Menganalisis Nilai-nilai dalam Cerpen
150
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
pakaianku yang berwarna merah dan putih itu. Dia pula yang menyisir rambutku, mengenakan topiku yang juga berwarna merah
dan akhirnya memelukku erat sebagai bekal hariku bersekolah. Hari masih terang ketika sepeda Bapak terangguk-angguk menyusuri
jalanan desa dan diriku masih terkantuk-kantuk di boncengan menuju sekolah.
Ketika sudah kudengar kicau burung dan kabut mulai menyibak, kami sampai di mulut desa. Sepeda tua Bapak dengan karat di sana
sininya, masih mengerit-ngerit, menuju ke sekolahku. “Di sana nanti kamu akan tahu mengapa kita seperti ini. Dan kuharap Bapak masih
sempat menyaksikan kamu tidak seperti kami ….” Itu ucapannya yang masih kuingat pada hari pertamaku sekolah.
Yang kuingat juga adalah pada suatu kali, aku disuruh pulang oleh Bu Guru. Katanya, aku dihukum. Sesampai di rumah melolos
ikat pinggangnya dan tanpa kata-kata segera menghajarku. Setelah puas menghantamkan ikat pinggangnya, baru kemudian dia
bertanya mengapa aku pulang lebih awal.
Aku pun menceritakan, tadi aku mengerjakan soal Bahasa Indonesia dan diminta menjawab pertanyaan dengan mengisi titik-
titik kosong. “Apa pertanyaannya?” bentak Ayah geram. Kusaksikan Ibu
terisak dalam diam. Kubaca tulisan di buku tulisku, “Ayah Tono adalah orang baik,
pekerjaannya …titik-titik-titik…” “ Apa jawabmu?”
Setelah ragu, aku menjawab, “Pencuri….” Aku membayangkan ikat pinggang Ayah membelah
punggungku, tetapi tidak. Aku heran menyaksikan Ayah yang pergi dengan langkah gontai. Entah apa yang terjadi.
Malamnya aku bertanya kepada Ibu. Ibu pun diam. Aku bertanya tentang mengapa “mencuri” tidak diperbolehkan di
sekolah. Bahkan ketika aku menuliskan jawaban itu, aku dihukum. Juga ketika kutanyakan mengapa sikap Ayah seperti itu setelah
mendengar jawabanku, Ibu pun hanya diam. Kusaksikan wajahnya tampak kian tua, tatapannya memberat. Sepertinya di atas kepalanya
ada berpuluh-puluh batang kayu gelondongan yang menindihnya.
Peristiwa yang Mengesankan
151
Ayah saja tak mampu mengangkat gelondongan kayu jati itu seorang diri, apalagi ibu yang cuma seorang perempuan.
Sejak peristiwa itu, aku tak boleh sekolah oleh Ayah. Meskipun kutanyakan, bukankah dulu dia yang bersemangat menyuruhku
sekolah, dia bersikeras. Kau bisa membayangkan apa yang kumaksud dengan “bersikeras”, kan? Tetapi, selang seminggu
kemudian, Ibu rupanya berhasil membujuk ayah agar aku sekolah kembali hingga selesai. Anehnya, sejak tugas yang membuatku
dihukum, guruku menjadi sangat tak acuh padaku, padahal, tak sebatang pensilpun hilang dari kelasku.
“Ini kita muatkan ke truk itu. Dapat bayar. Selesai.” “Berdua? “tanyaku tak percaya.
“Kau jauh lebih muda. Lebih kuat. Apa kau sudah jadi perempuan?” bisik ayahku dingin. Kudengar deram mesin truk di
ujung sana. Maka, tanpa banyak kata kami pun bersimbah peluh,
menggelondongkan batang-batang besar, memikul, dan memuatkannya pada truk. Hanya berdua, dan hanya berdua pula
uang yang kami terima: lumayan.
“Dengan ini, kita bisa makan,” ucap Ayah tenang. Dia sudah tua, tetapi tenaganya seakan tak pernah surut.
“Sebagian lagi kau bagikan pada Tewel.” “Berapa ?”
“Lebihkan sedikit dari yang lalu….” “Mengapa ?”
