Garis Kemiskinan Kabupaten Sumbawa sebesar Rp. 232.000bulan, sehingga rata-rata penghasilan relatif buruh budidaya UMK Sumbawa
namun lebih besar dari GKK. 4
Tingkat Subsidi Atribut “Tingkat Subsidi” merupakan atribut sensitive terhadap
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekonomi, karena semakin besar tingkat subsidi menunjukkan bahwa secara
ekonomi usaha budidaya ikan kerapu memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah.
Berdasarkan hasil evaluasi program bantuan pemerintah subsidi terhadap usaha budidaya ikan kerapu di KJA selama lima tahun terakhir
menunjukkan bahwa bentuk bantuan diberikan kepada kelompok pembudidaya adalah mulai dari bangunan KJA, bibit dan pakan, namun
usaha budidaya tersebut hanya berjalan selama program berlangsung 1 satu periode usaha, selanjutnya setelah program berakhir usaha budidaya
juga berhenti.
5.3.2.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial
Hasil analisis Rap Insus-Grouper Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa terhadap 10 sepuluh atribut berpengaruh pada dimensi sosial, diperoleh bahwa
nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 28,32. Nilai tersebut
terletak antara 26,00 – 50,00 berarti “Kurang Berkelanjutan”. Nilai indeks
keberlanjutan kurang dari 50 menunjukkan kondisi sosial tersebut kurang mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi sosial ini
dibiarkan seperti saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Secara detail hasil
analisis nilai indeks status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 46.
Hasil analisis Rap Insus Grouper terhadap 10 sepuluh atribut berpengaruh pada dimensi sosial, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar
“28,32” . Nilai tersebut terletak antara 26,00-50,00 berarti “Kurang
Berkelanjutan” . Nilai indeks keberlanjutan lebih kurang dari 50 menunjukkan
bahwa kondisi sosial masyarakat di wilayah penelitian kurang mendukung
pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi sosial masyarakat tidak dikelola atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh
terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan.
Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada
Gambar 35.
Gambar 46. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 sepuluh atribut dimensi sosial diperoleh 4 empat atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi
sosial yaitu: 1 Ketersediaan SDM Teknisi Budidaya RMS – 4,36; 2 Jumlah Pengusaha Budidaya RMS – 3,83; 3 Sosial Kapital RMS – 3,72; dan 4
Serapan Tenaga Kerja RMS – 3,44. Perubahan terhadap ke-4 leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indes
keberlanjutan dimensi sosial. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi sosial
keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 47.
Gambar 47. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam perubahan root mean square RMS skala keberlanjutan 0 - 100
1 Ketersediaan SDM Teknisi Budidaya
Atribut “Ketersediaan Teknisi Budidaya” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, karena keberhasilan usaha budidaya harus didukung oleh
ketersediaan tenaga teknisi budidaya. Pelaku usaha budidaya ikan kerapu jarang menggunakan sumber daya manusia lulusan yang berasal institusi
pendidikan yang berbasis kelautan dan perikanan di wilayah penelitian, atau dengan kata lain hanya sebagian kecil dari mereka yang memiliki
kompetensi di bidang budidaya ikan kerapu Teknisi budidaya yang digunakan oleh pengusaha budidaya di datangkan
dari Jawa Timur dan Lampung yang telah memiliki pengalaman di bidang budidaya ikan kerapu di KJA. Di wilayah penelitian telah tersedia SDM di
bidang Kelautan dan Perikanan, dihasilkan dari lulusan dari 5 Perguruan Tinggi PT penyelenggaran program studi budidaya perairan yaitu
Universitas Mataram, Universitas Samawa, Universitas 45 Mataram, Universitas Cordova, dan Universitas Gunung Rinjani. Kelima PT tersebut
rata-rata setiap tahunnya meluluskan sekitar 80 Sarjana Perikanan. Namun lulusan dari PT menurut pengusaha budidaya kurang memiliki kompetensi
dan keahlian di bidang budidaya ikan kerapu. 2
Jumlah Pengusaha Budidaya Atribut “Jumlah Pengusaha Budidaya” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, karena peningkatan jumlah pengusaha budidaya
menunjukkan perkembangan budidaya dalam memanfaatkan potensi perairan dan peningkatan produksi rumput laut dan penyerapan tenaga kerja
untuk mengurangi pengangguran. Hasil analisis tingkat perkembangan jumlah pengusaha budidaya ikan
kerapu di KJA selama 5 tahun terakhir menunjukan bahwa tahun 2006 jumlah pengusaha sebanyak 3 perusahaan dan tahun 2010 meningkat
menjadi 4 perusahaan dengan luas budidaya seluas 46 ha, sehingga jumlah
pengusaha budidaya ikan kerapu dikategorikan “Tidak Berkembang”.
