Pendahuluan Uji Biodegradabilitas Batch 1.

berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan limbah proses pengolahan kopi.

7.2.2. Variabel yang diamati

Variabel yang diamati meliputi volume dan konsentrasi limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan, konsentrasi limbah cair setelah penanganan, karakteristik unit penanganan limbah cair metode fisika-kimia dan biologi dan metode penanganan limbah padat, kebutuhan bahan dan alat unit penanganan limbah cair dan limbah padat. 7.2.3. Metode Analisis Data 1. Melakukan inventarisasi data-data yang diperoleh dari neraca massa proses pengolahan kopi modifikasi olah basah. 2. Melakukan inventarisasi karakteristik limbah cair dan padat yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pengolahan kopi olah basah dan literatur. 3. Analisis degradabilitas limbah cair sebagai studi pendukung karakteristik limbah cair perlakuan minimisasi proses pengolahan kopi. 4. Analisis efluen unit penanganan limbah cair yang menggunakan metode filtrasi, koagulasi flokulasi dan anaerobik. 5. Analisis alternatif pemanfaaatan limbah padat proses pengolahan kopi berdasarkan literatur yang ada. 6. Karakterisasi tahapan penanganan limbah cair dalam sistem pengolahan kopi rakyat. 7.3. Hasil dan Pembahasan 7.3.1. Analisis Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Proses pengolahan yang mengubah buah kopi menjadi biji kopi disebut pengolahan kopi primer. Output yang dihasilkan dari proses pengolahan primer yang menggunakan modifikasi teknologi olah basah adalah biji kopi HS bersih dengan kadar air 12, limbah cair dan limbah padat. Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah terbukti mampu meningkatkan mutu biji sekaligus meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Rentang minimum air proses pengolahan yang dapat diterapkan adalah 2,987 - 3,345 m 3 ton buah kopi yang meliputi ± 0,731 – 0,784 m 3 ton untuk proses pengupasan dan ± 2,256 – 2,561 m 3 ton buah kopi untuk proses pencucian. Nilai ini mampu mengurangi limbah cair ke lingkungan hingga 67 dari total volume air proses yang biasa dilakukan. Rendemen hasil pengolahan kopi untuk mendapatkan biji kopi siap ekspor rata-rata sebesar 18 – 19. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Braham dan Bressani 1979, biji kopi yang diperoleh dari proses pengolahan basah sebesar 191 gram dari 1000 gram buah kopi. Mulato et al. 2006, menyatakan rendemen hasil pengolahan kopi Arabika berkisar antara 16 – 20 sedangkan kopi Robusta dapat mencapai 20 – 22. Pada pengolahan basah, proses pengupasan dapat dilakukan dengan minimal air terutama karena dilakukan pada buah kopi merah. Bagian-bagian yang membentuk buah kopi terutama adalah kulit buah skin, daging buah pulp, kulit tanduk parchment, kulit ari silverskin dan biji bean Gambar 63. Daging buah kopi merah yang telah masak mengandung lendir dan senyawa gula yang rasanya manis. Lapisan lendir ini pada buah muda sangat sedikit dan bertambah hingga buah masak kemudian berkurang apabila buah telah lewat masak Yusianto dan Mulato, 2002. Komposisi kimia daging buah kopi masak disajikan pada Tabel 19. Kulit luar Daging buah Cangkang Biji kopi Kulit ari Kulit tanduk Tangkai buah Gambar 63 Penampang membujur buah kopi Buah kopi merah merupakan buah masak, mengandung air buah dan lendir yang cukup untuk berlangsungnya proses pengupasan. Air pada proses pengupasan terutama dibutuhkan sebagai pembawa buah kopi menuju silinder mesin pengupas. Limbah cair proses pengupasan diperkirakan mengandung komponen-komponen kimia yang berasal dari kulit, daging buah dan lendir. Meskipun tidak seluruh lendir dapat dilepas dan masih melekat pada lapisan kulit biji kopi. Proses pencucian menghilangkan lendir yang telah terdegradasi selama fermentasi dan menghasilkan biji kopi yang masih berkulit tanduk parchment coffee = biji kopi HS. Tabel 19 Komposisi kimia daging buah kopi masak No Komponen Jumlah 1. Air 42,66 2. Serat 27,44 3. Gula 9,46 4. Tannin 8,56 5. Mineral 3,77 6. Lemak dan resin 1,18 7. Minyak volatil 0,11 8. Lain-lain 6,82 Sumber: Yusianto dan Mulato 2002 Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi bertujuan untuk meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan mempengaruhi tingkat konsentrasi limbah cair yang dihasilkan. Analisis kualitas limbah cair hasil perlakuan minimisasi air diperlukan untuk menentukan