Budaya Organisasi Budaya Organisasi

pimpinan. Para manajer organisasi menggunakan pendekatan yang beragam dalam mempengaruhi para anggota organisasi, dan hal ini sangat mempengaruhi budaya organisasi. Kotter dan Heskett 1997, menyatakan bahwa budaya organisasi berdampak signifikan terhadap kinerja ekonomi jangka panjang. Penelitian mereka menunjukkan bahwa organisasi – organisasi yang memiliki budaya yang mementingkan pelanggan, pemegang saham dan karyawan terbukti memiliki kinerja yang jauh lebih baik dibanding dengan organisasi – organisasi yang tidak berbudaya seperti itu. Budaya organisasi diprediksi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi di masa mendatang. Budaya yang merosotkan kinerja akan berdampak negatif terhadap kinerja organisasi, khususnya kinerja keuangan. Budaya organisasi yang menghambat kinerja keuangan organisasi terdapat pada banyak organisasi, bahkan di berbagai organisasi yang penuh dengan orang pandai sekalipun. Walaupun budaya relatif sulit dirubah, tetapi budaya organisasi dapat dibuat agar lebih meningkatkan kinerja. Luthans 2007, menyatakan “Organizational culture has a number of important characteristics. Some of the most readily agreed upon are the following : 1 Observed behavioral regularities, 2 Norms, 3 Dominant values, 4 Philisophy, 5 Rules, 6 Organizational climate”. Budaya kerja dengan demikian dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai – nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari – hari. Isu utama dalam hubungan antar budaya dengan kinerja adalah jenis budaya organisasi apa yang mampu meningkatkan kinerja organisasi jangka panjang. Kotter dan Heskett 1997, membagi teori yang berkaitan dengan hubungan antar budaya organisasi dengan kinerja jangka panjang menjadi 3 tiga kategori, yaitu : teori budaya yang kuat, teori budaya yang sesuai dan teori budaya yang adaptif 1 Teori Budaya Yang Kuat Teori budaya yang kuat menyatakan bahwa para manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan bisnis yang konsisten. 7 Organisasi dengan budaya yang kuat umumnya dapat dilihat memiliki gaya tertentu dalam melakukan sesuatu. Organisasi menjadikan nilai yang dianut bersama itu dalam suatu kredo atau pernyataan misi dan secara serius mendorong para manajer mengikuti pernyataan itu. Gaya dan nilai budaya yang kuat tidak banyak berubah walaupun ada pergantian manajemen puncak karena telah berakar secara mendalam. Kekuatan budaya inilah yang memberi kontribusi penting pada kinerja melalui 3 tiga cara yaitu : 1 penyatuan tujuan, 2 menciptakan motivasi yang tinggi pada karyawan dan 3 memberikan struktur dan kontrol yang diperlukan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang sering menurunkan motivasi dan menghambat inovasi. Kotter dan Heskett 1997, menyatakan budaya yang kuat menyebabkan kinerja yang kuat. Bila arah yang dituju baik, maka budaya yang kuat akan menyebabkan kinerja yang baik, tetapi bagaimana jika arah yang dituju salah ? Para pendukung teori budaya yang kuat umumnya membantah dengan menyatakan bahwa budaya yang kuat sangat jarang menjadi tidak terkendali. Hanya para pemimpin yang benar – benar kuatlah yang mampu menciptakan keselarasan dan motivasi budaya yang kuat. Resiko organisasi memiliki pemimpin yang kuat adalah pemimpin membawa organisasi pada arah yang salah, atau berhenti tanpa mempersiapkan penggantinya. Pada saat itu organisasi terancam kelangsungan hidupnya. 2 Teori Budaya Yang Sesuai Para ahli budaya organisasi yang memfokuskan gagasan mereka pada teori kesesuaian adalah Schein, Lorsch, dan Davis, dalam Kotter dan Heskett 1997. Teori budaya yang sesuai secara stratejik menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi karyawan jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Teori ini menyatakan bahwa isi content budaya lebih penting atau sama pentingnya dengan kekuatan budaya itu sendiri. Tidak ada ukuran untuk isi budaya yang paling baik atau paling unggul yang dapat berlaku secara umum. Budaya yang baik adalah budaya yang sesuai dengan konteksnya dalam artian sesuai dengan kondisi obyektif industri, segmen industri, strategi organisasi atau 8 strategi bisnis itu sendiri. Budaya yang tepat secara kontektual atau stratejiklah yang dapat diasosiasikan dengan kinerja yang baik. Kritik terhadap teori ini umumnya ditujukan pada sifatnya yang tampak statis. Para penentang teori ini mempertanyakan tentang apa yang terjadi jika lingkungan industri berubah. 3 Teori Budaya Adaptif Menurut Kirkman and Shapiro 2001, budaya adaptif mensyaratkan pendekatan yang siap menanggung resiko, percaya dan proaktif terhadap kehidupan organisasi maupun kehidupan individu. Teori budaya adaptif menyatakan bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang dapat diasosiasikan dengan kinerja yang unggul dalam jangka panjang. Secara aktif para anggota organisasi saling mendukung dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah. Para anggota organisasi menerima perubahan dan inovasi dengan baik. Jenis budaya adaptif menghargai dan mendorong kewirausahaan yang dapat membantu organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang – peluang baru. Kotter dan Heskett 1997 memiliki pandangan yang sama, hanya saja lebih menekankan pada aspek kepemimpinan dibanding kewirausahaan. Fungsi utama kepemimpinan adalah menghasilkan perubahan di seluruh jenjang organisasi untuk meningkatkan inisiatif, penanggungan resiko, kimunikasi dan motivasi. Para kritisi teori ini menyatakan bahwa budaya yang menghargai perubahan bisa tidak adaptif karena bisa mendorong orang untuk mengubah sesuatu kearah yang salah. Hal yang sama terjadi pada teori budaya yang kuat dimana pemimpin yang kuat mengarahkan organisasi pada arah yang salah. Peters dalam Kotter dan Heskett 1997, menekankan pada aspek pelanggan dengan menyatakan bahwa organisai dengan budaya yang sangat menghargai pelanggan akan membuat organisasi memiliki budaya yang adaptif. Organisasi seharusnya memiliki budaya yang menghargai semua stakeholders, khususnya pelanggan, pemegang saham, dan karyawan. 9 Manajemen organisasi dalam hal ini Ketua LPD dan pengurus lainnya harus mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan organisasi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa teori budaya organisasi yang kuat, sangat sesuai dengan kondisi Lembaga Perkreditan Desa LPD yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas dalam usaha membiayai unit kegiatan masyarakat khususnya dalam usaha mikro dan kecil.