3 Sosial Capital
Atribut “Sosial Capital”
merupakan atribut sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi
sosial, karena modal sosial yang dimiliki masyarakat di wilayah penelitian seperti pola hubungan masyarakat dan sosial networking dalam budidaya
individu, kerjasama satu keluarga, kerjasama kelompok dan kekompakan pembudidaya akan berpengaruh terhadap keberlangsungan usaha budidaya
ikan kerapu di KJA. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh
masyarakat serta wawancara pakar mengungkapkan bahwa “Sosial Capital Rendah” ditunjukkan dimana orang lokal hanya berperan sebagai pekerja
buruh budidaya secara individu dan sedikit interaksi dengan masyarakat karena keberadaan KJA berada di wilayah perairan dan mengikuti pola kerja
pengusaha budidaya bertanggung jawab untuk memeliharan ikan kerapu sejumlah unit KJA yang diberikan tanggung jawab untuk mengelolanya
bersama teknisi budidaya. 4
Serapan Tenaga Kerja Atribut “Ketersediaan Teknisi Budidaya” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi sosial, kerena semakin besar serapan tenaga kerja secara sosial
merupakan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran. Berdasarkan analisis serapan tenaga kerja budidaya ikan kerapu di KJA
untuk 1 satu hektar hanya membutuhkan 1 orang tenaga teknisi dan 5-6 tenaga kerja buruh budidaya, sehingga serapan tenaga kerja untuk budidaya
ikan kerapu di KJA dikategorikan “Rendah”
5.3.2.4. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 10 sepuluh atribut berpengaruh pada dimensi kelembagaan, diperoleh nilai indeks keberlanjutan
sebesar “23,41”. Nilai tersebut terletak antara 0,00-25,00 berarti “Tidak Berkelanjutan”
. Nilai indeks keberlanjutan lebih kurang dari 25 menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan di wilayah penelitian belum mendukung pengelolaan
budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi kelembagaan tidak dikelola atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan
dimensi yang lain, sehingga pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks
status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 48.
Gambar 48. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Pengelolaan Budidaya Laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan analisis leverage terhadap 10 atribut dimensi kelembagaan diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan dimensi
kelembagaan yaitu: 1 Dukungan dan Komitmen Pemda RMS – 3,35; 2 Koordinasi Antar Stakeholder RMS – 3,33; 3 Kelembagaan Pembudidaya
RMS – 3,10; 4 Kelembagaan Pembenihan RMS – 3,05; dan 5 Kelembagaan Penyuluh RMS – 2,73. Perubahan terhadap ke-5 leverage faktor
ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indes keberlanjutan dimensi kelembagaan. Secara detail nilai sensitivitas atribut dimensi
kelembagaan keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 49.
Gambar 49.Nilai sensitivitas atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan root mean square RMS skala keberlanjutan 0 – 100
1 Dukungan dan Komitmen Pemda
Atribut “Dukungan dan Komitmen Pemda” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena dukungan kebijakan dan komitmen
pemerintah akan sangat berperan dalam mengembankan usaha budidaya ikan kerapu sebagai komoditi unggulan daerah yang diimplementasikan
dalam bentuk program bantuan subsidi berupa dukungan modal, kemudahan perizinan, dukungan infrastruktur pendukung dan lain-lain.
Berdasarkan hasil observasi, evaluasi program pemerintah selama 5 tahun terakhir dan wawancara mendalam dengan pemerintah daerah menunjukkan
bahwa rendahnya dukungan politik dan komitmen pemerintah terhadap budidaya ikan kerapu di KJA yang tercermin dari alokasi pendanaan dan
program untuk kegiatan ini, Sehingga dukungan politik dan komitmen pemerintah daerah dikategorikan “Sangat Rendah”. Budidaya ikan kerapu
belum menjadi prioritas pengembangan dan bukan merupakan komoditi unggulan daerah ini, sehingga kurang mendapat dukungan dari program
pemerintah. 2
Koordinasi Antar Stakeholder Atribut “Koordinasi Antar Stakeholder” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena koordinasi dan kemitraan untuk
mensinergikan kebijakan, program dan kepentingan dari stakeholder untuk mengembangkan budidaya ikan kerapu di KJA sebagai komoditas unggulan
daerah. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa selama ini
belum dilakukan koordinasi dan kemitraan untuk mensinergikan kebijakan, program dan kepentingan dari antar stakeholder. Mengacu pada Adriman
2012 dimodifikasi berdasarkan ketersediaan mekanisme koordinasi lintas sektor, sinergisitas dengan program CSR, maka koordinasi antar stakeholder
untuk pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dikategorikan “Buruk”. Kecenderungan selama ini stakeholder
berjalan sendiri tanpa adanya sesuai kebijakan, program serta kepentingan masing-masing.