penanganan yang tepat agar limbah tidak mencemari lingkungan. Limbah cair proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan pencucian. Adapun aliran limbah cair kopi tersebut tidak konstan dengan beban pencemaran cenderung seragam. Proses pengolahan kopi yang kontinyu tergantung pada aliran air proses pengupasan pulping dan pencucian washing. Hasil analisis parameter limbah cair disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pengolahan kopi No Parameter Proses Pengupasan Proses Pencucian Satuan 1 pH 4,00 - 5,50 3,84 - 4,28 - 2 BOD 6000 - 13000 4000 - 11000 mgL O 2 3 COD 14000 - 26000 7000 - 21000 mgL O 2 4 BODCOD 0,5 – 0,6 0,4 – 0,6 5 TSS 400 - 23000 8600 - 25000 mgL 6 TDS 1200 - 1500 800 - 2100 mgL 7 Fosfat 17 - 33 14 - 24 mgL PO 4 -P 8 Nitrat 55 - 64 3,82 - 88,35 mgL NO 3 -N 79 Total N 300 - 400 170 - 630 mgL NH 3 -N 10 Total Karbon 8000 - 10000 4000 - 10000 mgL 11 Total VSS 13000 - 17000 6400 - 18000 mgL Limbah cair proses pengupasan dan pencucian memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, terutama mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari komponen organik dan anorganik. Limbah cair proses pengupasan terutama mengandung gula fermentasi, sedangkan limbah cair proses pencucian lebih kental karena kandungan lendir. Kandungan lendir yang terdegradasi selama fermentasi ini menyebabkan nilai pH limbah cair pencucian lebih asam dibandingkan tahap pengupasan. Karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi di berbagai tempat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda meskipun berasal dari proses pengolahan basah maupun semi basah Tabel 21 dan Tabel 22. Air limbah yang cenderung asam, kandungan bahan organik tinggi serta tingkat padatan yang besar berasal dari kandungan lendir dan pulpa kopi selama proses pengupasan dan pencucian. Karakteristik inilah yang akan menentukan upaya penanganan yang dapat diterapkan. Tabel 21 Perbandingan hasil analisis limbah cair pengolahan kopi di India No Parameter Pulper a Washer semi washed a Pulper b Washer semi washed b 1 pH 4 - 7 4 - 6 3,9 – 6,9 4 – 6,3 2 Total Solid mgL 4000 – 10000 1200 – 44000 3100 - 30800 16400 – 70000 3 COD mgL 1500 - 9000 1200 – 41700 2600 - 25800 15500 – 65000 4 BODCOD 0,5 – 0,86 0,5 – 0,9 0,37 – 0,97 0,5 – 0,9 5 Total gula mgL 800 - 6000 1000 - 36700 2300 - 23000 14300 – 53000 6 Gula pereduksi mgL 50 - 1800 200 - 22200 800 - 6000 5300 – 30000 7 Asiditas mgL 100 - 800 70 - 1300 100 - 1600 200 - 1900 Sumber: Astra 2002 diacu dalam Chanakya dan de Alwis 2004 a: perkebunan dengan penanganan anaerobik parsial dan pengontrolan penggunaan air b: perkebunan dengan bioreaktor dan pengontrolan air dalam pengolahan basah Menurut Mburu et al. 1994; Von Enden dan Calvert 2002, limbah cair proses pengupasan mengandung konsentrasi pencemar yang tinggi karena kandungan bahan-bahan organik hasil proses pengupasan daging buah saat mesocarp dikupas dan lendir. Pulpa dan lendir ini terdiri atas sejumlah protein, gula dan lendir dalam bentuk pektin seperti karbohidrat polisakarida. Selvamurugan et al. 2010, menjelaskan kandungan gula yang tinggi ini menyebabkan air proses pengupasan akan cepat terfermentasi oleh kerja enzim bakteri yang terdapat pada buah kopi. Adapun komponen lain dari air proses pengupasan adalah asam dan kimia toksik seperti polifenol tannin dan kafein. Tabel 22 Perbandingan karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi No Parameter Mendoza Rivera 1998 semi wet Bruno Oliveira 2008 wet process Selvamurugan et al., 2010 wet process 1 pH 5,4 4,2 3,88 – 4,21 2 BOD 1443 mgL 3100 – 14340 mgL 3800 – 4780 mgL 3 COD 2480 mgL 5000 – 35000 mgL 6420 - 8480 mgL 4 TSS -- 2978 – 3590 mgL 2390 – 2820 mgL 5 TDS 50-90 -- 1130 – 1380 mgL 6 Fosfat -- -- -- 7 Total N -- -- 125,8 – 173,2 mgL 8 Total VSS -- 1488 mgL -- Penghilangan lendir pada biji kopi dilakukan sepanjang proses fermentasi selama 14 – 18 jam hingga lendir terdegradasi dan dapat dihilangkan dengan mudah oleh air melalui proses pencucian. Air limbah yang berasal dari perlakuan minimisasi air cenderung kental karena tingginya kandungan pektin yang berasal dari lendir, protein dan gula yang terlarut. Proses fermentasi gula menjadi etanol dan CO 2 menyebabkan kondisi asam pada air. Hal ini dikarenakan etanol dikonversi menjadi asam asetat saat bereaksi dengan oksigen. Proses asidifikasi ini menyebabkan