“Katanya, untuk membayar uang pangkal anaknya….” “Enak betul….”
“Sudahlah…, daripada kita dapat masalah.”
Dan sore itu aku ke perbatasan hutan jati menemui seorang polisi- entah apa pangkatnya-dan menyerahkan sejumlah uang seperti yang
dipesankan ayahku. Seperti biasanya, dia memintaku untuk meletakkan amplop itu
di suatu tempat yang ditentukan dan begitu aku melangkah jauh, dia akan segera mengambilnya. Itu dilakukannya agar tak ada orang
152
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
lain yang tahu. Jujur saja aku ingin membelah kepalanya, mengeluarkan otaknya, dan membakarnya sampai jadi abu. Aku
tak tahu mengapa niat itu belum kulaksanakan, padahal dia selalu menyulitkan kami. Tanpa dia pun kami akan baik-baik saja,
sebetulnya.
Bayangkan, di sini siapa yang akan melaporkan kami? Melaporkan apa? Pencurian? Jangan-jangan jika kau, misalnya,
melaporkan kepada polisi, kau malah ditanyai habis-habisan: mencuri itu apa? Di wilayah kami hanya ada kerja bakti, saling
menghormati, hidup bahagia, tetapi tidak untuk “mencuri”. Tak ada itu dalam hidup kami. Jadi, Saudara jangan mengada-ada, bisa-
bisa kena pasal fitnah.
Itu jawaban yang akan kau terima. Tak percaya, coba saja. Kami semua lahir dan hidup di gunung ini, yang seluruh
lembahnya ditumbuhi pohon jati. Sejak moyang kami, kami memang hidup dengan pohonb-pohon ini. Dan hutan-hutan ini
seakan tak habis-habisnya, jadi memang inilah yang bisa kami lakukan untuk hidup. Apa ini salah?
Percayalah, tak ada sesuatu yang kau sebut “mencuri” itu di desa kami dan kami menjualnya. Jadi apa yang kami lakukan, yang
menurut kalian adalah perbuatan tidak baik, bagi kami malah mulia. Entah sejak kapan, tiba-tiba entah dari mana ada peraturan
pelarangan menebang pohon jati. Ini hutan kami. Kami yang merawatnya, menjaganya, dan memanfaatkannya. Mengapa kami
tak boleh menebangnya? Bagaimana memanfaatkan pohon jati, tanpa menebangnya? Ini aneh. Peraturan aneh. Dan sejak peraturan
aneh itu, kami jadi terpaksa berhubungan dengan para polisi itu. Kami jadi harus menyetorkan jerih payah kami kepada mereka yang
bahkan tak ikut memegang kapak sekalipun. Aneh
Seusai sekolah menengah pertama, yang kulalui hampir seluruhnya dengan berkelahi, aku tak melanjutkan pendidikanku
lagi. Pertama, karena Ayah kian banyak berurusan dengan para polisi; kedua, karena guru-guru tak menyarankan aku untuk sekolah
lagi. Aneh.
Maka sejak saat itu aku menjadi pembantu Ayah. Mempersiapkan peralatan, bekal, dan tentu saja tenaga. Meskipun begitu, tidak setiap
Peristiwa yang Mengesankan
153
hari kami melakukan penebangan. Benar bahwa dulu pun tidak setiap hari kami menebang. Ayah akan melihat dan menentukan
pohon mana yang cocok untuk ditebang, wilayah mana yang merupakan “larangan” bagi semua penduduk, dan seterusnya.
Tetapi, kejarangan menebang kami kali ini lebih dikarenakan begitu banyaknya “musuh”. Istilah ini aku dengar justru dari Pak Tewel,
polisi tambun yang dulu ingin aku jadikan santapan kapakku. Ya dia masih saja berkumpul bersama kami, padahal dia bukan
kelahiran sini. Entah pangkatnya apa, yang jelas mobilnya selalu berganti-ganti dan jumlahnya tidak hanya sebuah.