3 Kelembagaan Pembudidaya
Atribut “Kelembagaan Pembudidaya” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena untuk meningkatkan posisi tawar
pembudidaya dan memudahkan koordinasi dan memperluas jaringan kerjasama maka keberadaan kelembagaan pembudidaya memegang peranan
penting. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa belum ada kelembagaan pembudidaya baik berupa lembaga pembudidaya atau
aturan main yang mengatur tentang pelaku pembudidaya. Mengacu pada Hidayanto 2012; Nazam 2012 dimodifikasi berdasarkan
keberadaan kelompok pembudidaya dan peran kelompok pembudidaya
dalam memenuhi kebutuhan anggotanya maka dikategorikan “Tidak Ada Kelembagaan Pembudidaya”
. Berdasarkan hasil observasi lapangan,
wawancara terhadap responden pekerja budidaya dan wawancara tehadap instansi terkait menunjukkan bahwa di wilayah penelitian “Tidak ada
Kelompok Pembudidaya” karena usaha budidaya ikan kerapu dilakukan oleh pengusaha berasal dari luar lokal. Pengusaha budidaya yang ada
sebanyak 4 pengusaha belum membentuk kelembagaan berupa asosiasi atau bentuk lain begitupun dengan pekerja budidaya.
4 Kelembagaan Pembenihan
Atribut “Kelembagaan Pembenihan” merupakan atribut sensitive terhadap
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena untuk menjamin ketersediaan benih berkualitas, maka
diperlukan kelembagaan pembenihan yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan benih pembudidaya.
Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa belum ada kelembagaan pembenihan baik berupa lembaga pembenihan atau aturan
main yang mengatur tentang sistem jaminan ketersediaan benih. Lembaga pembenihan yang telah ada UPT Benih Ikan Pantai di Kabupaten Sumbawa
yang hanya memproduksi benur dan BBL Sekotong selama ini hanya untuk kepentingan penelitian dan belum mampu menjamin ketersediaan benih ikan
kerapu untuk budidaya di wilayah penelitian. 5
Kelambagaan Penyuluh Atribut “Kelembagaan Penyuluh” merupakan atribut sensitive terhadap
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi kelembagaan, karena untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
pelaku usaha budidaya ikan kerapu maka harus di dukung oleh kelembagaan penyuluh dan ketersediaan sumberdaya penyuluh yang cukup serta memiliki
kompetensi. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa keberadaan
kelembagaan penyuluh selama ini belum efektif dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk mendampingi pelaku usaha untuk meningkatkan
kapasitasnya. Hal ini disebabkan karena jumlah penyuluh perikanan PNS relatif kurang dibandingkan dengan areal kerja yang ditangani. Selain itu
kompetensi penyuluh perikanan masih kurang berkaitan dengan pengembangan budidaya ikan kerapu.
Berdasarkan hasil observasi lapangan, wawancara terhadap responden pekerja budidaya dan wawancara terhadap lembaga penyuluh menunjukkan
bahwa di wilayah penelitian terdapat lembaga penyuluh yaitu Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan
BP4K. Namun keberadaan penyuluh masih sangat kurang dan belum sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi di wilayah kerjanya, seperti
penyuluh perikanan yang terdapat di wilayah penelitian memiliki latar belakang pendidikan non perikanan. Kelembagaan penyuluh dikategorikan
“Ada dan Kurang Efektif” , karena 50 pembudidaya mendapat
pelayanan penyuluhan.
5.3.2.5. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
Hasil analisis Rap Insus Seaweed terhadap 9 sembilan atribut berpengaruh pada dimensi teknologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar
“32,24” . Nilai tersebut terletak antara 26,00 – 50,00 berarti “Kurang
Berkelanjutan” . Nilai indeks keberlanjutan kurang dari 50 menunjukkan bahwa
ketersediaan teknologi dan infrstruktur di wilayah penelitian kurang mendukung pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA. Apabila kondisi ketersediaan teknologi
dan infrastruktur tidak ditingkatkan atau dibiarkan seperti kondisi saat ini, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain, sehingga pengelolaan
budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa semakin tidak berkelanjutan. Secara detail nilai indeks status keberlanjutan dimensi
kelembagaan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 50.
Gambar 50. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Berdasarkan analisis leverage terhadap 9 sembilan atribut dimensi teknologi diperoleh lima atribut yang sensitive terhadap tingkat keberlanjutan
dimensi teknologi yaitu: 1 Ketersediaan Benih RMS-4,41; 2 Penguasaan Teknologi Pembenihan RMS-4,23; 3 Teknologi dan Informasi Pemasaran
RMS – 4,21; 4 Penguasaan Teknologi Budidaya RMS – 3,27 dan 5 Ketersediaan Sarana Prasarana KJA RMS – 1,78. Perubahan terhadap ke-5
leverage faktor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Secara detail nilai sensitivitas atribut
dimensi teknologi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh disajikan pada Gambar 51.
Gambar 51. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan root mean square RMS skala keberlanjutan 0 - 100
1 Ketersediaan Benih
Atribut “Ketersediaan Benih” merupakan atribut sensitive terhadap
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi ekologi, kerena untuk keberhasilan budidaya ikan kerapu di KJA, harus
didukung oleh ketersediaan benih ikan yang cukup dan tepat waktu. Perkembangan budidaya ikan kerapu di KJA harus didukung oleh
ketersediaan benih yang berasal dari kegiatan pembenihan hatchery De Sulva et al. 2007.