pH larutan menjadi asam, mencapai nilai 4 bahkan kurang. C 6 H 12 O 6  2 CH 3 CH 2 OH + 2 CO 2 Gula etanol karbondioksida 2 CH 3 CH 2 OH + O 2  2 CH 3 COOH Etanol oksigen asam asetat Keasaman yang tinggi akan mempengaruhi efisiensi penanganan limbah cair dan merusak kehidupan akuatik jika dibuang ke badan air. Lendir yang terkonversi setelah proses pencucian Tabel 23 akan membentuk lapisan tebal padatan tersuspensi pada permukaan limbah cair, hitam di atas dan jingga coklat di dasar Gambar 64. Lapisan tebal ini akan menutup jalan air pada saluran dan menyebabkan kondisi anaerobik saat dibuang ke badan air. Substansi lain yang dapat ditemukan pada limbah cair kopi adalah bahan kimia toksik seperti tannin, alkaloid kafein, dan polifenol. Komponen- komponen ini apabila dibuang ke lingkungan akan menyebabkan proses degradasi bahan organik sulit didegradasi secara biologis Selvamurugan et al. 2010. Tabel 23 Beberapa perbandingan komposisi lendir Komponen Komposisi Murthy et al.2004 Braham Bressani 1979 Air 84,20 Protein 8,00 Gula - Glukosa pereduksi - Sukrosa non pereduksi 2,50 1,60 30,0 20,0 Pektin 1,00 35,8 Abu 0,70 17,0 Limbah cair proses pengolahan kopi berwarna coklat terutama berasal dari komponen flavonoid kulit buah pada saat pengupasan Lampiran 1.. Limbah cair kopi selain berbau tidak sedap, juga akan berubah warna menjadi hitam beberapa saat kemudian. Flavonoid umum ditemui pada buah-buahan berwarna lainnya seperti anggur. Menurut Selvamurugan et al. 2010, warna buah ini sebenarnya merupakan prekursor bagi terbentuknya warna coklat humus seperti air rawa yang tidak berbahaya bagi spesies akuatik karena tidak menyebabkan peningkatan nilai BOD ataupun COD. Akan tetapi warna coklat yang gelap ini dapat berdampak negatif terhadap proses fotosintesis dan transformasi nutrien pada tanaman air selain menurunkan nilai estetika. Gambar 64 Lapisan padatan limbah cair pengolahan kopi Tingginya nilai COD dan BOD pada limbah cair pengolahan kopi terutama pada limbah cair perlakuan minimisasi menunjukkan besarnya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik pada kondisi aerobik, temperatur dan waktu inkubasi yang terstandar. Pengaruh perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi disajikan pada Gambar 65, Gambar 66, dan Gambar 67. Gambar 65 Hubungan minimisasi air pengupasan dengan bahan organik dan pH pada limbah cair Gambar 66 Hubungan minimisasi air pencucian dengan bahan organik dan pH pada limbah cair Konsentrasi bahan organik limbah cair BOD, COD dan TSS menunjukkan kecenderungan menurun seiring bertambahnya volume air yang digunakan pada tahap pengupasan dan pencucian buah kopi. Nilai pH limbah cair proses pengolahan kopi secara umum berkisar antara 3,80 – 5.50. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan minimisasi air terhadap pH. Nilai padatan tersuspensi TSS pada proses pencucian cenderung lebih tinggi daripada proses pengupasan. Hal ini disebabkan karena bagian terbesar bahan organik berupa lendir setelah proses fermentasi terbawa air proses pencucian. Gambar 67 Zone segitiga untuk BODCOD Rasio BODCOD pada limbah cair proses pengolahan kopi berada di antara 0,4 – 0,6 yang menunjukkan tingkat biodegradabilitas bahan organik untuk dilepas ke lingkungan. Menurut Samudro dan Mangkoedihardjo 2010, apabila rasio BODCOD berada di antara 0,1 dan 1,0 maka limbah cair termasuk kategori biodegradable. Rasio BODCOD biodegradable menunjukkan kemampuan substansi bahan organik dalam limbah cair untuk diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana oleh bakteri atau mikroorganisme. Batasan tersebut dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan sistem penanganan yang sesuai bagi limbah cair. Analisis total padatan dan total karbon pada limbah cair proses pengolahan kopi membantu menentukan upaya penanganan limbah yang sesuai Gambar 67. Parameter total padatan TDS, TSS dan VSS dan total karbon menunjukkan penurunan konsentrasi seiring kenaikan volume air. Pola ini serupa dengan penurunan konsentrasi BOD maupun COD pada Gambar 66. Secara umum padatan tersuspensi merupakan indikator besarnya kandungan bahan organik dalam limbah yang menyumbang 60 nilai BOD. Padatan tersuspensi yang mudah menguap VSS merupakan pendekatan jumlah kandungan bahan organik. Bahan organik tersebut dapat terdekomposisi menjadi air, karbondioksida dan amonia yang