b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk b Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk
c Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli d Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan
usaha tidak sehat. Untuk membuktikan unsur-unsur perbuatan di atas maka kriteria ini harus
dipenuhi : 1. Tidak terdapat produk substitusinya
2. Pelaku usaha lain sulit masuk ke dalam pasar persaingan terhadap produk yang sama dikarenakan hambatan masuk yang tinggi.
3. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signiikan dalam pasar bersangkutan.
4. Satu atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50 pangsa pasar suatu jenis produk.
Dalam berbagai literatur disebutkan, bahwa banyak pengaruhdampak negatif sehubungan dengan dilakukannya monopoli oleh pelaku atau sekelompok pelaku usaha
yang dapat merugikan konsumen maupun pelaku usaha lainnya, yaitu antara lain : a. Adanya peningkatan harga produk barang maupun jasa tertentu sebagai
akibat tidak adanya persaingan sehat, sehingga harga yang tinggi dapat memicupenyebab terjadinya inlasi yang merugikan masyarakat luas;
b. Pelaku usaha mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, dan dia berpotensi untuk menetapkan harga seenaknya guna mendapatkan keuntungan yang
berlipat, tanpa memperhatikan pilihan-pilihan konsumen, sehingga konsumen mau tidak mau tetap akan mengkonsumsi produk barang dan jasa tertentu
yang dihasilkannya;
c. Terjadi eksploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak pilih pada konsumen untuk mengkonsumsi produk lainnya, sehingga
konsumen tidak peduli lagi pada masalah kualitas serta harga produk.
Eksploitasi ini juga akan berpengaruh pada karyawan serta buruh yang bekerja di perusahaan tersebut dengan gaji dan upah yang ditetapkan
sewenang-wenang, tanpa memperhatikan aturan main yang berlaku;
d. Terjadi ineisiensi dan tidak efektif dalam menjalankan kegiatan usahanya yang pada akhirnya dibebankan pada masyarakat luaskonsumen berkaitan
dengan produk yang dihasilkannya, karena monopolis tidak lagi mampu menekan AC
average cost secara minimal; e. Terjadi
entry barrier, dimana tidak ada perusahaan lain yang mampu menembus pasar monopoli untuk suatu produk yang sejenis, sehingga pada
gilirannya perusahaan kecil yang tidak mampu masuk ke pasar monopoli akan mengalami kesulian untuk dapat berkembang secara wajar dan pada
akhirnya akan bangkrut;
f. Menciptakan pendapatan yang tidak merata, dimana sumber dana serta modal akan tersedot ke perusahaan monopoli, sehingga masyarakat
konsumen dalam jumlah yang besar terpaksa harus berbagi pendapatan yang jumlahnya relatif kecil dengan masyarakat lainnya, sementara
segelintir dalam jumlah kecil monopolis akan meikmati keuntungan yang lebih besar dari yang diterima oleh masyarakat.
166
UU No. 5 Tahun 1999 melarang monopoli secara rule of reason yang
berarti bahwa monopoli akan dilarang jika monopoli tersebut merusak persaingan secara signiikan dan dengan pertimbangan monopoli tersebut nantinya akan
mengakibatkan praktek monopoli. Perbedaan UU No. 5 Tahun 1999 dengan Sherman Act 1890 ini dijumpai hampir seluruh bagian dari UU No. 5 Tahun 1999,
sehingga timbul kesan bahwa
Sherman Act melarang segala bentuk monopoli secara
per se, sedangkan UU No. 5 Tahun 1999 hanya melarang praktek monopoli. Namun dalam pelaksanaannya ternyata
Sherman Act juga tidak melarang bentuk monopoli meskipun pada section 2 yang disebutkan di atas seolah-oleh
dinyatakan demikian. Pada pelakasanaannya di Amerika Serikat para hakim yang menangani
antitrust juga menerapkan rule of reason dan banyak sekali kasus yang membuktikan bahwa tidak semua tindakan monopoli itu dilarang.
Praktek Monopoli
Lantas bagaimana dengan istilah praktek monopoli itu sendiri, karena ternyata istilah praktek monopoli itu lain dengan istilah monopoli. Jika diamati sebetulnya
kegiatan yang merupakan pokok dari berbagai larangan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah praktek monopoli. Pada dasarnya praktek monopoli ini
166
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, Jakarta: Raja Graindo Perkasa,1998 p.30.
merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi danatau pemasaran barang atau jasa tertenu
sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita ambil unsur-unsur dari praktek monopoli yaitu :
a. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha; b. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu;
c. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta d. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum.
