Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal Terlapor di setiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA di dalam
terminal Abacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi I menyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah Indonesia hanya
dilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus.
Kebijakan dual access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis.
Hal ini telah diakui oleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkan oleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karena
biaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah.
Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistem Abacus bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata di
Indonesia dalam melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan. Semakin
banyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacus untuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional Terlapor
yang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional Terlapor.
Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakan sistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasai
penerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen maskapai lain, menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasi
domestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminal Abacus mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkan
ke biro perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistem Abacus yang memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA.
Untuk mendukung kebijakan
dual access, Terlapor menambahkan persyaratan bagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik,
yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkan terminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutandibuka sambungan ke
sistem ARGA persyaratan Abacus connection .
KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14 UU NO. 5 tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian proses
produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi
vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi
perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Dengan kegiatan
usaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan komersial berjadwal untuk penumpang domestik dan internasional dengan mengoperasikan pesawat sebagai
sarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan proses yang
berlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.
4.1.9. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup atau excusive dealing adalah suatu perjanjian yang
terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.
150
Ekslusif dealing atau perjanjian tertutup ini terdiri dari:
a. Exclusive Distribution Agreement
Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja,
atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.
Permasalahan dalam exclusive dealing adalah kemungkinan matinya suatu
pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang akan menjual produknya. Selain dari pada itu
ekslusif dealing juga dapat menyebabkan meningkatnya halangan untuk masuk ke pasar.
151
Disamping itu terdapat pula beberapa akibat positif dari exclusive dealing.
Baik bagi distributor maupun bagi produsen exclusive dealing cukup menarik,
karena akan membuat kepastian akan distribusi dan adanya jaminan atas bahan baku. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengurangan ongkos, sehingga terjadi
eisiensi. Kemudian, exclusive dealing juga dapat mencegah “free riding”, misalnya perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran, apabila tidak ada
perjanjian ekslusif, maka ketika konsumen datang ke distributor karena tertarik dengan iklan, akan tetapi sesampainya di distributor konsumen melihat dan
membeli barang lain, maka iklan yang dilakukan tidak ada pengaruhnya.
152
Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha
manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor,
yang kemudian dapat berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur
membuat perjanjian dengan distributor-distributornya untuk membagi konsumen
150
Philip Clarke and Stephen Corones, Competition Law and Policy: cases and materials, Oxford University Press, 2000 p.376.
151
E. Thomas Sullivan and Jeffrey L., p.176.
152
Ibid. p.177.
dan wilayah pasokan agar tidak terjadi bentrokan di sesama distributor atau tidak terjadi persaingan
intrabrand. Dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat
distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih
dari biasanya untuk mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut.
Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan
eksklusif yang dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu
yang menjadi bagiannya tersebut.
Oleh karena itu Pasal 15 ayat 1 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat
exclusive distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Adapun bunyi dari Pasal 15 ayat 1 Undang-undang No. 5
Tahun 1999 sebagai berikut, bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang danatau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang danatau jasa tersebut kepada pihak tertentu danatau pada tempat tertentu.”
Pasal 15 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal,
sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang danatau jasa hanya
akan memasok atau tidak akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu danatau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu
munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat dikenakan pasal ini. Karena perjanjian tertutup
ini selain mempunyai dampak negatif juga mempunyai dampak yang positip bagi persaingan maka sebaiknya dalam menangani kasus perjanjian tertutup dipakai
prinsip
rule of reason.
Kasus IV.12
Salah satu Putusan KPPU mengenai masalah ini adalah Putusan No. 11 KPPU-I2005 mengenai Distribusi Semen Gresik. Para Terlapor dalam Kasus ini
terbukti melanggar Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 15 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15 ayat 1. Pada kasus ini Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor
VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium Distributor Semen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga melakukan pelanggaran atas UU No. 5
tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para Langganan Tetap LT di Area 4 untuk menjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat 1 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan kepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja.
Bahwa adanya aturan yang diterapkan oleh Konsorsium tentang larangan bagi LT menjual merek semen selain Semen Gresik, menyebabkan salah satu LT di
Area 4 mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor XI karena menjual semen merek lain selain Semen Gresik dan dianggap oleh oknum-
oknum Terlapor XI kurang menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum ada Konsorsium, LT dapat membeli Semen Gresik kepada Distributor yang mana saja
dan dapat melakukan negosiasi harga, namun setelah ada Konsorsium, LT hanya bisa membeli kepada Distributor tertentu dengan harga yang telah ditetapkan.
Terlapor mendalilkan bahwa maksud pembentukan Konsorsium adalah untuk menghadapi para LT dan toko yang sering “mengadu domba” Terlapor I,
Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X yang mengakibatkan terjadinya perang harga antar
Distributor. Bahwa tujuan pembentukan Konsorsium adalah untuk menghilangkan perang harga di antara para Anggota Konsorsium.
Namun KPPU menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, dan
Terlapor XI terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;
b. Tying Agreement
Tying agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan
mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau
menyewa barang lainnya.