bersifat mudah menguap saat dianalisis pada suhu 550 o C. Gambar 68 Hubungan minimisasi air pencucian dengan total padatan dan karbon pada limbah cair Analisis total karbon menunjukkan jumlah karbon yang terikat dalam komponen organik dan anorganik. Melalui analisis VSS dapat diketahui potensi bahan organik komponen karbon yang teroksidasi menjadi komponen lebih sederhana dan mudah menguap. Nilai VSS yang lebih tinggi daripada nilai total karbon merupakan indikator bahwa komponen karbon yang ada pada limbah cair adalah komponen organik Droste 1997. Beban pencemaran limbah cair proses pengolahan kopi mencapai 75 dengan kandungan organik tinggi dan padatan terpresipitasi sebagai lendir yang dapat meningkatkan COD dan menurunkan nilai pH. Kombinasi keasaman yang tinggi, BOD dan COD yang tinggi akan menurunkan kemampuan suplai oksigen jika dibuang ke badan air, sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan yang harus ditangani. Akan tetapi limbah cair kopi yang kaya akan kandungan gula dan pektin dapat cepat terdegradasi. Didukung oleh rasio BODCOD yang tinggi menunjukkan kelayakannya untuk ditangani melalui proses biologi. Untuk mengoptimalkan proses penanganan limbah cair, pH sebaiknya diusahakan berada pada kisaran netral 6,5 – 7,5. 7.3.2. Analisis Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Olah Basah Perlakuan minimisasi air proses pengupasan dan pencucian memiliki dampak signifikan terhadap volume limbah cair tetapi tidak signifikan terhadap jumlah biji serta pulpa yang dihasilkan. Meskipun demikian proses pengupasan kulit tanduk dan kulit ari lebih mudah dilakukan pada biji kopi yang mendapat perlakuan air banyak. Limbah padat maupun limbah cair dari proses pengupasan dan pencucian merupakan hasil samping yang akan menimbulkan masalah apabila tidak diolah. Pulpa, kulit tanduk dan kulit ari merupakan limbah padat yang dapat diubah menjadi produk samping bernilai ekonomis, sehingga dapat meningkatkan penghasilan petani. Proses pengupasan menghasilkan limbah padat yang cukup besar berupa kulit dan daging buah kopi Lampiran 1. Berdasarkan analisis neraca massa, persentase limbah padat yang dihasilkan dari proses pengupasan dapat mencapai kisaran 40-60. Nilai ini menunjukkan potensi pencemaran yang besar dari limbah padat jika tidak dimanfaatkan. Pulpa kopi jika tidak diolah akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengundang lalat maupun serangga lainnya. Selama masa pengolahan biji kopi, limbah pulpa kopi ini akan menumpuk, menyebabkan gangguan lingkungan seperti bau yang tidak sedap, mengundang lalat maupun serangga lainnya. Pulpa kopi juga dapat menjadi vektor agen penyakit ketika dibuang ke badan air dan menyebabkan pencemaran air tanah. Selain itu drainase dari timbunan pulpa dapat mencemari sumber air di sekitarnya Gambar 69. Gambar 69 Timbunan pulpa kopi Menurut Kebede et al. 2010, komposisi pulpa kopi terutama merupakan bahan organik yang terdiri atas karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein, polifenol, dan pektin. Oleh karena itu dekomposisi pulpa kopi ini bersama-sama limbah cair saat dibuang ke badan air akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan air sungai tidak sesuai lagi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Meskipun demikian, sebagai limbah padat industri kopi, kulit kopi yang mengandung bahan organik tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan kembali. Melalui hasil analisis limbah padat dapat diketahui potensi pemanfaatan limbah padat proses pengolahan kopi. Hasil analisis komposisi limbah padat kopi dan beberapa hasil analisis yang mendukung disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24 Komposisi limbah padat proses pengolahan kopi a Rubiyo et al. 2006 Tabel 25 Perbandingan komposisi kimia pulpa kopi dari berbagai sumber Komponen Komposisi Murthy et al. 2004 Londra Andri 2008 Braham Bressani 1979 Segar Kering Kering dan terfermentasi Ekstrak eter 0,48 0,48 2,50 2,60 Serat kasar 21,4 21,4 3,40 21,0 20,8 Protein kasar 10,1 6,67 2,10 11,2 10,7 Abu 1,5 1,50 8,30 8,80 BETN 31,3 15,8 44,4 49,2 Tannin 7,8 1,80 – 8,56 Pektin 6,5 6,50 Gula non pereduksi 2,0 2,00 Gula pereduksi 12,4 12,4 Asam khlorogenik 2,6 2,60 Kafein 2,3 1,30 Total asam kafeat 1,6 1,60 Lemak 1,04 Keterangan: BETN Bahan ekstrak tanpa nitrogen Analisis komponen organik pada limbah padat kopi membantu