Usaha budidaya ikan kerapu di wilayah penelitian seringkali kesulitan memperoleh benih, karena selama ini benih ikan kerapu didatangkan dari
BBL Lombok, BBIP Gondol atau BBL Situbondo. Ketersediaan benih sangat bergantung pada keberhasilan pembenihan pada UPT KKP tersebut,
karena di daerah ini belum terdapat UPR ikan kerapu seperti di Gondol dan Lampung.
2 Penguasaan Teknologi Pembenihan
Atribut “Penguasaan Teknologi Pembenihan” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, karena keberhasilan kegiatan pembenihan di masyarakat
untuk menjamin ketersediaan benih, maka harus didukung oleh penguasaan dan penerapan teknologi pembenihan untuk menopang berdirinya hatchery
skala rumah tangga atau Unit Pembenihan Rakyat UPR ikan kerapu. Penguasaaan teknologi pembenihan di wilayah penelitian menunjukkan
bahwa dengan keterbatasan tingkat pendidikan masyarakat sehingga menyebabkan rendahnya penguasaan terhadap teknologi budidaya ikan
kerapu untuk memanfaatkan potensi perairan. 3
Teknologi dan Informasi Pemasaran Atribut “Teknologi dan Infromasi Pemasaran” merupakan atribut
sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, keberlangsungan usaha budidaya sangat ditentukan
oleh akses terhadap pasar ekspor ikan kerapu seperti Singapore dan Hongkong. Keterbatasan teknologi dan akses informasi terhadap pemasaran
ikan kerapu akan menyebabkan ketidakpastian pasar dan semakin rantai pemasaran tidak efisien.
Kondisi infrastruktur teknologi dan informasi pemasaran di wilayah penelitian masih belum tersedia. Pengusaha budidaya ikan kerapu yang ada
saat ini sangat tertutup dalam berbagi informasi pemasaran karena para pengusaha tersebut telah menjalin kerjasama dengan pihak pembeli dari
Hongkong langsung ke lokasi budidaya dengan menggunakan transportasi kapal.
4
Penguasaan Teknologi Budidaya Atribut “Penguasaan Teknologi Budidaya” merupakan atribut sensitive
terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, karena keberhasilan budidaya sangat ditentukan oleh
penguasaan dan penerapan teknologi budidaya. Perkembangan budidaya ikan kerapu selama ini sulit berkembang disebabkan karena teknologi
budidaya ikan kerapu cukup rumit apabila dibandingkan dengan budidaya rumput laut.
Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa pelaku usaha budidaya ikan kerapu baik pemilik maupun tenaga kerja dan buruh
pendidikannya bukan berasal dari institusi pendidikan yang berbasis kelautan dan perikanan. Peningkatan kapasitas sumber daya pelaku usaha
perikanan sangat terbatas sehingga dengan keterbatasan tingkat pendidikan masyakarakat sehingga menyebabkan rendahnya penguasaan terhadap
teknologi budidaya ikan kerapu untuk memanfaatkan potensi perairan. 5
Ketersediaan Sarana dan Prasarana KJA Atribut “Ketersediaan Sarana dan Prasarana KJA” merupakan atribut
sensitive terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada dimensi teknologi, karena perkembangan budidaya ikan kerapu di KJA
harus di dukung kemudahan memperoleh sarana dan prasarana KJA. Kondisi eksisting di wilayah penelitian menunjukkan bahwa selama ini
kurang tersedianya paket informasi dan teknologi tentang budidaya sehingga menyebabkan sulit berkembangnya budidaya ikan kerapu bila
dibandingkan dengan budidaya rumput laut. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara pengusaha budidaya dan wawancara pakar
menunjukkan di wilayah penelitian kurang tersedia dan sulit memperoleh sarana dan prasarana KJA seperti waring, pelampung, pemberat, dan lain-
lain. Ketersediaan sarana prasaran KJA dikategorikan “Kurang tersedia”
5.3.2.6. Status Keberlanjutan Multidimensi
Hasil analisis Rap Insus-Grouper di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk lima dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing
dimensi sebagai berikut:
a.
Dimensi Ekologi sebesar 54,87 berarti “Cukup Berkelanjutan” Indeks terletak antara
51,00 – 75,00
b.
Dimensi Ekonomi sebesar 44,50 berarti “Kurang Berkelanjutan” Indeks terletak antara
26,00 – 50,00
c.
Dimensi Sosial sebesar 28,32 berarti “Kurang Berkelanjutan” Indeks terletak antara
26,00 – 50,00
d.
Dimensi Kelembagaan sebesar 23,41 berarti “Tidak Berkelanjutan” Indeks terletak antara
0 – 25,00
e.
