Tahap Pemeriksaan Oleh KPPU

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka MA dalam Pasal 4 ayat 4 Perma No 3 Tahun 2005 dengan tegas menyebutkan bahwa apabila para pelaku usaha yang dihukum oleh KPPU mempunyai tempat kedudukan hukum yang berbeda yang berarti berada pada wilayah PN yang berbeda pula, maka KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada MA untuk menunjuk salah satu PN untuk memeriksa perkara keberatan tersebut. Dengan demikian maka akan menjamin adanya kepastian hukum terhadap putusan keberatan yang dikeluarkan oleh PN karena terhadap satu putusan KPPU yang dimintakan upaya keberatan hanya akan ada satu putusan keberatan yang dikeluarkan oleh satu PN. Kasus IX.2 b. Perkara PT Holdiko Perkasa. Dalam perkara ini KPPU menduga PT Holdiko Perkasa melakukan tindakan persekongkolan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha peserta tender dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses Internasional. PT Holdiko mengajukan keberatan ke PN Jakarta Selatan atas putusan KPPU yang menyatakan PT Holdiko terbukti melanggar UU Antimonopoli dan oleh karenanya dijatuhi denda Rp 5 Miliar. Masalah dalam perkara ini berkaitan dengan pertanyaan apakah KPPU merupakan pihak dalam perkara keberatan. Dalam perkara ini KPPU tidak memposisikan diri sebagai pihak dengan alasan keberatan yang diajukan adalah terhadap putusan KPPU, bukan keberatan terhadap KPPU. Atas hal tersebut, kuasa hukum pemohon PT Holdiko Perkasa mengajukan protes dengan menyatakan bahwa apabila KPPU bukan pihak, seharusnya KPPU tidak berhak memberikan jawaban atas keberatan permohonan keberatan pemohon. Ketidakjelasan posisi KPPU apakah sebagai pihak dalam perkara atau bukan tidak hanya menimbulkan kesulitan dalam proses jawab menjawab tetapi juga dalam hal pembuktian. Apabila KPPU bukan pihak dalam perkara maka KPPU tidak berhak mengajukan alat bukti. Dalam proses keberatan sebelum berlakunya Perma No 3 Tahun 2005 ini posisi KPPU tidak jelas. Ditinjau dari peran KPPU dalam perkara keberatan dapat disimpulkan bahwa KPPU bukanlah pihak. Hal ini karena yang memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pemohon keberatan adalah KPPU bukan oleh majelis hakim. Pihak dalam perkara perdata tidak mempunyai kewenangan memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pihak lain karena hal itu mutlak menjadi kewenangan hakim. Setelah alat bukti diperiksa oleh KPPU, majelis hakim akan menilai apakah alat bukti yang diajukan memadai atau tidak. Bila majelis hakim berpendapat bahwa bukti yang diajukan belum cukup maka majelis hakim akan memerintahkan KPPU utuk melakukan pemeriksaan tambahan melalui suatu putusan sela. Permasalahan apakah KPPU sebagai pihak atau bukan dalam perkara keberatan menjadi penting untuk dipecahkan berkaitan dengan masalah pembuktian. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan kepada siapa selain pemohon hakim akan memperoleh keterangan dan siapa yang akan diberi beban pembuktian? Dalam suatu perkara gugatan contentiosa harus ada dua pihak yang berperkara, artinya pembuktian juga akan dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut. Penilaian pembuktian yang diberikan hakim juga akan berasal dari dua pihak. Sehingga putusan hakim akan obyektif dan adil karena didasarkan oleh keterangan kedua belah pihak secara proporsional audi et alteram partem. Permasalahan yang timbul dalam hal ini adalah karena KPPU tidak dapat melakukan pembuktian, tetapi mengapa diberi kewenangan untuk menilai pembuktian pihak lawan pemohon sehingga akan sulit untuk memastikan bahwa putusan hakim adalah putusan yang fair. Rasionya adalah sebagai berikut, apabila alat bukti yang diajukan oleh pemohon dinilai KPPU maka penilaian KPPU akan bias, karena KPPU punya kepentingan dalam perkara yang tengah berlangsung. Seseorang yang punya kepentingan cenderung akan mendahulukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian dapat terjadi KPPU akan memberikan penilaian pembuktian yang menguntungkan posisinya. Mengingat kedudukan KPPU dalam perkara keberatan adalah sangat krusial, maka perlu ditentukan apakah KPPU merupakan pihak dalam perkara keberatan atau bukan. Permasalahan ini telah secara tegas dijawab oleh MA melalui Pasal 2 ayat 3 Perma No 3 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa dalam perkara keberatan KPPU adalah pihak dalam perkara. Hukum acara yang digunakan dalam menyelesaikan perkara keberatan terhadap putusan KPPU adalah prosedur gugatan perdata. Hal ini ditentukan dalam Pasal 4 ayat 2 Perma No 3 Tahun 2005 yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut “Keberatan diajukan melalui kepaniteraan PN yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan memberikan salinan keberatan kepada KPPU.” Dengan demikian sumber hukum acara yang digunakan dalam pengajuan keberatan adalah HIR kecuali ditentukan lain. Dimungkinkannya ketentuan lain yang mengatur hukum acara persaingan usaha menimbulkan beberapa perbedaan dengan hukum acara perdata biasa. Perbedaan ini diantaranya adalah ditetapkannya tenggang waktu. Pasal 5 ayat 5 Perma No 3 Tahun 2005 menentukan bahwa majelis hakim harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan perkara keberatan. Berdasarkan