menentukan proses daur ulang recycle sebagai bahan dasar pakan ternak, kompos, pupuk, briket, produksi biogas maupun alternatif pemanfaatan lainnya. Rata-rata kandungan serat kasar pada kulit kopi maupun kulit tanduk cukup tinggi demikian pula dengan kandungan C-organik memiliki potensi dimanfaatkan sebagai kompos ataupun pupuk. Nilai kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600 kkalkg sedangkan pulpa kopi pada kandungan air 5 memiliki nilai kalori 3300 kkalkg Adams dan Dougan 1989 berpotensi sebagai sumber bahan bakar. Meskipun agak sulit diterapkan pada pulpa kopi yang diperoleh dari pengolahan basah karena masih mengandung kadar air bahan yang tinggi 84. Bahan Komposisi Minyak Lemak Serat kasar C- organik Total N Abu Protein kasar a Ca a P a Pulpa 1,06 20,42 45,15 4,55 5,51 7,80 0,23 0,02 Kulit tanduk 0,51 39,68 42,71 2,65 23,12

7.3.3. Desain Penanganan Limbah Cair

Upaya minimisasi air proses pengolahan kopi masih menghasilkan limbah cair yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Karakteristik limbah cair dalam bentuk suspensi komponen organik dan anorganik yang kaya akan gula terfermentasi dan cairan kental dari tahap pencucian lendir mucilage. Tingginya nilai BOD dapat mencapai 13.000 mgl, COD mencapai 26.000 mgl serta rendahnya tingkat keasaman dari limbah cair hasil minimisasi air akan menimbulkan beban pencemaran yang tinggi terhadap lingkungan. Baku mutu limbah cair yang dapat dibuang adalah 100 mgl untuk BOD dan 250 mgL untuk COD berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2002 tentang baku mutu limbah cair bagi industri atau kegiatan usaha lainnya di Jawa Timur memberikan batasan lebih ketat khusus untuk industri pengupasan biji kopicoklat yaitu maksimum 75 mgL untuk BOD dan 200 mgL untuk COD dengan volume limbah cair maksimum adalah 40 m 3 ton produk. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanganan yang sesuai untuk diterapkan pada unit pengolahan kopi rakyat. Berdasarkan tahapan pencegahan polusi menurut Theodore dan Mc. Guinn 1992, maka tahapan berikut yang dapat dilakukan adalah upaya daur ulang atau penggunaan kembali limbah dan upaya pengolahan limbah. Daur ulang limbah dapat dilakukan dengan memperbaharui bahan baku yang masih dapat digunakan. Pengolahan limbah dapat dilakukan melalui penerapan metode fisika, kimia maupun biologi untuk mengurangi beban pencemaran dan mempermudah tahap pembuangan akhir. Kebede et al. 2010, menyatakan upaya pemanfaatan limbah proses pengolahan kopi merupakan pilihan potensial lain untuk mengontrol pencemaran. Beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk menangani limbah cair adalah melakukan pembuangan di lahan pertanian dengan limbah cair, aplikasi kolam anaerobik, aerasi buatan, reaktor biogas dan pemanfaatan lahan terancang untuk pembuangan limbah cair telah dicoba di berbagai negara produsen kopi. Metode yang murah dan dapat membantu menyuburkan tanah pernah dicobakan di Brazil dengan membuang limbah cair di lahan dan memanfaatkannya langsung untuk mengairi kopi Ribeiro et al. 2009 diacu dalam Kebede et al. 2010. Akan tetapi, teknik ini dapat menyebabkan asidifikasi tanah, genangan air, dan menyebabkan metabolisme tanah dalam kondisi anaerobiosis. Penanganan secara anaerobik yang dioperasionalkan pada suatu reactor merupakan pilihan yang menarik karena mampu menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar Murthy et al. 2004; Von Enden dan Calvert 2002. Meskipun dalam penanganannya membutuhkan stabilitas proses yang baik agar efisiensi penanganan tercapai Mendoza dan Rivera 1998. Menurut Mendoza dan Rivera 1998, bioteknologi anaerobik secara umum merupakan penanganan yang sesuai untuk limbah kegiatan agroindustri terutama di negara-negara berkembang karena biaya yang lebih terjangkau, menghasilkan energi, kebutuhan pengawasan operasional yang rendah dan kemampuannya untuk menangani limbah yang diproduksi musiman. Karakteristik limbah cair kopi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi membuatnya sesuai untuk ditangani dengan metode biologi anaerobik. Limbah cair proses pengolahan kopi dihasilkan hanya pada saat panen kopi yaitu kurang lebih selama 3 hingga 5 bulan setiap tahunnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan variabilitas konsentrasi dan volume limbah cair yang cukup tinggi pada panen puncak dan menurun setelah periode panen.