Melalui praktek tying agreement, pelaku usaha dapat melakukan
perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying product barang atau
jasa yang pertama kali dijual ke tied product barang atau jasa yang dipaksa
harus dibeli juga oleh konsumen. Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus
tying product dan tied product, pelaku usaha dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam
pasar. Perusahaan kompetitor agar dapat bersaing, maka mau tidak mau harus melakukan hal yang sama yaitu melakukan praktek
tying agreement juga.
Bagi konsumen yang tidak paham mengenai praktek tying agreement, mungkin
ketika dia membeli suatu produk dan kemudian mendapatkan tambahan produk lain, dianggap sebagai suatu hadiah. Padahal sesungguhnya harga yang dia
bayarkan merupakan harga dari kedua produk yang dia terima tersebut. Praktek tying agreement juga dapat membuat konsumen kesulitan dalam menentukan
harga sebenarnya dari produk yang dia beli, dimana sebelumnya dia hanya ingin membeli satu produk, tetapi karena dipaksa harus membeli produk yang lain
sehingga membuat konsumen menjadi bingung berapa harga dari masing-masing produk.
Terdapat beberapa tujuan dari tying agreement. Pertama untuk mempersulit
masuk kepasar. Kedua, untuk meningkatkan penghasilan dengan menggunakan kekuatan monopoli pada salah satu barang atau jasa. Terakhir adalah untuk
menjaga kualitas barang.
153
Oleh karena itu dapat disimpulkan ada dua alasan yang menyebabkan praktek
tying agreement tersebut dilarang, yaitu: 1 pelaku usaha yang melakukan praktek
tying agreement tidak menghendaki pelaku usaha lain memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing secara
fair dengan dia terutama pada
tied product dan 2 pelaku usaha yang melakukan praktek tying agreement juga telah menghilangkan hak konsumen untuk memilih secara merdeka barang
yang ingin mereka beli.
Dalam menghadapi tying agreement ini, kita perlu membedakannya dengan
“bundling” yaitu keputusan dari suatu penjual untuk mengikutkan satu atau lebih independent produk sebagai suatu paket yang akan dipasarkan. Terjadi suatu
bundling apabila permintaan konsumen akan barang atau jasa tersebut dianggap sebagai permintaan terhadap barang atau jasa yang berbeda.
154
Pasal 15 ayat 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang danatau jasa tertentu harus bersedia membeli barang danatau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.” Dari
pasal 15 ayat 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 juga dapat dilihat defenisi dari
tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di antara pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu
harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
153
187 F. Supp. 543 E.D. Pa. 1960.
154
Daniel J. Gifford and Leo J. Raskind, op.cit. p.217.
Melihat rumusan pasal diatas, maka kita ketahui bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1999 bersikap cukup keras terhadap praktek
tying agreement, hal itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai
tying agreement dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek tying agreement tanpa
harus melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.
Kasus IV.13
Kasus yang pernah diputuskan oleh KPPU dan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 15 ayat 2 adalah Kasus Garuda Indonesia, Putusan No. 01KPPU-
L2003. Terlapor dalam kasus ini adalah PT. Persero Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia disingkat “Garuda Indonesia.
Bahwa dalam rangka meningkatkan eisiensi, Terlapor mengembangkan dual access system dengan menggunakan sistem Abacus. Bahwa dalam rangka
penjualan tiket, maka telah diulakukan pengangkatan keagenan pasasi domestik Terlapor dituangkan dalam bentuk perjanjian yang disebut perjanjian keagenan
pasasi antara Terlapor dengan biro perjalanan wisata. Bahwa karena Terlapor telah mengembangkan sistem ARGA untuk sistem reservasi dan sistem
booking tiket penerbangan domestik, maka biro perjalanan wisata harus menggunakan
sistem ARGA untuk dapat melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan
domestik Terlapor. Untuk kepentingan dimaksud, biro perjalanan wisata yang diangkat menjadi agen pasasi domestik Terlapor, akan menerima sistem ARGA
untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut. Bahwa untuk reservasi dan booking tiket penerbangan domestik Terlapor, digunakan sistem ARGA. Dengan demikian
biro perjalanan wisata yang menjadi agen pasasi domestik Terlapor seharusnya hanya memperoleh sistem ARGA saja. Namun untuk dapat ditunjuk menjadi agen
pasasi domestik, Terlapor mempersyaratkan adanya Abacus
connection. Dengan adanya persyaratan Abacus
connection mengharuskan biro perjalanan wisata menyediakan terminal Abacus yang di dalamnya terdapat sistem Abacus terlebih
dahulu untuk dapat memperoleh sistem ARGA, untuk memperoleh terminal Abacus, biro perjalanan wisata membayar sejumlah uang kepada Saksi I, padahal sistem
Abacus tidak digunakan untuk melakukan booking tiket penerbangan domestik Terlapor. Berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka Terlapor oleh KPPU dinyatakan
melanggar Pasal 15 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
c. Vertical Agreement on Discount
Pasal 15 ayat 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang danatau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku