Oligopsoni Perjanjian yang dilarang
Namun perkembangannya ternyata penggabungan perusahaan tidak selalu menunjukan adanya hubungan yang kuat antara terjadinya penggabungan dengan
tingkat keuntungan yang akan diperoleh seperti yang tergambar di atas, tetapi setidaknya dengan adanya penggabungan akan ada bagian-bagian perhitungan
ongkos yang akan hilang atau menurun, misalnya: dalam hal ongkos-ongkos transaksi, iklan, pemanfaatan informasi bersama, dan administrasi.
Integrasi antar pelaku usaha juga dengan sendirinya dapat juga dikaitkan dengan pengurangan resiko dalam bisnis. Dengan terjadinya integrasi vertikal ke
bagian hulu, maka resiko akan kekurangan bahan baku tentunya menurun. Dan dari segi pengelolaan, jika sebelumnya dikelola secara terpisah, maka setelah
integrasi dapat menjadi manajemen tunggal. Dimana dengan pengelolaan di bawah manajemen tunggal, maka pengembangan pemasaran mungkin dapat dilakukan lebih
baik, sehingga dengan terjadinya integrasi antar pelaku usaha, perusahaan pelaku usaha tersebut dapat meningkatkan eisiensinya, yang kemudian pada akhirnya
dapat menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang tinggi.
Integrasi antar pelaku usaha dapat juga dilakukan untuk saling menutupi kelemahan dari masing masing pelaku usaha yang melakukan integrasi, karena
sudah pasti setiap pelaku usaha memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri, misalkan satu perusahaan memiliki kelemahan dalam pengelolaan sumber daya manusia,
tetapi unggul dalam berproduksi dapat bergabung dengan pelaku usaha lain yang mungkin memiliki kelebihan dalam pengelolaan sumber daya manusia tetapi kurang
dalam proses produksi, dimana kemudian diharapkan dengan terjadinya integrasi kelemahan-kelemahan yang ada dapat ditutupi atau bahkan dihilangkan. Tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan efek-efek negatif bagi persaingan di antar pelaku usaha, seperti:
1 Integrasi vertikal ke arah hulu upstream dapat mengurangi kompetisi
di antara penjual ditingkat hulu upstream level, contohnya: seandainya
pelaku usahaperusahaan perakitan kendaraan dihadapkan pada suatu keadaan dimana pelaku usaha tersebut harus membeli bahan baku dari
pelaku usaha pemasok bahan baku perusahaan pembuat besi baja dengan harga oligopoli umumnya pada industri pembuatan besi baja hanya terdapat
beberapa perusahaan besar saja, dalam keadaan seperti ini perusahaan perakitan kendaraan akan lebih menguntungkan jika melakukan integrasi
vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, sehingga perusahaan perakitan kendaraan memiliki perusahaan pembuat besi baja sendiri,
yang kemudian perusahaan perakitan mobil tidak lagi menjadi korban dari perilaku oligopoli yang biasanya menerapkan harga di atas kewajaran
dari perusahaan pembuat besi baja, tetapi kemungkinan nantinya perusahaan pembuat besi baja yang melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan
perakitan kendaraan tidak bisa lagi menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan lain. Akibatnya harga besi baja untuk perusahaan
perakitan dapat menjadi lebih mahal lagi, karena semakin berkurangnya pemasok besi baja bagi perusahaan-perusahaan perakitan kendaraan. Dan
ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan perakitan kendaraan untuk melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi baja, yang
pada akhirnya semakin berkuranglah persaingan di antara perusahaan pembuat besi baja yang memasok untuk industri perakitan kendaraan;
2 Memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu upstream level,
dimana dengan semakin meluasnya integrasi vertikal dapat memfasilitasi kolusi diantara perusahaan manufaktur karena pemotongan harga terlalu
mudah dideteksi alasan yang digunakan untuk kasus ini sama dengan yang digunakan untuk menolak
resale price maintenance; 3 Integrasi vertikal kearah hilir
downstream integration dapat memfasilitasi diskriminasi harga, dimana integrasi sampai di tingkat
retailer dapat memungkinkan perusahaan manufaktur mempraktekan diskriminasi harga
tanpa harus mengkhawatirkan terhadap tindakan dari perusahaan retail lainnya. Contohnya sebuah perusahaan manufaktur yang menjual produknya
di
boutique dan di toko diskon, harga yang diterapkan oleh boutique terhadap produknya biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga yang diterapkan
oleh toko diskon, hal tersebut terjadi karena pemilik boutique melakukan
mark-up yang setinggi-tingginya terhadap produk yang dijual di gerainya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Memperhatikan
perilaku dari boutique ini terkadang membuat tidak jarang perusahaan manufaktur juga membuat sendiri
boutique yang akan menjual produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat menikmati
juga keuntungan sebagai pemilik boutique;
4 Meningkatnya hambatan masuk entry barriers dimana pelaku usaha yang
harus melalui dua tahap jika ingin masuk ke dalam pasar, dengan semakin meluasnya praktek integrasi vertikal, kemudian membuat perusahaan
manufaktur yang ingin masuk kedalam suatu industri, harus memiliki perusahaan pemasok sendiri yang menjamin pasokannya karena perusahaan
pemasok yang ada sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur yang lain, atau perusahaan manufaktur untuk memasarkan produknya terpaksa
harus memiliki perusahaan ritel tersendiri karena perusahaan ritel yang ada juga sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur yang lain.
149 149
Stephen F. Ross, pp.383-384.
Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu integrasi vertikal, maka UU No. 5 Tahun 1999 memasukan integrasi vertikal kedalam
pengaturan kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang danatau jasa tertentu yang mana
setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat danatau merugikan masyarakat.”
Dirumuskannya Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 secara rule of reason adalah
sangat tepat, karena seperti telah dijelaskan bahwa integrasi vertikal dapat mempunyai dampak-dampak yang pro kepada persaingan, dan dapat pula berdampak
hal yang merugikan pada persaingan. Dengan kata lain pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung sepanjang tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat atau merugikan kepentingan masyarakat dan perjanjian tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.
Kasus IV.11
Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU adalah apa yang dikenal dengan kasus Abacus yaitu Putusan No. 01KPPU-L2003. Terlapor dalam kasus
ini adalah PT. Persero Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia disingkat “Garuda Indonesia”.
Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut. Bahwa Terlapor adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dengan kegiatan usaha antara lain
melaksanakan penerbangan domestik dan internasional komersial berjadwal untuk penumpang serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan
penerbangan. Untuk mendukung kegiatan usaha penerbangannya tersebut, Terlapor mengembangkan sistem ARGA sebagai sistem informasi pengangkutan
udara domestik. Sedangkan untuk sistem informasi penerbangan internasional, Terlapor bekerjasama dengan penyedia CRS dalam bentuk perjanjian distribusi
Sistem informasi ini digunakan oleh biro perjalanan wisata untuk melakukan reservasi dan
booking tiket penerbangan Terlapor secara online. Bahwa akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, semakin menambah beban keuangan
Terlapor yang memaksanya untuk melakukan pemotongan biaya-biaya.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal Terlapor di setiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA di dalam
terminal Abacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi I menyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah Indonesia hanya
dilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus.
Kebijakan dual access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis.
Hal ini telah diakui oleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkan oleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karena
biaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah.
Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistem Abacus bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata di
Indonesia dalam melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan. Semakin
banyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacus untuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional Terlapor
yang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional Terlapor.
Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakan sistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasai
penerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen maskapai lain, menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasi
domestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminal Abacus mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkan
ke biro perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistem Abacus yang memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA.
Untuk mendukung kebijakan
dual access, Terlapor menambahkan persyaratan bagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik,
yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkan terminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutandibuka sambungan ke
sistem ARGA persyaratan Abacus connection .
KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14 UU NO. 5 tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian proses
produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi
vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi
perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Dengan kegiatan
usaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan komersial berjadwal untuk penumpang domestik dan internasional dengan mengoperasikan pesawat sebagai
sarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan proses yang
berlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.