ketentuan itu maka Majelis hakim harus jeli dalam membuat jadwal dan perencanaan yang matang dan harus dipatuhi oleh semua pihak. Perencanaan ini meliputi penentuan hari dan tanggal persidangan serta agenda yang akan dilakukan dalam tiap persidangan. Perbedaan lainnya adalah tidak adanya proses mediasi pada saat sidang pertama. Dalam perkara perdata, proses mediasi ini adalah wajib dilakukan berdasarkan Perma No 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 5 ayat 2 Perma No 2 Tahun 2003 menentukan bahwa tenggang waktu untuk proses mediasi itu adalah 30 hari, setelah 30 hari para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang telah ditentukan. Apabila berhasil diperoleh kata sepakat dalam proses perdamaian maka hakim akan membuat suatu putusan yang isinya menghukum para pihak untuk mematuhi hasil perdamaian. Sedangkan bila tidak ada kata sepakat maka hakim akan meneruskan sidang dengan acara selanjutnya. Berkaitan dengan pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU, ketentuan Perma No 2 Tahun 2003 tidak dapat diterapkan mengingat PN hanya mempunyai waktu 30 hari untuk memutus perkara, sedangkan mediasi yang disyaratkan membutuhkan waktu 30 hari. Oleh karena itu MA dalam Pasal 5 ayat3 Perma No 3 Tahun 2005 menentukan bahwa pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU dilakukan tanpa melalui proses mediasi. Selain perbedaan tersebut diatas, masih terdapat perbedaan lagi antara hukum acara perdata dan hukum acara persaingan usaha, yang terlihat dalam hal pengajuan replik dan duplik. Dalam proses acara perdata, setelah salinan gugatan disampaikan kepada tergugat, maka tergugat diharapkan memberikan tanggapan atas dalil-dalil yang diajukan penggugat dalam gugatannya. Tahap selanjutnya adalah replik dan duplik yang diajukan oleh masing masing pihak. Dalam pemeriksaan keberatan terhadap putusan KPPU yang dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan di dalam Perma No 3 Tahun 2005, setelah pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan dan berkas perkaranya kepada PN yang memeriksa keberatan, kemudian pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan dan berkas perkara yang telah diserahkan oleh KPPU. Apabila majelis hakim berpendapat perlu diadakannya pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela perkara dikembalikan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan. Dengan demikian KPPU tidak dimungkinkan mengajukan dalil-dalilnya untuk menguatkan putusannya, dan selanjutnya tidak dimungkinkan pula bagi pelaku usaha untuk menguatkan dalil-dalil keberatannya. Artinya, pengajuan replik dari pelaku usaha dan duplik dari KPPU tidak dimungkinkan seperti halnya proses beracara dalam pemeriksaan perkara perdata pada umumnya, dan selanjutnya pembuktian langsung kepada pengadilan dan pengajuan kesimpulan. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai kompetensi relatif PN yang memeriksa perkara keberatan. Gugatan keberatan terhadap putusan KPPU diajukan di PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha tersebut. Ini berbeda dengan pengajuan gugatan perdata pada umumnya, dimana gugatan dilakukan di pengadilan di tempat tinggal tergugat actor sequitur forum rei sesuai dengan Pasal 118 ayat 1 HIR. Asas actor sequitur forum rei tidak dapat diterapkan dalam pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU, sehingga domisili hukum KPPU tidak menjadi syarat untuk menentukan kompetensi relatif PN dalam perkara keberatan. Pendaftaran keberatan diajukan kepada PN yang berwenang untuk memeriksanya dan didaftarkan kepada kepaniteraan PN yang bersangkutan. Nomor registrasi keberatan mempunyai nomor dan kode khusus dibedakan dari perkara perdata pada umumnya. Kode perkara tersebut adalah: Nomor PerkaraKPPUTahun Singkatan Pengadilan Negeri yang memeriksa. Setelah keberatan didaftarkan pada kepaniteraan PN, Pasal 4 ayat 2 Perma No 3 Tahun 2005 menentukan bahwa pelaku usaha yang mengajukan keberatan harus memberikan salinan keberatan kepada KPPU. Ketentuan ini bertujuan memberikan kesempatan kepada KPPU untuk mempelajari hal hal yang menjadi keberatan pelaku usaha tersebut, sehingga ketika di persidangan KPPU sudah menyiapkan jawaban dan bukti bukti yang diperlukan sehingga persidangan diharapkan dapat dilakukan dengan cepat dan eisien. Ketentuan ini mirip dengan prosedur acara perdata yang menetukan bahwa setelah gugatan penggugat didaftarkan di kepaniteraan PN, maka salinan gugatan tersebut akan dikirimkan kepada tergugat. Ketentuan ini bertujuan selain sebagai pemberitahuan adanya gugatan juga berfungsi untuk menjelaskan pada tergugat tentang duduk perkara serta untuk kepentingan pembelaan tergugat. Selanjutnya Ketua PN menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU. Mengenai penunjukan majelis hakim ini Pasal 5 ayat 1 Perma No 3 tahun 2005 menentukan agar Ketua PN sedapat mungkin menunjuk hakim-hakim yang mempunyai pengetahuan yang cukup di bidang hukum persaingan usaha. Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ukuran cukup pada kalimat ”hakim yang mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang hukum persaingan usaha” tersebut serta bagaimana bila dalam suatu PN tidak ada hakim yang mempunyai pengetahuan tersebut.