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar barang atau jasa tertentu oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan
penguasaan itu pelaku usaha tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa hal ini dikenal pula dengan istilah
price ixing. Sedangkan persaingan tidak sehat dapat terjadi bila persaingan yang terjadi di antara para pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi danatau pemasaran batang atau jasa dilakukan dengan tidak jujur atau melawan hukum serta dapat menghambat persaingan usaha.
Apakah setiap penguasaan atas dasar suatu barang atau jasa tertentu merupakan suatu pelanggaran? Jika kita perhatikan dengan seksama pengertian
praktek monopoli di dalam UU No. 5 Tahun 1999 seperti yang disebutkan di atas, maka penguasaan yang dilarang adalah penguasaan yang mengakibatkan persaingan
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan tujuan UU No. 5 Tahun 1999 ini menjaga kepentingan umum dan meningkatkan eisiensi
ekonomi nasional, hanya sayangnya pengertian kepentingan umum dalam kaitannya dengan masalah monopoli ini tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga masih diperlukan
penafsiran dalam penerapan undang-undang ini.
Dengan demikian, tidak semua tindakan penguasaan atas produksi atau pemasaran merupakan pelanggaran. Monopoli yang terjadi karena keunggulan produk,
atau perencanaan dan pengelolaan bisnis yang baik, atau terjadi melalui perjuangan dalam persaingan jangka panjang sehingga menghasilkan suatu perusahaan yang
kuat dan besar serta mampu menguasai pangsa pasar yang besar pula, tentu saja bukan merupakan tindakan penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan
jasa monopoli yang dilarang.
Seperti halnya monopolisasi di Amerika Serikat, menurut ketentuan Section 2
The Sherman Act 1890 tidak semua monopoli dilarang, yang dilarang adalah justru
“monopolization” di Indonesia akan menjadi monopolisasi atau praktek monopoli. Praktek monopoli menurut pengertian
the Sherman Act ini adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan menggunakan kekuatan monopoli
monopoly power atas suatu pasar produk dan atau pasar geograis pasar yang bersangkutan
tersebut. Jadi, dalam hal ini Sherman Act menekankan adanya niat untuk menguasai
melakukan praktek monopoli dalam penerapan Section 2 The Sherman Act 1890 ini.
Di dalam monopolisasi
167
ini terdapat masalah mendasar, yaitu : 1. Apakah monopoli itu melanggar hukum atau apakah ilegalitas bergantung
pada tindakan yang patut dicela dalam mendapatkan atau mempertahankan kemampuan untuk ber-monopoli.
2. Tindakan jenis apakah yang merupakan monopolisasi praktek monopoli itu. Dalam kasus berikut ini menetapkan tahapan seberapa besar perkembangan
ajaran monopolisasi dan seberapa besar hukum anti trust berkembang pada saat itu.
Terdapat kepentingan yuridis yang perlu diperhatikan, yakni untuk mengkarakterisasi tujuan dari
Section 2 The Sherman Act 1890 dan pengujian yang digunakan dalam kasus
Standard Oil dan American Tobacco, dimana awalnya Standard Oil Company di New Jersey tersebar di 33 perusahaan yang secara geograi telah berkembang
menjadi perusahaan yang dikenal hingga saat ini. Kemudian ada lagi American
Tobacco Company yang terbagi menjadi 16 perusahaan, yang saat ini menjadi perusahaan milik R.J Reynold sang pewaris
American Tobacco Company.
Kasus V.1
A. Standard Oil Co. vs. United States.
Standard Oil sebagai tergugatterlapor melakukan monopoli illegal, ternyata tergugat sebelumnya telah mendominasi produksi minyak domestik dalam
negeri serta distribusi melalui serangkaian merger yang telah dilakukannya
termasuk dengan merger secara terpaksaforce merger, dan melakukan
penindasan dengan cara menghambat barrier to entry terhadap para pesaingnya,
pemaksaan terhadap supplier serta konsumen dari perusahaan saingannya. Jika dilihat sepintas, ternyata tergugat memiliki kemampuan dan bertindak secara
tidak benar serta menyimpang dari aturan
antitust. Pada akhirnya Hakim Justice White memberikan penjelasan komentar terhadap
Section 2 The Sherman Act 1890, sebagai berikut, bahwa dugaan utama terhadap niat untuk membatasi
167
Analisis lebih luas tentang kasus monopolisasi, dasar pemikiran dari ajaran yang mendasari, dan sifat deinisi perilaku monopolisasi, lihat III P. Areeda and D. Turner, Undang-Undang Anti
trust, bab 6-7 1978; Supp. 1987. Dua artikel yang menekankan pada perkembangan histories tentang hukum monopoli dan hubungannya
dengan masalah-masalah antitrust adalah, karya E. Levi, Undang-Undang Antitrust dan Monopoli, 14 U. Chi. L.