Dimensi Teknologi sebesar 32,24 berarti “Kurang Berkelanjutan” Indeks terletak antara
26,00 – 50,00
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa untuk ke-5 dimensi divisualisasikan dalam bentuk diagram
layang kite diagram. Secara visual nilai indek keberlanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 52.
Gambar 52. Diagram layang-layang kite diagram multidimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Perbaikan terhadap atribut yang memberikan nilai sensitif tinggi dan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk
Saleh Kabupaten Sumbawa harus dilakukan dan ditingkatkan, sehingga nilai indeks dan status keberlanjutan. Untuk menjustifikasi apakah ke lima dimensi
tersebut tetap berkelanjutan atau tidak. Menurut Budiharsono 2007 tidak bisa
dilihat dengan melakukan rataan dari ke lima dimensi tersebut, akan tetapi harus dilakukan uji pair wise comparison yang diperoleh dari penilaian pakar di bidang
pengelolaan budidaya kerapu. Dengan demikian, maka masing-masing indeks tersebut diverifikasi oleh pakar, sehingga diperoleh skor tertimbang. Penentuan
nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa dilakukan dengan mengalikan nilai indeks
setiap dimensi hasil analisis Rap-Insus GROUPER dengan penilaian bobot dimensi oleh pakar.
Tabel 39. Nilai indeks multidimensi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Dimensi Bobot dimensi
Nilai indeks Nilai indeks
hasil pembobotan
Ekologi 23,34
54,87 15,91
Ekonomi 29,24
44,50 10,24
Sosial 15,14
28,32 5,95
Kelembagaan 10,82
23,41 3,51
Teknologi 21,46
32,24 3,87
Jumlah 100,00
39,47 Sumber: Hasil Analisis 2013
5.3.2.7. Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas
dengan analisis Monte Carlo, memperhatikan hasil analisis
Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95 diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten
Sumbawa menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut
sangat kecil. Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai
untuk menduga nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh. Perbedaan nilai yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam
proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut. variasi pemberian skoring yang bersifat
multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang. relatif stabil, dan kesalahan dalam
melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari Fauzi et al. 2005. Analisis Monte Carlo ini juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk
mengevaluasi dampak kesalahan acakgalat random error dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi Kavanagh dan Pitcher. 2004.
Evaluasi pengaruh galat Error acak dengan menggunakan analisis Monte Carlo bertujuan untuk mengetahui: a pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut, b
pengaruh variasi pemberian skor, c stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, d kesalahan pemasukan atau hilangnya data missing data, dan
e nilai stress dapat diterima apabila 20. Secara rinci hasil analisis Monte Carlo kelima dimensi disajikan pada Tabel 40.
Tabel 40. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-Insus Grouper dengan analisis monte carlo
Dimensi Analisis MDS
Analisis Monte Carlo
Perbedaan MDS-
MC Ekologi
54,87 52,55
0,67 Ekonomi
44,50 50,93
0,01 Sosial
28,32 46,76
1,22 Kelembagaan
23,41 32,93
0,81 Teknologi
32,24 41,72
1,09 Sumber: Hasil Analisis 2013
Uji Ketepatan Analisis MDS goodness of fit. Dari hasil analisis Rap-
Insus Grouper Teluk Saleh diperoleh koefisien determinasi R2 antara 94 - 95 atau lebih besar dari 80 atau mendekati 100 berarti model pendugaan
indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan Kavanagh, 2001. Nilai stress antara 0,13 – 0,14 atau selisih nilai stres sebesar 0,01. Nilai determinasi ini
mendekati nilai 95-100 dan nilai stress 0,13 - 0,14 lebih kecil dari 0,25 atau 25, sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang
tinggi goodness of fit untuk menilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh. Di dalam Rapfish, nilai stress dikatakan baik apabila
nilainya di bawah 0,25 berarti nilai goodness of fit dalam MDS, yang menyatakan bahwa konfigurasi atribut dapat mencerminkan data asli nilai stress. Secara rinci
Nilai Stress dan Koefisien Determinasi hasil analisis Rap-Insus pengelolaan budidaya kerapu di Teluk Saleh disajikan pada Tabel 41 berikut ini.
