Oleh karena itu salah satu kriteria, apakah para oligopolist mempunyai posisi
dominan atau tidak, dapat dilihat dari jumlah penguasaan pangsa pasarnya dan produknya. Pada produk yang homogen para pelaku usaha cenderung melakukan
penyesuaian mengkoordinasikan perilaku, khususnya dalam menetapkan harga jualnya kepada konsumen. Perilaku ini dianggap seperti perilaku pasar monopolis
yang menghambat persaingan usaha di pasar yang bersangkautan. Oleh karena itu, pengertian posisi dominan Pasal 1 angka 4 menetapkan unsur-unsur yang perlu
diteliti apakah pelaku usaha mempunyai posisi dominan atau tidak.
1. Pangsa Pasar
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu.
197
Pangsa pasar adalah salah satu elemen penting dalam menetapkan, apakah suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan atau tidak. Berapa persen
penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan? Di dalam hukum persaingan usaha Jerman, untuk satu pelaku usaha diduga dapat
melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, jika satu pelaku usaha mempunyai pangsa pasar lebih dari 33,3, dan untuk dua atau lebih dari tiga
pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, apabila menguasai pangsa pasar lebih dari 66,6.
198
Menurut hukum persaingan Negara Republik Cekoslovakia dan Spanyol Menurut hukum persaingan
Negara Republik Cekoslovakia dan Spanyol diduga memilik posisi dominan jika menguasai pangsa pasar 40.
189
Sementara Pasal 25 ayat 2 UU No. 51999 menetapkan bahwa satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 50 atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila menguasai 75 atau lebih pangsa pasar
atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Ketentuan posisi dominan mengenai penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 tersebut
mensyaratkan bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut dapat mendistorsi pasar baik secara langsung maupun tidak langsung.
197
Pasal 1 Angka 13 UU N. 51999
198
Pasal 19 ayat 2 UU Anti Hambatan Persaingan Usaha, Jerman
199
Model Law on Competition, UNCTAD Series on Issues in Competition Law and Policy 2007 p.36.
Hal ini ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1 yang menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk:
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Pertanyaannya adalah apakah ketentuan penguasaan pangsa pasar 50 untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan 75 untuk dua
atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 ayat 2 tersebut bersifat absolut atau tidak? Secara normatif
ketentuan Pasal 25 ayat 2 bersifat
per se.
200
Artinya, apabila suatu pelaku usaha sudah menguasai pangsa pasar 50 untuk satu pelaku usaha dan 75 untuk dua
atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut langsung dilarang. Kalau pendekatan
per se illegal diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan menghambat tujuan UU No. 51999, yaitu mendorong pelaku usaha berkembang
berdasarkan persaingan usaha yang sehat.
Akan tetapi di dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan
rule of reason.
201
Hal ini untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 51999 yang
menggunakan pendekatan rule of reason dalam penerapannya. Pertanyaannya
adalah mengapa Pasal 25 harus diterapkan dengan menggunakan pendekatan rule
of reason ? Secara praktis jika Pasal 25 diterapkan dengan pendekatan per se, maka akan membatasi pertumbuhan perkembangan pelaku usaha yang eisien dan
inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan.
Penafsiran serta penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal 25 diterapkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 25 tersebut tanpa perlu menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu
bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan eisiensi
200
Deinisi per se illegal, lihat Bab III
201
Defenisi rule of reason, lihat Bab III
dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 tidak seharusnya dilarang. Karena
ketentuan Pasal, 4, Pasal 13, Pasal 17, dan Pasal 18 menetapkan diduga dapat melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, apabila satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50 dan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75 pangsa pasar. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat rebuttable. Ketentuan ini tidak melarang satu pelaku usaha untuk meningkatkan
usahanya pencapaian pangsa pasarnya kalau sudah mencapai pangsa pasar lebih dari 50, katakanlah menguasai pangsa paar 55 dan untuk dua atau tiga pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha mencapai lebih dari 75 katakanlah 80, asalkan pencapaian pangsa pasar tersebut dicapai dengan persaingan usaha
yang sehat atau fair.
Sehingga karena ketentuan Pasal 4, 13, 17 dan Pasal 18 menggunakan pendekatan
rule of reason, maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan pendekatan
rule of reason. Kalau tidak demikian, maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan dengan ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No. 51999.
Sebaliknya, jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50 untuk satu pelaku usaha monopoli, tetapi dalam prakteknya dapat
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.
Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa pasar 40 sementara pangsa pasar pesaingnya tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku usaha dengan
penguasaan pangsa pasar masing-masing 10, yaitu pelaku usaha B menguasai 10, C10, D 10, E 10, F 10 dan Pelaku usaha G menguasai 10. Jadi, jika struktur
pasar yang demikian, maka Pelaku usaha A yang mempunyai pangsa pasar 40 dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dibandingkan
dengan penguasaan pangsa pasar pesaingnya masing-masing menguasai 10 lihat Tabel 1.
