Oligopoli Perjanjian yang dilarang

dan pengaturan harga jual kembali Resale Price Maintenance. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini. 4.1.2.A. Perjanjian Penetapan Harga Price Fixing Agreement Perjanjian penetapan harga price ixing agreement merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang setingi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha produsen atau penjual, maka akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya dinikmati oleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan harga yang tidak masuk akal. 121 Persaingan antar pelaku usaha dapat didasarkan pada kualitas barang, pelayanan atau servis danatau harga. Namun demikian, persaingan harga adalah satu yang paling gampang untuk diketahui. Persaingan dalam harga akan menyebabkan terjadinya harga pada tingkat yang serendah mungkin, sehingga memaksa perusahaan memanfaatkan sumber daya yang ada seeisien mungkin. Sebaliknya, dengan adanya perjanjian penetapan harga, para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan atau memaksakan harga yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, dimana biasanya harga yang didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang luas kecuali harus menerima barang dan harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian penetapan harga tersebut. 122 Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No.5 Tahun 1999 dalam Pasal 5 ayat 1 merumuskan bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” Apabila dilihat dari rumusnya, maka pasal yang mengatur mengenai penetapan harga ini dirumuskan secara per se illegal, sehingga penegak hukum 121 Philip Areeda, Anti trust Analysis, Problems, Text, Cases, Little Brown and Company 1981 p.315. 122 Lennart Ritter et.al., EC Competition Law, A Practitioner’s Guide, Kluwer Law International, 2 nd ed., 2000 p.142. dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian penetapan harga tanpa harus mencari alasan-alasan mereka melakukan perbuatan tersebut atau tidak diperlukan membuktikan perbuatan tersebut menimbulkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No.51999 memberikan pengecualian-pengecualian, sehingga tidak semua perjanjian penetapan harga price ixing agreement dilarang. Suatu perjanjian penetapan harga price ixing yang dibuat dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang- undang yang berlaku, tidak dilarang. Kasus IV.2 Putusan KPPU No. 02KPPU-I2003 mengenai Kargo Jakarta-Pontianak adalah sbb: Adapun yang menjadi pihak dalam kasus ini adalah Pelaku Usaha Angkutan Laut Khusus Barang Trayek Jakarta-Pontianak, yaitu PT. Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan Terlapor I , PT.Pelayaran Tempuran Emas, Tbk. Terlapor II, PT. Tanto Intim Line Terlapor III dan PT. Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa Terlapor IV, karena telah melakukan perjanjian kesepakatan bersama besaran tarif uang tambang untuk trayek Jakarta- Pontianak-Jakarta. Dalam kasus ini dapat diketahui bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV telah menandatangani kesepakatan bersama tarif uang tambang petikemas Jakarta-Pontianak-Jakarta No: 01 SKB PNP-TE-WBK-TIL 06 2002 yang diketahui dan ditandatangani juga oleh Ketua Bidang Kontainer DPP INSA dan Direktur Lalulintas Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Para Terlapor mendalilkan bahwa kesepakatan bersama tarif untuk menghindari perang tarif ataupun terjadinya persaingan yang sangat tajam cut throat competition antar pelaku usaha semenjak meningkatnya permintaan dan masuknya pelaku usaha baru dalam industri ini. KPPU memutuskan bahwa penetapan tarif ini melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 karena selain akan mengurangi persaingan dan meniadakan alternatif pilihan tarif baik yang akan ditawarkan oleh penyedia jasa sesuai dengan variasi kualitas pelayanannya, maupun yang akan dipilih oleh konsumen sesuai dengan kebutuhannya, kesepakatan ini juga akan sangat merugikan industri bersangkutan karena terciptanya hambatan masuk entry bariers yang cukup besar yang akan menghambat pelaku usaha baru untuk memasuki pasar bersangkutan. Apabila kita lihat perumusan Pasal 5 ini, maka ketentuan dalam pasal ini dapat ditafsirkan secara per se illegal. Artinya apabila telah terbukti adanya perjanjian mengenai harga atas suatu barang atau jasa, maka perbuatan tersebut secara otomatis telah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal dimaksud, tanpa perlu melihat alasan-alasan dari pelaku usaha melakukan perbuatan tersebut. Putusan KPPU ini menurut hemat penulis adalah tepat, karena kesepakatan harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam kasus ini jelas-jelas telah terbukti dan akan merugikan konsumen. 