan mengenai Pengawasan Preventif oleh
Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah BKPPMD Provinsi Jawa Barat dalam kegiatan investasi Penanaman Modal Asing PMA dan
Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN supaya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya Provinsi Jawa Barat. Pengawasan
preventif yang dilakukan oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat dalam kegiatan
Investasi PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Barat pada dasarnya telah dilakukan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu: tidak adanya
Petunjuk Teknis JUKNIS tentang tata cara pengawasan kegiatan Investasi PMA dan PMDN yang berdampak pada ketidakjelasan batas kewenangan kegiatan
Investasi antara Provinsi maupun Kabupaten dan Kota, ada ketidakjelasan dalam hal penerapan sanksi-sanksi kepada perusahaan PMA dan PMDN yang melanggar
peraturan, pengorganisasian tim pengendalian tidak berjalan dengan apa yang seharusnya, dikarenakan peran BKPPMD Provinsi Jawa Barat masih dominan dan
daerah kurang dilibatkan. Serta dalam pengawasan represif yang dilakukan oleh BKPPMD Provinsi Jawa Barat dalam kegiatan Investasi PMA dan PMDN di
Provinsi Jawa Barat masih terdapat kekurangan, antara lain: belum tersedianya berapa jumlah 105 perusahaan PMA dan PMDN yang dikategorikan tahap
perencanaan, tahap pembangunan, dan tahap komersil, fungsi koordinasi masih lemah karena proses penyusunan perencanaan belum melibatkan lembaga teknis
penanaman modal yang berada di Kabupaten dan Kota, laporan pelaksanaan tugas tim pengendalian dan pengawasan kegiatan Investasi PMA dan PMDN baru
dilakukan secara tertulis dan belum di evaluasi oleh pimpinan untuk mengetahui kinerja tim berdasarkan tingkat struktural.
Dari penelitian diatas dapat diketahui bahwa pengawasan penanaman modal dibidang investasi masih minim. Pengawasan yang dilakukan untuk mengetahui
apakah perusahaan penanaman modal memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun
2007 belum terlaksana dengan baik. Pengawasan mempunyai peran yang sangat
penting sebagai suatu upaya yang diperlukan agar rencana investasi yang disetujui oleh pemerintah bagi para penanam modal melalui pemberian persetujuan dapat
direalisasikan dengan baik tanpa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang – undangan.
Penelitian yang dilakukan Suranto, SH., MH dan Isharyanto, SH., MH dalam joernal
yang berjudul “Pengembangan Investasi Daerah Melalui Model Pelayanan Birokrasi Responsif di Kabupaten Sragen dan Kota Surakarta”. Mereka
menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi dalam Pengembangan Investasi Derah Menuju Modal Pelayanan Birokrasi Yang Responsif di Kota Surakarta, adalah :
a Kendala dunia usaha Pembinaan dan pengembangan dunia usaha telah dilakukan dengan
berbagai upaya seperti : pembinaan dan pelatihan manajemen usaha, promosi dagang,pameran – pameran industri dan perdagangan, baik lokal maupun nasional
dan Internasional. Dunia usaha yang berkembang tersebut kemudian mengalami penurunan akibat kerusuhan sehingga banyak fasilitas – fasilitas perdagangan
mengalami kerusakan. Selain itu kondisi krisis ekonomi yang dampaknya melanda sampai kedaerah, telah menurunkan daya beli masyarakat, melemahkan
sendi-sendi produksi, banyak kegiatan industri yang terhenti sehingga pemutusan hubungan kerja PHK tidak dapat dihindarkan dan akhirnya pengangguran dan
keluarga miskin menjadi meningkat. Permasalahan dunia usaha tidak hanya disebabkan oleh ketidak berdayaan pelaku
usaha menghadapi krisis ekonomi, tetapi seringkali dikarenakan lingkungan usaha ynag berubah dan menjadi kurang mendukung perkembangan dunia usaha.
Kebijakan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah kadang juga bersifat kontra produktif terhadap perkembangan dunia usaha.
Dampak permasalahan dunia usaha ini tidak semata – mata menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga banyak terkait dengan masalah – masalah sosial serta
keamanan dan ketertiban masayarakat. b Kendala sumber daya manusia SDM
Masalah – masalah yang berkenaan dengan sumberdaya manusia adalah mencakup masalah pendapatan masayarakat yang belum optimal dan merata,
pendidikan danketerampilan yang masih relatif terbatas, pelayanan kesehatan yang masih mahal dan belum merata dan lain – lain.
c Kendala mengenai birokrasi dan hukum Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidak pastian
biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan birokrasi. Kemudian didalam joernal Zainal Aqli, Deni Slamet Pribadi, dan Nur
Arifudin yang membahas tentang “Pelaksanaan Pengawasan Kegiatan Investasi Oleh Badan Perizinan Dan Penanaman Modal Daerah Di Kalimantan Timur”.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pweijinan dan Penanaman Modal Daerah BPPMD yang
mengakibatkan timbulnya kesenjangan antara nilai rancana dan realisasi penanaman modal yang diterbitkan oleh BPPMD.