Aku, dan mungkin juga Ayah serta orang-orang sini, tak paham benar apa yang dimaksud dengan “musuh”. Yang jelas, sekarang
kami berada dalam kendali Pak Tewel dan konco-konconya. Jika mereka bilang “jangan“, maka kami tak bisa menebang. Sebaliknya,
jika dia diam saja, berarti hari itu kami dapat uang. Masalahnya, Pak Tewel lebih banyak berkata “jangan”. Celaka
Suatu malam, ketika kami: aku, ayah, Pak Min, Pak Mus, dan Pak So tengah berkumpul membicarakan situasi yang “diciptakan”
Tewel, tiba-tiba kami dikejutkan oleh teriakan seseorang. Ternyata istri si Kam yang melolong, suaminya mati. Kam, terbaring selama
tujuh hari. Tubuhnya lebam-lebam, sering muntah darah, dan merintih terus. Dia sempat cerita-sebelum akhirnya pingsan
berkepanjangan dan akhirnya mati-bahwa Tewel ternyata menerima uang dari “musuh” yang sering didengung-dengungkannya.
Ketika mendengar itu, kapakku mendesis. Malam itu, ketika kusaksikan sendiri Kam mati, tak ada lagi maaf untuk manusia yang
satu itu. Aku sendiri sudah tak bisa lagi menahan diri. Bapak kulihat menyetujui lewat pandangannya yang dingin. Kam mati lantaran
tahu rahasia Tewel. Tewel harus mati karena dia membunuh kami. Hanya kami yang punya hutan jati, dan jati adalah kami, tak boleh
orang lain menguasai kami.
Malam itu juga, Kam kami makamkan. Sepulang dari makam, malam itu juga, kami berlima puluh laki-laki mulai menebang jati.
Tak ada lagi uang. Tak ada lagi makanan. Perut lapar, kami punya jati dan jati memberi kami hidup. Tak ada lagi yang bisa menghalangi.
Berani menghalangi, berani mati.
154
Bahasa Indonesia XI Program Bahasa
L atihan
7.5
Pak Mo, yang ternyata diam-diam berhasil memiliki gergaji buaya, begitu kami menyebutnya-karena gigi-giginya sepanjang moncong
buaya-membuat pekerjaan jadi lebih mudah. Begitu gergaji Pak Mo menggeram, sebentar kemudian pohon pun tumbang, kemudian kami
kumpulkan ke suatu tempat yang sudah kami persiapkan. Besok pasti ada truk yang akan membayar dan mengangkutnya.
Pada pohon kelima puluh, menjelang subuh kudengar suara tembakan. Aku hafal betul itu senjata Tewel. Kami sudah menduga,
dia akan marah karena saat ini dia tengah melarang kami menebang. Apa peduliku? Siapa dia? Pengemis hina tak tahu diri, beraninya
melarang kami.
Sekarang, apakah kau mengerti yang kumaksudkan? Ketika kutuliskan ini semua, peristiwanya sudah lama berlalu. Setelah hari-
hariku dibalik jeruji kutuntaskan, semuanya mungkin sudah punah di sana. Aku tak tahu lagi bagaimana nasib ibu. Ayah yang terobek
peluru dan dua puluh lagi laki-laki kami yang mati menjadi saksi bahwa kami memang pernah ada. Tewel, sebagaimana yang kucita-
citakan mampus terbelah kapakku. Puas apuas karena seperti yang kuduga tengkoraknya kosong melompong tak ada otaknya. Aneh
Kau pasti tak percaya. Coba saja. Amati orang-orang seperti Tewel lalu ajak bicara, pasti tak bisa.
Maaf, mungkin bicaraku terlalu kasar untuk ukuranmu. Jujur saja, aku tak tahu ke mana harus belajar sopan santun. Hanya usia
yang membuatku kian luruh. Aku hanya mampu begini, menuliskan apa yang mampu kutulis. Mungkin menujadi sebuah cerita. Mungkin
hanya coretan tak berarti bagimu, tetapi ini semua memiliki arti penting bagiku.
Sumber: Kompas, 25 November 2007
a. Apa tema dan amanat cerpen di atas?
b. Carilah sebuah cerpen remaja dari koran atau majalah Bacalah
cerpen tersebut kemudian analisislah nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut, sertakan kutipan yang mendukung
jawabanmu
Peristiwa yang Mengesankan
155