2.1.3. Klasifikasi Budaya Organisasi

Dalam kerangka konseptual tentang budaya organisasi Bourantas et al., 1998 mengatakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi menjadi 4 empat, yaitu : 1 Budaya Klub Zeus Organisasi yang mengikuti budaya ini umumnya dibagi dalam fungsi atau lini produk. Gaya manajemen mengarah pada sentralisasi yang kuat. Harrison dan Handy dalam Bourantas et al., 1998, mengibaratkan organisasi dengan club culture sebagai sarang laba – laba, dimana jaring menunjukkan kekuasaan dan pengaruh. Posisi jaring yang semakin jauh dari pusat menunjukkan semakin kecil kekuasaan dan pengaruhnya. Dewa Zeus dianggap sesuai sebagai simbol organisasi dengan budaya organisasi yang menekankan tradisi patrialchial. Tidak rasional dan berlandaskan kekuasaan, dan kharisma. 2 Budaya Peran Apollo Organisasi dengan role culture lebih menempatkan peran role dan bukan orang sebagai pusat budaya organisasi. Oleh karena itu, dewa Apollo dianggap sesuai sebagai simbol karena merupakan dewa pengatur. Budaya organisasi ini berasumsi bahwa manusia bersifat rasional dan segala sesuatu dapat dianalisis secara logis. Peran atau sekumpulan tugas bersifat tetap dalam organisasi sehingga para individu dalam organisasi adalah bagian dari sistem dan melakukan tugas yang secara bebas dapat berganti. 3 Budaya Tugas Athena Organisasi dengan task culture mengumpulkan sumber daya dari berbagai pihak untuk memecahkan masalah. Manajemen senantiasa berorientasi pada 10 keberhasilan memecahkan masalah. Budaya ini hanya mengakui expertise sebagai dasar kekuasaan dan pengaruh. 4 Budaya Eksistensi Dionysus Organisasi dengan existensial culture menganggap keberadaan individu dalam organisasi dimaksudkan untuk membantu organisasi mencapai tujuan organisasi dan keberadaan organisasi dimaksudkan untuk membantu anggota organisasi dalam mencapai tujuan anggota organisasi. Budaya organisasi ini sangat disukai para profesional karena mereka dapat mempertahankan identitas dan kebebasan mereka. Pada dasarnya, budaya ini mengakui tidak ada atasan meskipun mereka dapat menerima koordinasi. Robbins 2002, menyatakan terdapat 10 sepuluh karakteristik kunci yang membedakan satu budaya organisasi dengan budaya organisasi lainnya, yaitu : 1 Inisiatif individu, yaitu sampai seberapa jauh tingkat tanggungjawab, kebebasan, dan indepedensi yang dimiliki organisasi; 2 Toleransi resiko, yaitu sampai seberapa jauh karyawan didorong untuk agresif, inovatif dan mau mengambil resiko; 3 Arahan, yaitu sampai seberapa jauh organisasi menentukan tujuan ekspektasi kinerja yang jelas; 4 Integrasi, yaitu sampai seberapa jauh unit – unit dalam organisasi didorong untuk beroperasi secara terkoordinasi; 5 Dukungan manajemen, yaitu sampai sejauh mana manajer memberikan sarana komunikasi, bantuan dan dukungan pada bawahan; 6 Pengendalian, yaitu sejumlah aturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk mengendalikan perilaku karyawan; 7 Identitas, yaitu sejauh mana anggota organisasi mengidentifikasi diri sebagai anggota organisasi secara keseluruhan dan bukan sebagai anggota kelompok atau expertise; 8 Sistem imbalan, yaitu sejauh mana imbalan didasarkan pada kinerja karyawan, bukan pada senioritas, favoritisme, dan lain – lain; 11