Rev. 153 1947; dan karya E. Rostow, Monopoli menurut Undang-Undang Sherman, 43 Ill. L. Rev. 745 1949.
perdagangan, untuk memonopoli dan untuk menimbulkan monopolisasi dapat dilakukan secara konklusif dengan mempertimbangkan :
1. Perbuatan seseorang atau perusahaan yang secara instrumental dalam menghasilkan pengembangan kekuatan di perusahaan New Jersey sebelum
perwujudan hasil tersebut dan sebelum perumusan perjanjian trust tahun
1879 dan 1882; 2. Dengan mempertimbangkan bukti tentang apa yang telah dilakukan dibawah
perjanjian tersebut dan tindakan yang mendahului pemberian kemampuan di perusahaan New Jersey dan juga menekankan bentuk kemampuan yang
diberikan pada perusahaan itu telah digunakan dan hasilnya telah timbul dari tindakan tersebut.
B. American Tobacco Co. vs. United States. 1911
Keputusan pengadilan dalam kasus Standard Oil kemudian segera diikuti dengan
adanya monopoli yang sama dalam industri tembakau. Diantara penemuan fakta- fakta yang ditekankan oleh Pengadilan “tujuan yang melanggar Undang-Undang
dan penggabungan yang ilegal” adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan yang paling awal adalah perbuatan penggabungan merger
organisasi perusahaan yang didorong oleh perang dagang yang terjadi sebelumnya, yang diilhami oleh satu atau beberapa pemikiran yang muncul
dari pihak-pihak yang terlibat dalam penggabungan tersebut; 2. Perbuatan awal tersebut dilakukan untuk mendukung kesimpulan, bahwa
niatan tersebut ada untuk mendukung kekuatan penggabungan sebagai landasan untuk melakukan monopolisasi perdagangan tembakau yang diawali
dengan sengketa perdagangan yang dibuat untuk merugikan pihak lain, baik dengan mengarahkan
competitorpesaing untuk keluar dari bisnis tersebut atau dengan memaksa mereka untuk menjadi pihak yang terlibat dalam
penggabungan merger sebagai target merger. Tujuan yang pelaksanaannya
digambarkan melalui terjadinya pertengkaranperselisihan dan oleh terjadinya serta hasil dari perang tembakau, dengan sengketa setelah masuknya kerja
sama di Negara Inggris dan terjadinya pembagian dunia usaha oleh dua kontrak Negara asing;
3. Kontrol terhadap semua elemen penting atas keberhasilan produksi tembakau, serta meletakkan kontrol tersebut di tangan perusahaan yang mandiri yang
bertindak sebagai penghambat masuknya competitor lain barrier to entry
dalam perdagangan tembakau; 4. Apabila ini terjadi dengan biaya jutaan dollar untuk membeli pabrik, namun
bukan dilihat fungsi dan tujuannya, melainkan semata-mata untuk mendekatkan mereka dengan upaya mengurangi tingkat persaingan serta mengubahnya
selain demi tujuan perdagangan; 5. Akibat penggabungan
merger tersebut adalah bahwa benyak persoalan legalitas yang dipertanyakan, kemudian bagaimana nasib assetmodal dan
kepentingan produsen, pemegang saham, atau pegawai yang dibutuhkan pada perusahaan baru hasil
merger yang terikat dalam jangka waktu lama dengan meninggalkan prinsip bersaing secara sehat di masa mendatang. Penghambat
masuknya kompetitor lain barrier to entry dalam perdagangan tembakau.
Berdasarkan keempat kasus tersebut di atas, untuk meneliti apakah pelaku usahapengusaha mempunyai niatan untuk melakukan praktek monopoli atau tidak,
maka di Amerika Serikat terdapat dua jenis tes yang dapat digunakan, yaitu general
intent test dan speciic intent test. Dalam general intent test, pengadilan cukup menguji apakah dalam prakek monopoli yang dilakukan pelaku usaha terdapat usaha
“adanya kemungkinan yang jelas bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan terjadinya monopoli”. Sedangkan dalam
speciic intent test, pengadilan harus menguji apakah tindakan yang dilakukan pelaku usaha mempunyai tujuan kongkritnyata yang
mencerminkan adanya kehendak atau niatan untuk melakukan praktek monopoli atau tidak. Meski demikian, untuk menjerat pelaku usaha berdasarkan
section 2 The Sherman Act 1890 ini, pengadilan tidak diharuskan untuk membuktikan adanya
speciic intent, dengan adanya general intent saja sebenarnya pengadilan sudah cukup mampu untuk menjerat, apakah seorang pelaku usaha berbuat curang atau tidak.
