Test Substansi dalam UU No. 5 Tahun 1999

dalam masyarakat. Karena pada dasarnya tidak semua sumber daya ini bebas, maka regulasi ataupun peraturan yang diciptakan pemerintah sangat menentukan agar terdapat keseimbangan bagaimana dan kepada siapakah pengaturan sumber daya tersebut dapat dialokasikan atau didistribusikan. Di samping itu dalam upaya mencapai tujuan ekonomi, yang dapat dilakukan melalui proses mekanisme pasar akan dapat diawasi melalui adanya Hukum Persaingan competition law. Persaingan dalam mekanisme pasar adalah berlaku bagi setiap pelaku pasar tanpa terkecuali. Hukum Persaingan melindungi mekanisme proses persaingan tanpa mempertimbangkan siapakah yang menjadi pelakunya dengan tujuan yang baik agar alokasi sumber daya menjadi eisien. Mekanisme pasar yang berjalan melalui persaingan yang sehat dan fair serta konsisten dengan tujuan distribusi yang adil diharapkan mampu mencapai eisiensi nasional serta kesejahteraan umum. Di samping itu Hukum Persaingan diharapkan mampu mengawasi terjadinya diskriminasi harga, pemerataan informasi pasar bagi yang kurang mampu mempunyai akses, kesempatan atau akses kepada modal, teknologi dan berbagai kesempatan berusaha lainnya. Tetapi bila berbagai tujuan yang baik untuk mendukung mekanisme pasar ini tidak berhasil dicapai, maka dapat berakibat pada kegagalan mekanisme pasar yang kemungkinan dilakukan oleh pelaku pasar yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Hukum Persaingan berupaya mengawasi agar perbuatan atau perjanjian yang bersifat anti persaingan seperti kartel, monopoli, penggunaan posisi dominan, monopsoni dan lainnya dapat dicegah. Tetapi pada kenyataannya ada juga berbagai kegagalan pasar yang terjadi tetapi tidak dapat dijangkau, dicegah atau diatur melalui Hukum Persaingan. Oleh sebab itu ada kebutuhan yang mendasar terhadap pentingnya pengaturan atau regulasi yang jelas mengenai jenis tindakan atau kegiatan, industri ataupun pelaku usaha tertentu yang tidak termasuk dalam pengaturan Hukum Persaingan. Sebagai contoh, dibutuhkan adanya regulasi terhadap industri yang masuk dalam kategori kepentingan umum misalnya monopoli alamiah dalam penyediaan air bersih, listrik atau telekomuniasi. Dimana bila diperhitungkan secara ekonomi, maka proses produksi yang dilakukan oleh hanya satu perusahaan akan mampu mengurangi biaya produksi secara keseluruhan. Ada juga keadaan dimana akibat penggunaan sumber daya yang tidak diatur dengan baik terhadap sumber daya yang sifatnya universal akan mengakibatkan terjadinya externalities 275 atau 275 Robert H.Bork, The Anti trust Paradox, A Policy at War with ItselfNew York: Basic Books Inc, 1978 pp. 114 -155. Externalities refer to a cost that one economic actor imposes on another or beneits that one receives from another without paying in the market for doing so – ie: environtment waste etc. Dengan kata lain, dalam ilmu eknomi Externalities dinyatakan sebagai biaya dimana suatu perusahaan membebaninya terhadap perusahaan lain ataupun dapat saja berupa suatu keuntungan yang diterima oleh suatu perusahan dari perusahaan lain tanpa ikut serta membiayainya dalam suatu pasar atau industri– misalnya: pembuangan limbah dan lain-lain. pengalokasian sumberdaya yang tidak pada tempatnya, misalnya: bilamana cara memproduksi tidak tunduk pada ketentuan undang-undang lingkungan hidup maka akan berakibat pada kerusakan lingkungan yang sukar diperbaiki. Akibat yang mungkin terjadi ini dapat dimitigasi ataupun dielakkan bila pengaturannya diatur dengan regulasi yang baik. Dengan demikian sebenarnya adanya regulasi atau pengaturan dalam pasar persaingan dianggap sebagai alternatif yang dapat dipergunakan untuk mengurangi pemakaian sumber daya yang kurang eisien. Pada dasarnya tidak semua regulasi dipersiapkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah alokasi sumber daya allocative eficiency. 276 Regulasi yang dibuat harus juga difokuskan pada aspek lainnya, seperti perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses persaingan yang akhirnya dapat mengakibatkan pelaku usaha tersingkir dari pasar. Atau pertimbangan dapat juga difokuskan pada industri yang memang sebelumnya sudah diproteksi terlebih dahulu melalui undang-undang misalnya adanya UU yang mengatur mengenai transportasi, air, telekomunikasi atau listrik. Keseluruhan unsur dan pertimbangan ini haruslah dipikirkan secara matang oleh pemerintah sehingga justru tidak berakibat pada kesenjangan kesempatan pada yang kurang mampu dalam pasar, proteksi yang berlebihan pada suatu industri atau bahkan pelaku tertentu menjadi sekedar proteksi yang tidak efektif pada suatu kelompok ekonomi tertentu. 