4.1.2.B. Perjanjian Diskriminasi Harga Price Discrimination Agreement Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Secara sederhana, suatu diskriminasi harga telah terjadi apabila terjadi perbedaan harga antara satu pembeli dengan pembeli lainnya. Namun demikian, dapat terjadi bahwa diskriminasi harga tersebut disebabkan karena adanya perbedaan biaya atau karena kebutuhan persaingan lainnya seperti biaya iklan dan lain-lain. Terdapat beberapa syarat untuk terjadinya diskriminasi harga yaitu: 1 Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis, sehingga diskriminasi harga akan merugikan apa yang disebut “primary line” injury yaitu dimana diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau grosir terhadap pesaingnya. Begitu pula diskriminasi harga dapat pula merugikan “secondary line” apabila diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen terhadap suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lainnya mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini akan menyebabkan grosir atau retail yang tidak disenangi tidak dapat berkompetisi secara sehat dengan grosir atau retail yang disenangi. 2 Terdapat perbedaan harga baik secara lagsung maupun tidak langsung, misalnya melalui diskon, atau pembayaran secara kredit, namun pada pihak lainnya harus cash dan tidak ada diskon. 3 Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling sedikit harus ada dua pembeli. 4 Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya. 5 Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan monopoli pada suatu aktiitas perdagangan. 123 Pasal 6 Undang-Undang No.51999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang danatau jasa yang sama.” 123 Areeda, op.cit. pp.1054-1059. Apabila kita lihat rumusan pasal diatas, maka nampaknya pembuat undang-undang tidak membedakan siapa pembelinya, apakah perseorangan ataukah pelaku usaha. Menurut hemat penulis, karena yang dilihat disini adalah pengaruhnya terhadap persaingan usaha, maka yang dimaksudkan pembeli disini akan lebih tepat kalau hanya meliputi pelaku usaha. Dengan adanya praktek diskriminasi harga seperti dirumuskan dalam Pasal 6 Undang-undang No.51999, maka dapat menyebabkan pembeli tertentu dimana pembeli tersebut merupakan pelaku usaha juga terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan pembeli lain yang juga merupakan pelaku usaha yang sama-sama berada dalam pasar yang sama, sehingga dapat menyebabkan pembeli yang mengalami diskriminasi tersebut tersingkir dari pasar karena dia akan kalah bersaing dengan pelaku usaha lainnya yang memperoleh harga yang lebih rendah. Sedangkan bila melihat kepada rumusan Pasal 6 Undang-Undang No.51999, ketentuan yang mengatur mengenai diskriminasi harga ini, diatur secara Per Se, sehingga pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tanpa harus memeriksa alasan-alasan dari dilakukannya diskriminasi harga tersebut. Selanjutnya akan dijelaskan dengan melihat bagaimana diskriminasi harga ini diselesaikan dalam kasus kartel perdagangan garam ke Sumatera Utara yang telah diputus oleh KPPU dengan Putusan No. 10KPPU-L2005. Kasus IV.3 Dalam kasus ini Terlapor adalah PT. Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera. Berdasarkan hasil pemeriksaan, KPPU menyatakan bahwa Para Terlapor telah melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 diantaranya Pasal 6 mengenai diskriminasi harga. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan yang menemukan adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo G3 dengan PT GrahaReksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera G4 untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo. Melalui kesepakatan tersebut dinayatakan bahwa G3 menetapkan harga jual garam bahan baku kepada pelaku usaha selain G3 dan G4 lebih tinggi Rp 490 atau Rp 510 dibandingkan dengan harga jual garam bahan bakunya kepada