adalah sebagai berikut. Pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia PT PGI telah melaksanakan program
“Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai
single pack baterai manganese tipe AA dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 satu buah
senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 tiga bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama,
sedangkan untuk material promosi standing display diberikan gratis oleh PT PGI.
Kemudian pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor PGK. Isi atau kegiatan dari
program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut:
1. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Toko mempunyai spaceruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter;
b. Toko bersedia memajang baterai ABC; c. Toko bersedia memasang POS material promosi ABC;
2. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan mendapatkan potongan tambahan 2, dengan ketentuan sebagai berikut;
a. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan Maret sudah tidak jual lagi;
b. Toko hanya menjual baterai ABC; 3. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic;
a. Bahwa patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh Terlapor; b. Bahwa Terlapor diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian
dengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic; Berdasarkan analisis fakta-fakta di atas, Majelis Komisi berpendapat bahwa
Terlapor telah membuat Perjanjian PGK yang ditanda tangani oleh toko grosir atau semi grosir peserta PGK berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “membuat
perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa” dalam pasal 15 ayat 3 telah terpenuhi. Majelis Komisi selanjutnya berpendapat
bahwa kegiatan promosi berupa PGK yang memuat ketentuan atau persyaratan yang melarang toko grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonic
merupakan upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit pelaku usaha pesaingnya, dalam perkara ini PT PGI, untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga unsur “menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama
pada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah terpenuhi.
4.1.10. Perjanjian dengan pihak luar negeri.
Terdapat beberapa persoalan sehubungan dengan pemberlakuan Undang- undang suatu negara terhadap orang atau badan hukum yang berada diluar negeri,
yaitu; pertama, apakah KPPU dan pengadilan Indonesia dapat memeriksa pelanggaran
atas UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berada dan melakukan kegiatan di negara lain. Apabila Hukum Persaingan Usaha dapat berlaku
pada pelaku usaha yang berada pada wilayah negara lain, apakah tidak lebih baik diselesaikan secara diplomasi. Kedua, kemungkinan tidak tepatnya pengadilan
untuk memeriksa hubungan antara satu negara dengan negara-negara lainnya dalam hubungannya dengan perusahaan yang melakukan kegiatannya di negara
tersebut. Ketiga, kemungkinan adanya kekebalan hukum atau kedaulatan suatu negara yang mempunyai saham pada perusahaan tersebut. Keempat, kemungkinan
akan menimbulkan tindakan yang tidak fair atas pelaku usaha yang bertindak dengan itikad baik dan dilakukan berdasarkan kebijakan dari negara-negara yang
berbeda. Kelima, kesulitan untuk mengontrol atau mengawasi keadaan yang ada diluar negeri dengan suatu kebijakan lokal. Terakhir, adanya kesulitan untuk
menjatuhkan putusan yang tepat, mengigat rumitnya masalah-masalah persaingan usaha, ditambah dengan kondisi pasar internasional, perbedaan adat istiadat, dan
besarnya perbedaan situasi dan kondisi ekonomi negara tersebut masing-masing.
155
Berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka wajarlah apabila terdapat perbedaan pandangan mengenai keberlakuan Hukum Persaingan Suatu Negara pada warga
Negara atau pelaku usaha Negara lainnya.
Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku
usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.
Permasalahan yang muncul dari rumusan Pasal 16 UU No.5 Tahun 1999, keharusan adanya suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri
dengan pelaku usaha yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian di antara pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek
persaingan usaha tidak sehat kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini.
Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1999 persoalan keberlakuan Hukum Persaingan Indonesia terhadap pelaku usaha yang ada di luar negeri dan didirikan
berdasarkan hukum negara yang bersangkutan baru terdapat dua kasus yaitu dalam kasus Very Large Crude Carrier VLCC dan kasus Temasek. Namun demikian untuk
pada kesempatan ini akan dijelaskan mengenai kasus Temasek.
155
Philip Areeda, op.cit. p.135.
Kasus IV.15
Kasus Temasek ini merupakan kasus kedua yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha Indonesia terhadap perusahaan yang didirikan, berkedudukan dan
melakukan kegiatan bisnisnya melalui wilayah di luar negara Republik Indonesia adalah perkara No. 07KPPU-L2007 atau yang lebih dikenal dengan Kasus Temasek.
Dalam kasus ini yang menjadi terlapor dan berada di luar negeri adalah delapan perusahaan yang berada di Singapore dan satu perusahaan yang berada di Mauritius
yaitu; Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore, Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., Singapore, STT Communications Ltd, Singapore, Asia Mobile Holding Pte.
Ltd., Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Indonesian Communication Limited, Mauritius, Indonesian Communication Pte.Ltd., Singapore, Singapore
Telecommunication Ltd., Singapore, dan Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd., Singapore. Kesemua perusahaan ini dikenal dengan Temasek Group atau Kelompok Temasek.
Kelompok Temasek melalui anak perusahaannya yaitu STT memiliki saham sebesar 41,94 saham pada PT. Indosat, dan melalui Singtel memiliki
saham sebesar 35 pada PT. Teleksel. Kelompok Temasek oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha kemudian dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 a. karena
telah melakukan kepemilikan silang terhadap Telkomsel dan Indosat sehingga mengakibatkan dampak anti persaingan usaha dalam pelayanan telekomunikasi
seluler di Indonesia. Temasek juga dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat 1 karena melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehingga
menyebabkan dampak anti persaingan usaha.
Kelompok Temasek mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksa Kelompok Temasek karena didirikan bukan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak
melakukan aktiitasnya di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hikmahanto Juwana yang menyatakan bahwa KPPU tidak dapat menggunakan yurisdiksi teritorial
karena hukum Indonesia tidak mengakui konsep ekonomi tunggal. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi personal
karena STT tidak didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan bukanlah suatu entitas Indonesia. KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi universal oleh
karena yurisdiksi tersebut hanya berlaku terbatas pada kejahatan internasional.
156
Namun KPPU berpendapat bahwa KPPU berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Kelompok Temasek yang pada intinya dengan alasan, diantaranya; bahwa
Kelompok Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur setiap orang atau badan usaha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 poin 5 UU No. 5
Tahun 1999, yang berdasarkan pada prinsip “single economic entity doctrine”
dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan dengan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk menentukan arah kebijakan
perusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam
satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi Hukum Persaingan Usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan
usaha dapat bersifat
extraterritorial.
157
156
Putusan No. 07KPPU-L2007, hlm. 270.
157
Putusan No. 07KPPU-L2007, hlm 126.