Tabel 41. Nilai stress dan koefisien deteminasi analisis Rap-Insus Grouper dengan analisis monte carlo
Dimensi Nilai indeks
keberlanjutan Stress
R Iterasi
2
Ekologi 54,87
0,13 0,94
2 Ekonomi
44,50 0,13
0,95 2
Sosial 28,32
0,13 0,94
2 Kelembagaan
23,41 0,13
0,95 2
Teknologi 32,24
0,14 0,95
2 Sumber: Hasil Analsisis 2013
5.3.2.8. Faktor Pengungkit
Hasil analisis Rap Insus-Grouper terhadap atribut kelima dimensi keberlanjutan dari 47 atribut yang dianalisis, maka diperoleh 21 atribut sensitif
sebagai atribut pengungkit leverage atribute. Secara rinci atribut pengungkit masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA
di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Faktor pengungkit perdimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya
ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Dimensi Faktor Pengungkit Leverage Factor
RMS Ekologi
1 Ancaman Terhadap Kualitas Perairan
2,70 2
Tingkat Sedimentasi 1,44
3 Status Kesuburan Perairan
1,29 Ekonomi
4 Kepemilikan KJA
7,76 5
Transfer Keuntungan 4,59
6 Penghasilan Buruh Budidaya
3,81 7
Tingkat Subsidi 3,12
Sosial 8
Ketersediaan SDM Teknisi Budidaya 4,36
9 Jumlah Pengusaha Budidaya
3,83 10 Sosial Kapital
3,72 11 Ketersediaan Buruh Budidaya
3,33 Kelembagaan
12 Dukungan dan Komitmen Pemda 3,35
13 Koordinasi Antar Stakeholder 3,33
14 Kelembagaan Pembudidaya 3,10
15 Kelembagaan Pembenihan 3,05
16 Kelembagaan Penyuluh 2,73
Teknologi 17 Ketersediaan Benih
4,41 18 Penguasaan Teknologi Pembenihan
4,23 19 Teknologi Informasi dan Pemasaran
4,21 20 Penguasaan Teknologi Budidaya
3,27 21 Ketersediaan Sarana Prasarana KJA
1,78 Sumber: Hasil Analisis 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 21 atribut sebagai atribut pengungkit yang perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap
peningkatan indeks keberlanjutan. Atribut pengungkit ada yang perlu ditingkatkan kinerja dan sebagian yang lain perlu dipertahankan kinerja pengelolaannya,
sehingga nilai indeks keberlanjutan dapat lebih ditingkatkan dan status keberlanjutan menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan nilai indeks dan status
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh dari kondisi saat ini, maka perlu dilakukan intervensi terhadap atribut yang merupakan
atribut kunci.
5.4. Skenario Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan
Skenario pengelolaan budidaya laut dibangun berdasarkan atribut sensitive leverage atribute dari hasil analisis MDS existing condition dan diintervensi
dengan kondisi yang mungkin terjadi di masa depan. Penyusnan skenario dalam penelitian ini diformulasikan menurut rentan waktu pelaksanaan yaitu: 1
Skenario 1: Jangka Pendek-Menengah 0 sd 5 tahun dan Skenario 2: Jangka Panjang 6 sd 10 tahun. Penentuan rentang waktu tersebut didasarkan pada masa
jabatan kepala daerah Bupati dan Gubernur. Skenario pengelolaan budidaya laut berkelanjutan dilakukan melalui
peningkatan nilai indeks keberlanjutan dilakukan melalui intervensi terhadap atribut sensitif dengan meningkatn nilai skor sebesar 1 atau 2 skala atau skala
maksimal dalam bentuk kebijakan operasional yang mungkin dapat diimplemetasikan pada skenario 1 atau skenario 2, dengan pertimbangan
rasionalitas, tingkat kemudahan pelaksanaan, kemampuan pendanaan dan ketersediaan SDM. Secara rinci perubahan nilai skoring atribut yang dapat
diimplementasikan pada skenario 1 dan skenario 2 untuk peningkatan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut sistem long-line
disajikan pada Tabel 43.
Tabel 43. Perubahan nilai skoring atribut kunci pada skenario 1 dan skenario 2 terhadap peningkatan nilai indeks dan status pengelolaan budidaya
rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Atribut Pengungkit Nilai Skor
Skala Eksisting
Skenario 1
Skenario 2
Dimensi Ekologi: Acaman Terhadap Kualitas
Perairan 1
2 2
0-2 Serangan Penyakit
1 2
3 0-3
Serangan Hama 1
3 3
0-3
Dimensi Ekonomi Efesiensi Rantai Pemasaran
1 2
3 0-3
Fluktuasi Harga Status Modal Usaha
2 2
3 3
0-3 0-3
Nilai Tambah Komoditi 1
2 0-3
Dimensi Sosial: Tingkat Pendidikan
1 2
2 0-2
Tingkat Kemandirian 1
2 0-3
Jumlah Petani Rumput Laut 1
2 3
0-3
Dimensi Kelembagaan: Kelembagaan Pembibitan
1 1
2 0-3
Kelembagaan Pasar 1
2 0-3
Kelembagaan Penjamin Mutu 1
2 0-3
Dukungan dan Komitmen Pemda 2
3 0-3
Kelembagaan Penyuluh 1
2 3
0-3
Dimensi Teknologi: Industri Pengolahan
Ketersediaan Bibit 1
1 2
0-3 0-3
Ketepatan Umur Panen 2
3 0-3
Sarana Pengeringan 1
2 3
0-3 Sarana Pergudangan
2 2
0-2 Sumber: Hasil Analisis, 2013
Hasil analisis Rap-Insus Seaweed terhadap atribut kunci yang telah dilakukan penambahan skor untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai
indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut pada skenario jangka pendek, menengah dan pada skenario jangka panjang dari kondisi saat ini. Nilai
indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut pada skenario jangka pendek dan menengah meningkat dari 46,62 menjadi 63,45 dan nilai indeks
keberlanjutan pada skenario jangka panjang meningkat menjadi 75,50, sehingga status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut pada skenario jangka
pendek dan menengah meningkat dari “Kurang Berkelanjutan” menjadi “Cukup Berkelanjutan
” dan pada skenario jangkan panjang meningkat menjadi
“Sangat Berkelanjutan”. Secara rinci nilai indeks keberlanjutan kelima dimensi
pengelolaan budidaya rumput laut pada kondisi eksisting, skenario jangka pendek, menengah dan skenario jangka panjang disajikan pada pada Tabel 44.