168
V.2 Monopsoni
Jika dalam hal monopoli, seorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk menjual suatu produk, maka istilah monopsoni,
dimaksudkan sebagai seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, atau acapkali monopsoni itu identik
dengan pembeli tunggal atas produk barang maupun jasa tertentu. Dalam teori ekonomi disebutkan pula, bahwa monopsoni merupakan sebuah pasar dimana hanya
terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada pasar yang kompetitif.
169
Biasanya pembeli tunggal ini pun akan menjual dengan cara monopoli atau dengan harga yang tinggi. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul
karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat.
Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh kasus monopsoni yang
banyak terjadi di negara-negara berkembang adalah masalah hubungan antara petani dengan pabrik. Biasanya pada suatu wilayah tertentu hanya terdapat satu pabrik
168
The Sherman Act 1890 menekankan pada ada niat untuk menguasai pasar, sedangkan pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 ini menekankan akibat perbuatan monopoli tersebut. Seperti yang disebutkan dalam pasal 17,
bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi danatau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli danatau persaingan tidak sehat. Jadi dalam pelaksanaannya
Sherman Act pada masa awal-awal diundangkan, menekankan bahwa pelanggaran an sich sudah dapat diajukan kepihak
berwenang untuk diproses, sedangkan UU No. 5 Tahun 1999 lebih menekankan pada rule of resason, yaitu
dengan mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan pelaku usaha mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
169
R. Sheyam Khemani, op.cit. p.30.
yang akan menampung seluruh hasil produksi pertanian. Dalam kondisi seperti ini biasanya petani sangat tergantung kepada produsen, sebaliknya produsen akan
berusaha menekan petani. Pada kondisi inilah kemudian kita menyaksikan ada salah satu pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur dengan tegas
kondisi yang menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.
Kasus serupa juga dapat terjadi jika ada serikat pekerja yang sangat solid sehingga mereka memiliki nilai tawar yang sangat tinggi. Suatu organisasi pekerja
yang mempunyai kemampuan mengorganisir tenaga kerja yang dapat meliputi dan mewakili sebagian besar atau seluruh tenaga kerja dalam sebuah industri, dalam
kondisi tertentu mereka bahkan bisa merugikan perusahaan dengan :
a. Menuntut upah yang lebih tinggi dari yang dicapai pada keseimbangan penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja. Dengan ancaman mogok
yang sangat merugikan perusahaan dan lain sebagainya, mereka menjadi punya kekuatan untuk merubah.
b. Membatasi penawaran tenaga kerja. Ketika buruh bisa melakukan pembatasan tenaga kerja. Pembatasan penawaran juga akan berimplikasi pada tuntutan
peninggian upah.
Untuk kasus Indonesia beberapa tahun lalu kita juga melihat ada kasus monopsoni yang terjadi pada beberapa pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh,
dimana Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh BPPC di bawah koordinasi Tommy Suharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada BPPC dengan
harga murah yang disertai dengan berbagai alasan yang dipaksakan.
UU No 5 Tahun 1999 mengatur monopsoni ini secara khusus dalam Pasal 18 yang menyatakan, bahwa :
1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi membeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.
Berdasarkan pada Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999, maka monopsoni merupakan suatu keadaan dimana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar
untuk membeli suatu produk, sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat,
dan apabila pembeli tunggal tersebut juga menguasai lebih dari 50 pangsa pasar suatu jenis produk atau jasa. Syarat-syarat pembuktian adanya monopsoni adalah
sebagai berikut :
1. Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha 2. Telah menguasai lebih dari 50 pangsa pasar satu jenis produk tertentu
Monopsoni dalam UU No. 5 Tahun 1999 dilarang secara rule of reason yang
artinya bahwa monopsoni tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sehingga berakibat terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha usaha tidak sehat. Praktek monopsoni yang dilarang oleh hukum persaingan usaha adalah monopsoni yang mengakibatkan terjadinya paraktek monopoli serta
persaingan usaha tidak sehat.