Dari penelitian tersebut kendala yang dihadapi oleh BPPMD yaitu lemahnya pengawasan terhadap izin prinsip yang dilakukan oleh Sub Bidang Pembinaan
Dan Pengawasan Penanaman Modal BPPMD, kurangnya sumberdaya yang
dimiliki BPPMD, kurangnya pembinaan ke perusahaan penanaman modal mengenai penyampaian Laporan Kegiatan Penanaman Modal LKPM, dan
koordiansi yang kurang antara instansi lembaga dibidang penanaman modal baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2.5. Variabel – variabel yang dianggap relevan dalam mempengaruhi Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010.
Proses pelaksanaan kebijakan pemerintah terdapat banyak model-model dalam mengimplementasikan kebijakan yang menggunakan pendekatan top-down
dan setiap model menawarkan variabel - variabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain, namun dalam penelitian ini tidak semua
model tersebut efektif digunakan. Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik di
implementasikan. Dalam tahap implementasi kebijakan, isi kebijakan, dan akibat – akibatnya mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin
akan dinegasikan.
Sebagaimana di ungkapkan Lester dan Stewart 2000 dalam buku Solahuddin
Kusumanegara, 47 , implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah
aturan hukum ditetapkan melalu proses politik. Kalimat tersebut seolah – olah menunjukkan bahwa implementasi lebih bermakna non politik, yaitu
administratif. Secara luas implementasi dapat didefenisikan sebagai proses administrasi dari hukum yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai macam
aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan.
Teori – teori implementasi berkembang seiring dengan hasil riset yang dilakukan para ahli kebijakn publik. Dari berbagai studi implementasi yang telah
dilakukan, studi yang dianggap secara subtansial membantu perkembangan teori
implementasi adalah studi yang dilakukan oleh Pressman dan Wildavky pada akhir 1960an. Pressman dan Wildavky melakukan penelitian dalam bentuk studi
kasus yang difokuskan pada kesulitan – kesulitan yang dialami pemerintah Kota Oakland di California ketika melaksanakan program latihan personil federal.
Islamy 2001 mendeskripsikan studi tersbut sebagai berikut : “........ Dari hasil kajian, mereka menunjukkan bahwa kebijakan tersebut gagal
dilaksanakan. Mereka menginterview aktor – aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, menilai hasil kebijakannya, dan mengkaji
sebab – sebab mengapa kebijakan tersebut gagal dilaksanakan. Pada prinsipnya implementasi adalah merupakan suatu kecakapan atau kemapuan
untuk mewujudkan hubungan sebab akibat sehingga kebijakan yang telah dibuat dapat memberikan hasil. Implementasi menjadi semakkin tidak efektif
bila hubungan yang ada diantara berbagai agensi yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut terjadi “defisit”. Oleh karena itulah kebijaakn
yang gagal dilaksanakan itu perlu dikaji dianalisis untuk dicarikan cara pemecahannya., yaitu : tujuan kebijakan harus didefenisikan dengan jelas dan
dipahami oleh semua pihak ; sumber – sumber yang diperlukan harus tersedia dengan cukup ; rantai komando harus dapat menyatukan dan mengawasi
semua sumber – sumber ; sistem komunikasi harus berjalan dengan efektif ; pengawasan yang ketat harus dilakukan terhadap individu dan organisasi
yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut”.
Maka atas kasus yang ditelitinya, Pressman dan Wildavsky menyarankan
pada pembuatan kebijakan menerapkan pendekatan top – down dalam melaksanakan kebijakan agar berhasil. Studi ini memberi energi untuk
pengembangan lebih lanjut teori – teori dan kerangka analistis implementasi kebijakan, diantaranya sekarang dikenal dua pendekatan yaitu : top – down dan
bottom – up. Namun dalam perkembangannya studi implementasi, para penulis
studi implementasi pun banyak memiliki keragaman pendapat tentang
kompleksitas variabel yang dapat terlibat didalamnya. Ada beberapa penulis yang berani menggunakan semua variabel – variabel peneliti tersebut , tetapi tidak
sedikit pula yang yang mencoba untuk lebih mngembangkan model – model yang ada sesuai dengan yang terindentifikasi dalam studi mereka.