Tabel 44. Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting, skenario 1, dan skenario 2 pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh Kabupaten
Sumbawa
Dimensi Nilai
Bobot Tertimbang
Nilai Indeks Keberrlanjutan Eksisting
Skenario 1 Skenario 2
MDS Bobot
MDS Bobot
MDS Bobot
Ekologi
29,24 52,81
15,31
57,19
22,15
74,43
24,97
Ekonomi
23,34 51,29
11,80
52,80
16,07
73,24
19,84
Sosial
21,46 47,02
9,87
55,45
11,64
61,47
8,99
Kelembagaan
15,14 32,38
4,84
47,00
7,06
58,09
7,69
Teknologi
10,82 41,62
4,99
44,59
6,52
59,47
9,47
Multidimensi 46,82
63,45 70,97
Sumber: Hasil Analisis, 2013 Keberhasilan peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya
rumput laut di Teluk Saleh dari kondisi saat ini untuk jangka pendek-menengah dan jangka panjang akan sangat bergantung dari komitmen yang kuat dari
stakeholder terutama pemerintah sebagai fasilitator dan regulator dalam pengelolaan budidaya rumput laut di Teluk Saleh. Namun demikian, diharapkan
dengan tertanganinya atribut kunci ini akan mendorong terjadinya perbaikan atribut lain, sehingga indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya
rumput laut secara keseluruhan dapat meningkat. Secara detail posisi nilai indeks keberlanjutan ke-lima dimensi pengelolaan budidaya rumput laut pada kondisi
eksisting, skenario jangka pendek, menengah dan skenario jangka panjang disajikan pada Gambar 53.
Gambar 53. Diagram layang-layang kite diagram multidimensi pada kondisi eksisting, skenario 1 dan skenario 2 keberlanjutan pengelolaan
budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Selanjutnya perubahan nilai skoring atribut yang dapat diimplementasikan pada skenario 1 dan skenario 2 untuk peningkatan nilai indeks dan status
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA disajikan pada Tabel 45.
Tabel 45. Perubahan nilai skoring atribut kunci pada skenario 1 dan skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA
di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa Atribut Pengungkit
Nilai Skor Skala
Eksisting Skenario 1
Skenario 2
Dimensi Ekologi: Ancaman Terhadap Kualitas
Perairan 1
2 3
0-3 Tingkat Sedimentasi
1 2
2 0-2
Status Kesuburan Perairan 1
2 2
0-2
Dimensi Ekonomi Kepemilikan KJA
1 2
0-3 Transfer Keuntungan
Penghasilan Buruh Budidaya Tingkat Subsidi
1 1
1 2
2 2
0-3 0-3
0-3
Dimensi Sosial: Ketersediaan SDM Teknisi
Budidaya 1
2 2
0-2 Jumlah Pengusaha Budidaya
1 2
0-3 Sosial Kapital
1 2
0-2 Ketersediaan Buruh Budidaya
2 2
0-2
Dimensi Kelembagaan: Dukungan dan Komitmen
Pemda 1
2 0-3
Koordinasi Antar Stakeholder 1
2 0-3
Kelembagaan Pembudidaya 1
1 2
0-3 Kelembagaan Pembenihan
1 2
0-3 Kelembagaan Penyuluh
1 2
3 0-3
Dimensi Teknologi: Ketersediaan Benih
1 2
0-3 Penguasaan Teknologi
Pembenihan 1
2 0-2
Teknologi Informasi dan Pemasaran
1 2
0-2 Penguasaan Teknologi
1 2
3 0-3
Budidaya Ketersediaan Sapras KJA
1 2
2 0-2
Sumber: Hasil Analisis 2013 Hasil analisis Rap-Insus grouper terhadap atribut kunci yang telah
dilakukan penambahan skor untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut pada skenario jangka
pendek, menengah dan pada skenario jangka pangjang dari kondisi saat ini. Nilai
indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada skenario jangka pendek dan menengah meningkat dari 39,47 menjadi 48,10 dan dan nilai
indeks keberlanjutan pada skenario jangka panjang meningkat menjadi 70,97, sehingga status keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada
skenario jangka pendek dan menengah tetap “Kurang Berkelanjutan”,
sedangkan pada skenario jangka panjang status keberlajutan meningkat dari
“Kurang Berkelanjutan” menjadi “Cukup Berkelanjutan. Secara rinci nilai
indeks keberlanjutan kelima dimensi pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada kondisi eksisting, skenario jangka pendek, menengah dan skenario jangka
panjang disajikan pada pada Tabel 46. Tabel 46. Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting, skenario 1, dan skenario
2 pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
Dimensi Nilai
Bobot Tertimbang
Nilai Indeks Keberrlanjutan Eksisting
Skenario 1 Skenario 2
MDS Bobot
MDS Bobot