Namun demikian tidak semua monopsoni dilarang oleh undang-undang. Misalnya kondisi yang terjadi bila disatu daerahwilayah hanya terdapat sebuah
pabrik pengolahan rotan milik pabrik mebel yang berbahan baku rotan dan disekitarnya terdapat penduduk yang menanam rotan, sehingga pabrik tersebut
penerima pasokan atau sebagai pembeli tunggal hasil perkebunan rakyat. Kondisi seperti ini tidak dilarang, karena memang tidak ada persaingan yang terjadi di
daerah tersebut. Jika dicermati, maka si pemilik pabrik mebel tersebut merupakan seorang monopsonis pembeli tunggal dan berpotensi menimbulkan monopoli. Akan
tetapi yang dilakukan oleh monopsonis tadi bukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999, karena apa yang telah
dilakukannya merupakan bentukjenis monopoli alamiah
natural monopoly dan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
V.3 Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan keinginan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup
besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha
kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum Kalau hal ini yang terjadi, maka mungkin saja akan berhadapan dengan para penegak hukum
karena melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Persaingan Usaha.
Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang
menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar.
170
Oleh karena itu penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk
mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan
tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya maksimal.
Dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan, bahwa : “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk dapat melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan
171
; atau b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha pesaingnya itu; atau c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar bersangkutan; atau d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah para pelaku usaha yang mempunyai
market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa yang di pasar yang bersangkutan.
Wujud penguasaan pasar yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dapat terjadi dalam bentuk penjualan barang danatau jasa dengan cara :
a. Jual rugi predatory pricing dengan maksud untuk “mematikan “pesaingnya;
b. Melalui praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang, serta
c. Perang harga maupun persaingan harga.
170
Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan GTZ, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 2000 p.273.
171
Dalam penjelasan Pasal 19 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 : “Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena
perbedaan suku, ras, status sosial dan sebagainya”.
Berbagai wujud penguasaan pasar seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai
market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang danatau jasa di pasar
besangkutan. Kriteria penguasaan pasar tersebut tidak harus 100, penguasaan sebesar 50 atau 75 saja sudah dapat dikatakan mempunyai
market power. Pasal 19 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 ini dirumuskan secara
Rule of Reason sehingga penguasaan pasar itu sendiri menurut pasal ini tidak secara
mutlak dilarang. Penguasaan pasar dilarang apabila dari pengasaan pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat atau mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima. Perlu disimak, bahwa penguasaan pasarnya sendiri belum tentu bertentangan dengan
UU No. 5 Tahun 1999, yang kemungkinan bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 adalah jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha perusahaan yang
menguasai pasar yang pada akhirnya anti terhadap persaingan usaha yang sehat.
Kasus yang pernah ditangani oleh KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengenai penguasaan pasar ini diantaranyanya adalah kasus Carrefour.
Persaingan di pasar ritel untuk kurun waktu beberapa tahun belakangan ini terlihat semakin berat khususnya bagi peritel kecil, terutama sejak kehadiran peritel
yang berskala usaha sangat besar seperti Carrefour, Giant, Hypermart, Super Alfa, Makro, dan lain-lain, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
hypermarket. Terdapat beberapa
hypermarket yang ada, akan tetapi Carrefour yang paling sukses dalam mengembangkan usahanya di Indonesia, dan hal itu ditunjukkan dengan jumlah
gerai terbanyak yang dimilikinya dibandingkan hypermarket lain, serta lokasi gerai yang strategis dengan tingkat kenyamanan dan kelengkapan fasilitas yang tinggi.
Carrefour memiliki gerai pertama di Cempaka Putih pada bulan Oktober 1998, kini gerai Carrefour telah mencapai 17 gerai, dimana 11 gerai terdapat di hampir setiap
tempat strategis Ibu Kota Jakarta, dan sisanya tersebar dibeberapa kota utama di Indonesia seperti Bandung, Surabaya, Palembang dan Medan.
Keberhasilan Carrefour dalam menamkan image di masyarakat sebagai tempat
berbelanja murah, merupakan suatu prestasi yang luar biasa dan tidak mudah untuk diraih, dengan tempat berbelanja yang nyaman, kelengkapan produk yang
ditawarkan dengan harga yang bersaingan merupakan kunci sukses yang dimiliki hypermarket asal Perancis ini, yang juga menempati kedudukan terhormat sebagai
grup ritel terbesar di dunia setelah Wal Mart. Kemampuan akses lebih besar dalam menjual produk ke konsumen yang dimiliki Carrefour, memungkinkan pemasok
Carrefour dapat menjual lebih banyak produknya di gerai-gerai Carrefour, sehingga