Secara umum suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu dilaksanakan bila mengandung elemen berikut ; pertama, tujuan yang ingin dicapai. Tujuan
yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu. Tujuan atau alasan suatu kebijakan dapat dikatakan baik, jika tujuan itu ; a
rasional, artinya tujuan dapat dipahami dan diterima oleh akal sehat. Ini terutama dilihat dari faktor – faktor pendukung yang tersedia. Suatu kebijakan yang tidak
mempertimbangkan faktor pendukung, tidak dapat dianggap kebijakan yang rasional ; b diinginkan desirable , tujuan dari kebijakan menyangkut
kepentingan orang banyak, sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak. Kedua,
asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis. Asumsi tidak mengada – ada. Asumsi menentukan sikap validitas suatu kebijakan.
Ketiga, informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar. Suatu kebijakan
menjadi tidak tepat kalau didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadaluarsa out of date . Oleh karena itu dalam studi implementasi yang perlu
diingat bahwa pelaksanaan kebijakan adalah upaya pemerintah untuk memenuhi keinginan masyarakat yang tidak terlepas dari berbagai konflik politik dalam
masyarakat. Untuk itu, dalam hubungan dengan strategi ini juga perlu diingat pelaksanaan suatu kebijakan pada dasarnya adaalh suatu perubahan atau
transformasi yang bersifat multiorganisasional atau bersifat umum grand theory.
Artinya, perubahan yang diterapkan oleh studi implemntasi kebijakan mengaitkan berbagai lapisan masyarakat, baik dalam lingkungan pemerintahan yang dapat
berlaku pada semua kasus, bukan hanya menjadi teori implementasi saja. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, termasuk kedalam kategori decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiannya diserahkan pada
masing - masing daerah bersifat top-down . Tetapi pada penelitian ini penulis tidak hanya menggunakan model – model top – down saja, melainkan juga
menggabungkan beberapa model yang dianggap relevan dengan penelitian ini,
antara lain, model Van Meter dan Van Horn 1975 , Edward III 1980 , dan Grindle 1980 .
Proses pelaksanaan pada umumnya cenderung mengarah pada pendekatan yang bersifat sentralistis atau dari atas kebawah. Apa yang dilaksanakan adalah
apa yang diputuskan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, peranan rakyat sebagai pemilik negara selalu di indahkan. Maka itu pengertian publik sebagai
masyarakat tidak boleh ditutupi dengan pengertian publik sebagai pemerintah. Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah, tapi semua kegiatan itu harus
dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Sehubungan dengan kecenderungan dari pelaksanaan yang sentralistis dan prinsip demokrasi inilah
pelaksana kebijakan tidak bisa hanya dilihat dari pendekatan top – down, melainkan juga dengan pendekatan bottom – up.
Dengan begitu banyaknya pendekatan atau model – model implementasi kebijakan, namun dalam penelitin ini peneliti hanya menggunakan beberapa
variabel atau faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi yang digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi
kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat
kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan yang
dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah ini, pada Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Penanaman Modal di Kota Medan.
Maka peneliti lebih tertarik memilih beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi, antara lain sebagai berikut :
1. Karakteristik Pelaksanaan Kebijakan
Karakteristik pelaksana kebijakan merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, mencakup struktur birokrasi, norma
– norma, dan pola – pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. Meski model yang diajukan
Van Meter dan Van Horn menekankan penting partisipasi implementor dalam
penyusunan tujuan kebijakan, namun pendekatan mereka di kategorikan pendekatan top – down, sebab dalam bukunya mereka mengatakan bahwa standar
dan tujuan kebijakan di komunikasikan pada implementor melalui jaringan interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para
implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.
Selanjutnya Van Meter dan Van Horn juga mengatakan bahwa da 6 variabel
yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu : 1 tujuan kebijakan dana standard yang jelas ; 2 sumberdaya ; 3kualitas
hubungan inter-organisasional; 4 karakteristik lembaga organisasi pelaksana ; 5 lingkungan politik ; 6 Disposisi.
Karakteristik pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi mencakup kejelasan isi atau tujuan – tujuan dari kebijakan, yaitu ; 1 sejauhmana aparat pelaksana
kebijakan dan kelompok target konsisten dengan tujuan dan prosedur kebijakan yang telah ditetapkannya, 2 sejauhmana konsistensi dampak dengan tujuan
kebijakan, 3 faktor akah yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak yang relevan dengan kebijakan resmi dan kondusif secar politis, 4 bagaimanakah
kebijakan direformulasikan sepanjang waktu disebabkan oleh pengalaman – pengalaman yang terjadi pada waktu impelementasi.
2. Komunikasi