7.3.4. Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi

Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair pengolahan kopi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan melalui proses anaerobik. Menurut Angelidaki et al. 2007, proses metabolisme anaerobik merupakan proses biokimia kompleks yang saling berkaitan antara grup mikrobial. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian tingkat biodegradabilitas limbah cair proses pengolahan kopi melalui potensi pembentukan metana biogas menggunakan komposit mikroorganisme yang berasal dari reaktor anaerobik. Gunaseelan 1997 menyatakan analisis biochemical methane assay BMP dapat dilakukan untuk menentukan output CH 4 metana dari substrat organik dan untuk memantau tingkat toksisitas anaerobik. BMP merupakan metode yang berharga, cepat dan tidak mahal untuk menentukan potensi dan laju pengembangan konversi biomassa dan limbah menjadi CH 4 . Studi simulasi biodegradabilitas pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi konversi limbah cair kopi pada konsentrasi bahan organik tinggi yang diperoleh dari perlakuan minimisasi air proses pengolahan menjadi biogas dalam suasana anaerobik. Simulasi dilakukan pada berbagai tingkat konsentrasi limbah cair dan jenis konsorsium mikroorganisme dalam vessel berukuran 100 ml Gambar 70. Fluktuasi konsentrasi limbah cair kopi pada saat proses pengolahan dan masa panen kopi yang terbatas menyebabkan masa untuk mendapatkan limbah cair dengan konsentrasi tertentu juga terbatas. Sebagai pendekatan, penelitian ini menggunakan larutan kopi instan sebagai limbah cair kopi sintetik dengan mempertimbangkan karakteristik yang berbeda antara keduanya. Daoming dan Forster 1994 juga pernah menggunakan kopi instan sebagai bahan simulasi limbah cair kopi untuk menentukan pengaruh faktor penghambat dalam penanganan anaerobik termofilik. Gambar 70 Contoh vessel untuk uji biodegradabilitas anaerobik Limbah cair kopi sintetik dibuat dari larutan kopi instan dengan pertimbangan ketersediaan bahan pada saat pelaksanaan penelitian dan kemudahan untuk membuat larutan limbah cair pada rentang konsentrasi COD tertentu. Pembuatan konsentrasi larutan disesuaikan dengan rentang konsentrasi COD terlarut yang diperoleh dari hasil perlakuan minimisasi air. Suhu dan pH proses dijaga pada kondisi optimum proses yaitu pada suhu 37 o C dan pH netral 6,5 – 7,0 kecuali pada batch 1. Adapun komposisi limbah cair sintetik pada berbagai tingkat konsentrasi COD disajikan pada Tabel 27. Komposisi kimia limbah cair kopi ditentukan oleh kandungan organik pada pulpa kopi dan biji kopi. Limbah cair kopi yang berasal dari proses pengolahan buah umumnya mengandung polisakarida cukup tinggi, sedangkan pada kopi instan telah menurun hingga 50. Degradasi pada kopi instan diduga terutama pada polifenol, mineral, protein dan gula-gula pereduksi yang ada. Tabel 26 Rancangan simulasi biodegradabilitas BMP test kopi instan Batch COD gL Inokulum pH 1 a. 10 b. 20 c. 30 Campuran granular dan floccular sludge Tanpa penyesuaian pH 2 a. 10 b. 15 c. 20 d. 30 Granular sludge 6,5 – 7,0 Tabel 27 Komposisi larutan limbah cair sintetik dari kopi instan Komposisi gr Larutan kopi dengan tingkat COD 10 gL 20 gL 30 gL Protein 0,077 0,115 0,153 Karbohidrat 0,459 0,688 0,918 Gula 0,076 0,114 0,153 Serat 0,382 0,574 0,765 Polifenolmelanoidin 0,275 0,413 0,551 Kafein 0,053 0,080 0,107 pH larutan 5,28 5,15 5,03 Granular sludge yang digunakan berasal dari komposit mikroorganisme lumpur aktif reactor Upflow Anaerobic Sludge Blanket UASB. Sedangkan floccular sludge merupakan komposit mikrooganisme heterogen dalam bentuk lumpur tersuspensi yang berasal dari lumpur aktif reaktor anaerobik Continuous Stirred Tank Reactor CSTR. Liu et al. 2002, menyatakan UASB dan CSTR merupakan bagian dari sistem anaerobik yang dapat digunakan untuk menangani limbah. UASB merupakan teknologi yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap aktifitas bakteri metanogenesis pada laju alir cepat. Adanya aliran ke atas yang cepat dalam reaktor UASB serta pola aktifitas bakteri metanogenesis untuk membentuk lapisan tersuspensi memacu perkembangan konsorsium metanogenik membentuk diri sendiri menjadi granule yang lebih kental daripada air melalui aliran limbah cair menuju bagian atas reactor. UASB dikembangkan terutama untuk menangani limbah cair yang berkonsentrasi tinggi. Densitas mikroorganisme granular yang tinggi memudahkan proses pemisahan efluen limbah cair yang telah terpurifikasi dengan biomassa. Kelemahan UASB adalah padatan partikulat dalam limbah cair yang cenderung dapat menganggu sistem. Reaktor CSTR diadaptasi dari reaktor aerobik untuk mengolah limbah organik yaitu menggunakan lumpur aktif hasil penanganan sekunder untuk mengolah langsung limbah cair. Adanya agitasi pemutaran mekanis pada tangki aerobik bertujuan untuk menjadi partikulat agar tetap dalam bentuk tersuspensi dan memudahkan memasukkan oksigen ke dalam larutan. Pemutaran mekanis pada tangki anaerobik mempengaruhi laju pertumbuhan konsorsium bakteri terhadap lingkungan pada kondisi asidogenesis dan metanogenesis. Dinamika bakteri cenderung tidak seragam pada reaktor CSTR. Gambar 71 Komposit mikroorganisme a Flokular, b Granular

a. Uji Biodegradabilitas Batch 1.

Analisis biodegradabilitas batch 1 Gambar 72 dilakukan pada tingkat konsentrasi COD 10 gL, 20 gL dan 30 gL limbah cair untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme. Pengujian dilakukan secara triplikat dengan uji biodegradabilitas selulosa sebagai bagian dari komponen karbohidrat dilakukan sebagai kontrol perlakuan. Pengujian dilakukan tanpa penyesuaian pH untuk mengetahui kemampuan komposit mikroorganisme gabungan dalam mendegradasi limbah cair. Kemampuan komposit gabungan mikroorganisme flokular dan granular dalam mendegradasi limbah cair sangat baik pada konsentrasi COD 10 gL dan cenderung menurun seiring peningkatan konsentrasi COD. Kemampuan adaptasi komposit mikroorganisme cukup baik dimana proses degradabilitas dapat berlangsung meskipun pada konsentrasi COD tinggi. Aktifitas metanogenik yang A B tinggi dari lumpur granular dan bakteri asetogenik dari lumpur flokular berkontribusi menjaga keberlangsungan proses degradasi pada konsentrasi COD tinggi 30 gL. Meskipun pada awal proses, reaksi pembentukan metana sangat dipengaruhi oleh tingginya kandungan bahan organik dalam suasana asam kandungan gas hidrogen. Gambar 72 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 1. Kestabilan proses pembentukan gas metana tergantung pada konsentrasi COD. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kestabilan. Pada sampel dengan konsentrasi 10 gL, 20 gL dan 30 gL membutuhkan waktu berturut-turut 10 hari, 15 hari dan 25 hari untuk mencapai kesetimbangan pembentukan gas metana. Fase awal dari proses anaerobik adalah hidrolisis yang terjadi pemecahan molekul berukuran besar dan kompleks menjadi molekul yang berukuran lebih kecil. Kandungan bahan organik yang tinggi pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi serta transformasi komponen selulosa dan hemiselulosa tentu membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan sampel dengan konsentrasi bahan organik lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan kumulatif pembentukan gas metana pada konsentrasi COD tinggi lebih besar dibandingkan pada konsentrasi COD rendah. Pada awal proses anaerobik, sampel dengan konsentrasi tinggi 30 gL mengalami suasana asam yang mempengaruhi stabilitas proses. Tingginya persentase hidrogen hingga hari ke-10 diperkirakan terjadi pada fase bakteri asetogenesis dan formasi asam asidogenesis. Pada fase ini terjadi oksidasi anaerobik yang merupakan penentu keberlanjutan proses anaerobik hingga fase metanogenesis. Apabila gas hidrogen yang dihasilkan terlalu tinggi dan mikroorganisme yang ada dalam reaktor tidak dapat