MDS Bobot
Ekologi
23,34 54,87
15,91
52,66
16,36
60,41
24,97
Ekonomi
29,24 44,50
10,24
47,57
12,61
52,73
19,84
Sosial
15,14 28,32
5,95
35,65
7,49
42,81
8,99
Kelembagaan
10,82 23,41
3,51
38,27
5,74
52,25
7,69
Teknologi
21,46 32,24
3,87
36,44
5,91
52,77
9,47
Multidimensi 39,47
48,10 70,97
Sumber: Hasil Analisis, 2013 Keberhasilan peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya
ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh dari kondisi saat ini untuk jangka pendek- menengah dan jangka panjang akan sangat bergantung dar komitmen yang kuat
dari stakeholder terutama pemerintah sebagai fasilitator dan regulator dalam pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA di Teluk Saleh. Namun demikian,
diharapkan dengan tertanganinya atribut kunci ini akan mendorong terjadinya perbaikan atribut lain, sehingga indeks dan status keberlanjutan pengelolaan
budidaya ikan kerapu di KJA secara keseluruhan dapat meningkat. Secara detail posisi nilai indeks keberlanjutan kelima dimensi pengelolaan budidaya ikan
kerapu di KJA pada kondisi eksisting, skenario jangka pendek, menengah dan skenario jangka panjang disajikan pada Gambar 54.
Gambar 54. Diagram layang-layang kite diagram multidimensi pada kondisi eksisting, skenario 1 dan skenario 2 keberlanjutan pengelolaan
budidaya kerapu di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa
5.5. Strategi Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan
Penyusunan strategi pengelolaan budidaya laut berkelanjutan dilakukan dengan melihat interaksi antara dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan
dan teknologi. Permasalahan pengelolaan budidaya laut bersifat kompleks dengan banyak faktor atribut yang mempengaruhi keberlanjutannya. Untuk itu
dilakukan pembatasan pada atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut. Strategi dibangun berdasarkan pendekatan integratif
terhadap seluruh atribut sensitif yang berpengaruh terhadap pengelolaan budidaya laut. Upaya pengelolaan merupakan perbaikan kinerja pengelolaan saat ini dan
kinerja yang ingin dicapai pada masa yang akan datang dengan menggunakan serangkaian strategi melalui peningkatan nilai skor atribut sensitive untuk
pencapaian tujuan peningkatan status keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di Teluk Saleh .
Perbaikan kinerja pengelolaan berdasarkan intervensi peningkatan nilai skor atribut sensitif menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan
budidaya rumput laut pada skenario jangka pendek dan menengah meningkat dari
46,82 menjadi 63,45 dan nilai indeks keberlanjutan pada skenario jangka panjang
meningkat menjadi 75,50, sehingga status keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut pada skenario jangka pendek dan menengah meningkat dari “Kurang
Berkelanjutan” menjadi “Cukup Berkelanjutan” dan pada skenario jangkan
panjang meningkat menjadi “Sangat Berkelanjutan”. Sedangkan nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada skenario jangka pendek dan menengah meningkat dari 39,47 menjadi 48,10 dan pada skenario
jangka panjang meningkat menjadi 70,97, sehingga status keberlanjutan pengelolaan budidaya ikan kerapu di KJA pada skenario jangka pendek dan
menengah tetap “Kurang Berkelanjutan”, sedangkan pada skenario jangka panjang status keberlajutan meningkat menjadi “Cukup Berkelanjutan
Untuk memudahkan pembuatan kebijakan yang dapat mendorong tercapainya perbaikan kinerja pengelolaan budidaya laut berkelanjutan, maka
diperlukan indikator keberhasilan perbaikan kinerja melalui peningkatan nilai skor atribut sensitif masing-masing dimensi keberlanjutan pengelolaan budidaya laut di
Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Secara rinci indikator keberhasilan perbaikan kinerja melalui peningakatan nilai skor atribut sensitif skenario jangka pendek-
menengah dan sknario jangka panjang pengelolaan budidaya rumput laut disajikan pada Tabel 55 dan indikator keberhasilan perbaikan kinerja melalui peningakatan
nilai skor atribut sensitif skenario jangka pendek-menengah dan sknario jangka panjang pengelolaan budidaya rumput laut disajikan pada Tabel 47.