277 Tetapi apapun argumentasi yang dikemukakan, terlepas dibutuhkan atau tidak, maka regulasi dalam proses persaingan diyakini sebagai salah satu jalan untuk mengatur mekanisme pasar dan menyeimbangkan berbagai faktor misalnya antara dampak persaingan dengan kepentingan sosial atau umum. Dengan kata lain, mekanisame pasar tidaklah memerlukan berbagai regulasi bila berjalan dan berfungsi dengan baik, sebaliknya bila kegagalan atau distorsi pasar terjadi maka melalui regulasi merupakan salah satu cara terbaik untuk memperbaikinya. Di negara yang dalam proses mengadopsi sistem ekonomi pasar ataupun sedang dalam proses transisi menuju ekonomi pasar, dirasakan adanya kepentingan 276 Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, English Version, OECD, Paris, 1996, hlm. 24. Eficiency in the context of industrial organization economics and competition law and policy, relates to the most effective manner of utilizing scarce resources. Two types of eficiency are generally distinguished: technological or technical and economic or allocative. A irm may be more technologically eficient than another if it produces the same level of output with one or fewer physical number of inputs. Because of different production processes, not all irms may be technologically eficient or comparable. Economic eficiency arises when inputs are utilized in a manner such that a given scale of output is produced at the lowest possible cost. Unlike technological eficiency, economic eficiency enables diverse production processes to be compared. Competition is generally viewed by economists to stimulate individual irms or economic agents in the pursuit of eficiency. Eficiency increases the probability of business survival and success and the probability that scarce economic resources are being put to their highest possible uses. At the irm level, eficiency arises primarily through economies of scale and scope and, over a longer period through technological change and innovation. 277 Lawrence A. Sullivan and Warren S.Grimes, The Law of Anti trust: An Integrated Handbook, St.Paul, Minnesota: West Group, 2000 pp. 698-699. pembatasan terhadap perilaku yang bertujuan mengeksploitasi pasar. Di samping itu perlu juga menciptakan mekanisme pengontrolan di industri yang secara ekonomi tidak kompetitif sehingga eksploitasi pasar dapat dihindarkan. Oleh sebab itu harus ada pengaturan terhadap kondisi yang menghambat persaingan dengan jalan mengontrol perilaku pelaku usaha, melalui regulasi yang mengatur industri apa sajakah yang dikategorikan sebagai competitive dan non-competitive, ataupun regulasi yang jelas mengenai industri yang diproteksi atau dikecualikan dari pengaturan undang-undang. Keseluruhan ini sangat ditentukan oleh kebijakan persaingan serta peraturan pelaksananya 278 . Keputusan untuk memberlakukan regulasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya kepentingan sosial, politik dan kondisi perekonomian suatu negara. Oleh sebab itu bentuk, tujuan, karakter dan ruang lingkup pengaturan tersebut dapat saja berubah sesuai kondisi yang ada pada saat itu. Sebagai contoh, selama beberapa dekade pasar di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemberian hak khusus kepada sekelompok pengusaha tertentu dan demikian juga pada saat yang bersamaan pemerintah mempunyai kebijakan untuk memproteksi usaha kecil dan menengah yang didasarkan pada interpretasi Pasal 33 UUD’1945. 279 Kebijakan ini melahirkan konglomerasi ataupun pada kesempatan lain menciptakan mekanisme bapak angkat untuk koperasi dan UKM. Sesudah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, terjadi perubahan yang cukup signiikan saat pemerintah melakukan deregulasi di berbagai bidang. Berbagai faktor kegagalan perekonomian saat itu dianggap berasal dari ketidakjelasan kebijakan persaingan yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mendorong kebutuhan lahirnya Undang-undang Anti Monopoli beserta peraturan lainnya 280 . Di samping itu ada 2 ketetapan MPR yang mengisyaratkan juga selama ini telah terjadi distorsi ekonomi yang mengakibatkan ekonomi Indonesia tidak berjalan kompetitif. Untuk itu MPR mengeluarkan dua ketetapan untuk mengatur tentang kebijakan ekonomi yang lebih kompetitif, yaitu: Ketetapan MPR RI No XMPR1998 dan Ketetapan MPR RI No XVIMPR1998. Tap MPR RI No XMPR1998 mengatur tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, dalam Bab II Kondisi Umum Bagian A. Ekonomi yang menyebutkan: “Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama 32 tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan, 278 Corwin D. Edwards, Maintaining Competition Requisites of a Governmental Policy, 1st ed. McGraw Hill Book Company, Inc, 1949 pp. 14-15. 279 Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia Indonesian Competition Report Elips Project, 2000. 280 Lihat pendapat Prof. Sadli dalam Hall Hill, The Indonesian Economy Since 1966, 2nd ed. Cambridge University Press, 2000 p. 93.