bertahan, maka tidak akan terjadi fase berikutnya karena mikroorganisme yang ada mati. Meskipun tidak ada proses netralisasi limbah cair sebelum proses anaerobik, komposit mikroorganisme granular dan flokular dalam reaktor ternyata mampu bertahan menghadapi suasana asam. Setelah hari ke-10, proses pembentukan gas metan pada fase metanogenesis dapat berlangsung lancar dan menghasilkan komposisi biogas atau gas metan hingga 70. Berdasarkan hasil perlakuan, diperoleh komposisi rata-rata gas metana dan karbondioksida berturut-turut adalah 60 – 70 dan 30 - 40. Menurut Borjesson dan Berglund 2006, komposisi biogas terutama terdiri atas CH 4 60 – 70 dan CO 2 30 – 40, dengan kandungan uap air dan beberapa gas-gas nitrogen, hidrogen sulfida dan ammonia. Uji biodegradabilitas secara umum berlangsung baik pada batch 1 meskipun tanpa perlakuan netralisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Dinsdale et al. 1997 yang menggunakan reactor UASB dengan tahapan pre-asidifikasi. Netralisasi dengan NaOH pada pH 6,0 dan HRT hydraulic retention time 24 jam tidak dibutuhkan untuk efisiensi proses asidogenesis. Efluen dari tahapan asidogenik dengan pH 5,2 tidak membutuhkan netralisasi dengan NaOH sebelum memasuki tahapan metanogenik. Tidak adanya netralisasi pada kisaran pH tersebut ternyata membantu meningkatkan performa reaktor UASB termofilik. Proses UASB 2 tahap asidogenik dan metanogenik memberikan peningkatan performa secara konsisten dibandingkan sistem 1 tahap. Tahap asidifikasi berperan dalam kemampuan reactor menerima laju beban tinggi. Penelitian oleh Chen et al. 2008, menjelaskan bahwa meskipun sebagian besar mikroorganisme bekerja pada rentang pH netral yaitu pada rentang pH 7,0 – 7,5 tetapi beberapa mikroorganisme tetap aktif pada pH rendah ataupun pH tinggi. Pada saat fermentasi, mikroorganisme penghasil asam floccular sludge mengelola hidupnya untuk hidup dalam suasana asam hingga pH 5,0. Sebaliknya, mikroorganisme penghasil metana granular sludge berkembang baik pada pH netral.

b. Uji Biodegradabilitas Batch 2.

Uji biodegradabilitas batch 1 yang menggunakan 2 jenis komposit mikroorganisme mampu mendegradasi limbah cair sintetik. Uji biodegradabilitas batch 2 hanya menggunakan komposit bakteri granular yang berasal dari reaktor UASB. Waktu degradabilitas batch 2 pada konsentrasi yang sama lebih singkat dibandingkan batch 1. Sludge granular yang telah mengandung bakteri metanogenesis memungkinkan kandungan metana berada dalam vessel sejak awal proses anaerobik. Komposit bakteri granular tanpa komposit flokular ternyata tidak mampu untuk mendegradasi limbah cair pada konsentrasi 30 gL. Proses anaerobik tidak berlangsung optimum dimana komposisi gas karbondioksida lebih besar 40-50 daripada komposisi gas metana 20-30. Komposisi gas metana mencapai puncaknya pada hari ke-2 kemudian cenderung stabil hingga 40 hari. Meskipun demikian komposit bakteri granular masih menunjukkan kemampuannya untuk mendegradasi komponen kompleks selulosa pada konsentrasi 1 gL. Pereira 2009, waktu degradasi anaerobik untuk mencapai konversi COD bahan organik menjadi gas metana dipengaruhi oleh kualitas komposit bakteri dan kualitas lingkungan. Bakteri metanogenik yang dominan pada sludge granular diperkirakan tidak bekerja optimum pada kondisi asam fase asidogenesis. Gambar 73 Komposisi gas yang dihasilkan dari proses anaerobik batch 2 Fase asidogenesis yang terjadi setelah fase hidrolisis diperkirakan tidak dapat berlangsung sempurna pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi 30 gL. Pada fase ini, selain substrat, aneka mikroorganisme turut mempengaruhi kelancaran proses degradasi. Semakin banyak organisme yang aktif, semakin baik proses fermentasi hasil fase hidrolisis menjadi karbon organik, komponen molekul sederhana, hidrogen dan karbondioksida. Semakin tinggi konsentrasi COD, semakin besar pula dihasilkan hidrogen yang cenderung menyebabkan suasana asam.