Masa Hidup Berburu dan Mengumpulkan Makanan Homo Soloensis

38 mengumpulkan bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan. Pola ini disebut sebagai food gathering. Untuk berburu dan mengumpulkan bahan makanan mereka menggunakan alat-alat sederhana, apa adanya yang tersedia di alam sekitar mereka. Ada beberapa alat-alat dari batu yang ditemukan di wilayah Indonesia, seperti kapak perimbas, kapak penatah, dan kapak genggam. Batu-batu serpih yang terbuat dari pecahan batu digunakan sebagai pisau atau alat pemotong, juga sebagai mata panah atau tombak. Alat-alat dari batu banyak ditemukan di daerah Pacitan dan Sangiran, Jawa Timur. Alat-alat dari tulang dan tanduk juga ditemukan di daerah Ngandong, Jawa Timur. Digunakan sebagai ujung tombak dan alat untuk mencungkil atau menggali umbi-umbian dari dalam tanah. Jenis manusia yang hidup pada berburu dan mengumpulkan makanan ini, adalah Meganthropus Palaejavanicus, Pithecanthropus Mojokertensis, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan Homo Wajakensis. Masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan terus berlanjut pada zaman Mesolitihikum. Kehidupan semi nomaden. Artinya ada yang tinggal menetap, tetapi masih ada yang berpindah-pindah. Mereka memilih tempat di guaceruk, tepi pantai, atau tepi sungai. Masa mesolithikum berlangsung selama kurang lebih 20.000 tahun silam. Zaman Hasil-hasil Kebudayaan Cara Hidup dan Kemampuan membuat alat Jenis Manusia Pendukung Palaeolithikum Mesolitihikum Budaya Pacitan – Kapak Penetak - Kapak Perimbas Budaya Ngandong – alat-alat tulang dan tanduk – alat-alat yang terbuat dari batu-batu kecil. Budaya Bascon Hoabind – kapak Sumatera – kapak genggam – alat-alat terbuat dari tulang – kapak pendek – batu serpih – masa food gathering tahap awal berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ke- ladi, ubi, dan buah- buahan hutan - nomaden berpindah- pindah – masa food gathering tingkat lanjut- – semi nomaden – abris sous soche – kjokkenmoddinger - Meganthropus Palaeojavanicus – Pithecanthropus Erectus – Pithecanthropus Robustus – Pithecanthropus Mojokertensis – Homo Soloensis – Homo Wajakensis Papua Melanesoide – Suku Papua – Suku Sakai Siak

2. Masa Bercocok Tanam dan Beternak Food Producing

Manusia purba Indonesia sudah memasuki masa bercocok tanam sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi. Terbukti dengan adanya penemuan gambar tanaman padi di Gua Ulu Leang Sulawesi Selatan. Menurut ahli arkeologi Indonesia, Prof. Dr. R. Soekmono, perubahan dari food gathering ke food producing 39 merupakan satu revolusi dalam perkembangan zaman pra- aksara Indonesia. Disebut revolusi karena terjadi perubahan yang cukup mendasar dari tradisi mengumpulkan makanan dan berburu menjadi bercocok tanam. Oleh karena itu, zaman bercocok tanam dianggap sebagai dasar peradaban Indonesia sekarang. Dalam hal kepercayaan mereka melakukan pemujaan kepada arwah nenek moyang yang dianggap sangat mem- pengaruhi kehidupan mereka animisme dan mempercayai kepada benda-benda alam yang dianggap memiliki kekuatan dinamisme. Manusia purba pada masa bercocok tanam menciptakan alat-alat sederhana untuk menunjang kegiatan bercocok tanam, teknik pembuatannnya lebih maju, kapak itu bentuknya sudah halus, diupam diasah, seperti kapak persegi atau beliung persegi. Terbuat dari batu berbentuk persegi, gunanya untuk menggarap ladang. Adanya juga Kapak Lonjong, terbuat dari batu kali yang berwarna kehitam-hitaman. Umumnya jenis kapak ini digunakan sebagai pacul atau sebagai kapak biasa. Dua jenis kapak ini banyak ditemukan di Indonesia. Tradisi bercocok tanam berlangsung hingga zaman logam dan zaman megalithikum dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Zaman Hasil-hasil Kebudayaan Cara Hidup dan Kemampuan membuat alat Jenis Manusia Pendukung Neolithikum – Kapak lonjong – Kapak persegi – Kapak bahu – Tembikargerabah – Perhiasan – Food producing – Tempat tinggal menetap – Bercocok tanam – Beternak Proto Melayu 2000 SM – Suku Nias – Suku Toraja – Suku Sasak – Suku Dayak

3. Masa Megalithikum Masa Kebudayaan Batu Besar

Adanya kebudayaan megalithik terungkap dari penemuan bangunan-bangunan yang dibuat dari batu besar. Bahan-bahan bangunan megalithik kerap kali harus didatangkan dari tempat lain sebelum didirikan di suatu tempat yang terpilih. Dalam kenyataannya, bangunan megalithik memang didirikan demi kepentingan seluruh masyarakat yang membangunnya. Bangunan ini didirikan untuk kepentingan penghormatan dan pemujaan roh nenek moyang. Dengan demikian, pendirian bangunan megalitihik berkaitan erat dengan kepercayaan yang dianut masyarakat pada masa itu. Bangunan megalithik tersebar di seluruh Indonesia. Ada yang dibangun secara berkelompok dan ada yang berdiri sendiri. Kehidupan menetap yang telah dijalani menimbulkan ikatan-ikatan antara manusia dengan alam semestanya. Info Histori Istilah megalitihikum berasal dari bahasa Yunani, Mega = besar, lithos = batu, jadi megalithikum berarti kebudayaan batu besar. Sering juga disebut tradisi monolith karena pada umumnya dibuat dari batu besar yang utuh.