202
Dalam hal ini jika pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar 40 tersebut mau, dia dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang
bersangkutan. Dengan demikian ketentuan penetapan penguasaan pasar lebih dari 50 untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa
202
Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan dan Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan? Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007 p.196.
pasar lebih dari 75 untuk dua atau tiga pelaku usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan pangsa pasar di bawah 50 untuk pasar monopoli dan dibawah
75 untuk pasar oligopoli yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung berapa sisa pangsa pasar yang
dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu Heermann mengatakan bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa pasar paling sedikit 50 atau 75.
203
2. Kemampuan keuangan
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih
besar kuat dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan
ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan. Artinya, kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan
investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.
204
Secara sederhana dilihat dari keberadaan pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya,
pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya. Karena
presentase nilai jual atau beli yang lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan nilai jual atau beli pesaing-pesaingnya akan menunjukkan ke
kemampuan keuangan yang lebih kuat atau lebih besar.
Salah satu tanda yang paling penting untuk meneliti kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah yang disebut dengan
cash low. Artinya, jumlah keuntungan statu pelaku usaha dalam suatu periode tertentu. Juga yang sangat signiikan
adalah omset pelaku usaha serta perbandingan modal dasarnya.
205
Kemampuan keuangan pelaku usaha tersebut harus dibandingkan dengan data-data kemampuan
keuangan pesaing-pesaingnya pada pasar yang bersangkutan untuk menetapkan, bahwa pelaku usaha tersebut mempunyai kemampuan keuangan yang lebih kuat.
Jadi, faktor-faktor menetapkan pelaku usaha mempunyai keuangan yang kuat adalah dapat dilihat dari:
206
a. Modal dasar;
203
Heermann, in Knud Hansen, op.cit. p.41
204
Emmerich, Voelker, Kartellrecht, 8. Aulage, Muenchen: Verlag C.H Beck p.189.
205
Ibid. p.190.
206
Heermann, in Knud Hansen, op.cit. p.42
b. Cash low;
c. Omset; d. Keuntungan;
e. Batas kredit; dan f. Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional.
3. Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan
Unsur kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kamampuan ini dapat dilakukan oleh
suatu pelaku usaha biasanya, apabila pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-pesaingnya.
Oleh karena itu penilaian atau penetapan pangsa pasar pelaku usaha pada pasar bersangkutan sangat penting. Untuk itu, pengertian pangsa pasar harus dimengerti
terlebih dahulu, yaitu persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku usaha
yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktek monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan
yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kamampuan pengaturan pasokan atau penjualan
barang atau jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
Akibatnya adalah pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menguasai pasar dan pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.
4. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan
Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan menjadi salah satu unsur
dalam pengertian posisi dominant yang ditetapkan di dalam Pasal 1 angka 4. Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang
atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan
siapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan.
Tabel VI.1 Posisi Dominan Menurut Pasal 1 Angka 4 UU No.5 Tahun 1999
Pasal 1 angka 4
Perusa- haan A
Perusa- haan B
Perusa- haan C
Perusa- haan D
Perusa- haan E
Perusa- haan F
Perusa- haan G
Pangsa Pasar
40 10
10 10
10 10
10 Kemam-
puan Keuangan
Lebih besar
daripada semua
pesaing- nya
Lebih kecil
daripada Perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
Perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada Perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
Perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada Perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
Perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Akses Pasokan
atau Pen- jualan
Lebih besar
daripada masing-
masing pesaing-
nya Lebih
kecil daripada
Perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada Perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
Perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada Perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
Perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada Perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G
Kemam- puan
Pasokan atau
Mempen- garuhi
Penjualan Lebih
besar dan dapat
mempen- garuhi
penjualan bahkan
dapat menen-
tukan harga
Lebih kecil
daripada perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Lebih kecil
daripada perusa-
haan A dan ham-
pir sama dengan
pesaing C, D, E, F
dan G Lebih
kecil daripada
perusa- haan A
dan ham- pir sama
dengan pesaing
C, D, E, F dan G
Penilaian hasil
Mem- punyai
posisi dominan
Tidak mampu
bersaing dengan
perusa- haan A
Tidak mampu
bersaing dengan
perusa- haan A
Tidak mampu
bersaing dengan
perusa- haan A
Tidak mampu
bersaing dengan
perusa- haan A
Tidak mampu
bersaing dengan
perusa- haan A
Tidak mampu
bersaing dengan
perusa- haan A
V1.2 Penetapan Posisi Dominan
Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan, apakah suatu pelaku usaha sudah mempunyai
posisi dominan, adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU. Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi dominan, KPPU terlebih dahulu harus
melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. KPPU dalam melakukan investigasi tersebut harus melakukan
pembatasan pasar bersangkutan. Pembatasan pasar ada tiga, yang pertama pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk
market product atau disebut juga secara obyektif atau faktual, yang kedua pembatasan pasar bersangkutan secara geograis atau menurut wilayah dan yang
ketiga pembatasan pasar menurut waktu. Metode pertama dan kedua merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan investigasi pasar bersangkutan sedangkan
pembatasan pasar bersangkutan menurut waktu, dilakukan hanya pada waktu tertentu, yaitu pada even-even tertentu. Misalnya pada pekan raya, pada saat
penyelenggaraan olimpiade dll. Metode yang ketiga hampir tidak pernah dilakukan, karena hanya bersifat sementara, yaitu hanya selama even tertentu berlangsung.
Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 metode pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan di dalam Pasal 1 No. 10 yang berbunyi: “Pasar bersangkutan adalah pasar
yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subsitusi dari barang dan
atau jasa tersebut”. Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat disimpulkan pembatasan pasar yang bersangkutan
relevant market untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar
produk product market dan berdasarkan wilayah atau geograis geographich
market yang akan diuraikan sebagai berikut:
207
1. Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk atau secara obyektif product market
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara obyektif adalah di mana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk
subsitusinya. Pasal 1 angka 10 UU No. 51999 tidak memberikan penjelasan dan tidak ada petunjuk khusus mengenai barang yang sama atau sejenis serta barang
subsitusi. Untuk dapat menentukan, apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat dinyatakan menjadi subsitusi terhadap barang
tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu a bentuk lahiriah dan sifat barang tersebut;
207
Pengertian Pasar Bersangkutan Lihat Bab II
b fungsi barang tersebut, c harga barang tersebut; dan d leksibilitas barang tersebut bagi konsumen.
a Bentuk dan sifat barang
Bentuk dan sifat isik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengidentiikasi apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif.
Dikatakan secara objektif, karena produk yang berbeda tersebut dilihat secara isik apakah bentuk dan sifat barang tersebut sama atau tidak. Misalnya apakah soft
drink Coca cola dapat dianggap barang yang sama dengan Pepsi? Kalau ya, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah produk yang saling bersaing. Dalam hal ini Coca
Cola dengan Pepsi adalah satu pasar, karena dilihat dari aspek sifat minumannya.
b Fungsi barang
Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk yang lain berbeda tersebut mempunyai fungsi yang sama bagi
konsumen. Contoh Coca Cola dan Pepsi mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen, yaitu untuk menghilangkan rasa haus. Dilihat dari aspek fungsi barang tersebut,
maka Coca Cola dengan Pepsi adalah satu produk. Artinya, satu pasar bersangkutan.
c Harga
Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk dengan produk yang lain dinyatakan sama atau dapat sebagai barang pengganti adalah harga.
Misalnya harga Coca Cola satu botol Rp.4000 sedangkan harga Pepsi satu botol Rp.3900, maka Coca Cola dengan Pepsi dapat dikatakan satu barang yang sama atau
sebagai barang pengganti. Akan tetapi kalau harga Coca Cola satu botol Rp. 10.000, dan sedangkan harga Pepsi satu botol hanya Rp. 5.000, maka Coca Cola dengan Pepsi
bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat disebut sebagai barang Coca Cola.
d Fleksibilitas barang bagi konsumen interchangeable
Unsur keempat dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan sebagai barang yang sama atau pengganti bagi produk yang lain adalah leksibilitas
kebutuhan barang tersebut bagi konsumen. Ini disebut juga konsep kebutuhan konsumen. Jika konsumen biasanya mengkonsumsi suatu produk tertentu, dan
konsumen kehabisan barangproduk tersebut, maka apakah jika konsumen pada saat membutuhkan produk yang biasa dibutuhkan tersebut tidak ada di pasar,
konsumen tersebut secara otomatis mau beralih kepada produk yang lain tersebut?
Kalau ya, maka produk pengganti tersebut menjadi satu produk bagi konsumen terhadap produk yang biasa dikonsumsinya.
Misalnya, apakah mie dapat menjadi barang subsitusi terhadap beras. Artinya jika beras habis dipasar, apakah konsumen bersedia beralih otomatis membeli
mie sebagai penggantinya interchangeable. Apakah dengan demikian kebutuhan
kosumen dapat dipuaskan oleh mie tersebut. Oleh karena itu, apakah suatu barang tertentu sama dengan barang yang lain, atau sejenis atau dapat sebagai barang
subsitusi biasanya dilihat dari aspek kebutuhan konsumen yang diselidiki kasus per kasus. Dalam hal ini aspek penilaian konsumen sangat penting, karena konsumen
membeli suatu produk untuk kebutuhannya.
Hal yang signiikan dalam penilaian konsumen adalah masalah harga. Perbedaan harga mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli barang yang
lain sebagai pengganti. Jadi, apakah konsumen bersedia membeli produk lain atau barang subsitusi dengan harga yang lebih mahal untuk memenuhi kebutuhannya
jika suatu produk yang biasa digunakannya tidak ada lagi dipasar. Untuk itu perlu penelitian yang komprehensif oleh KPPU untuk menentukan apakah suatu barang dapat
ditetapkan satu jenis dengan barang yang lain, atau dapat sebagai barang pengganti.
Jika suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang sejenis atau barang subsitusi, maka pangsa pasar produk yang sama atau barang sejenis atau barang
subsitusi tersebut termasuk dalam satu pasar bersangkutan secara objektif. Konsekuensinya adalah bahwa pangsa pasar barang sejenis dan barang subsitusi
akan ikut dijumlahkan untuk menentukan, apakah pangsa pasar bersangkutan memiliki posisi dominan atau tidak. Biasanya dengan ikut menghitung pangsa pasar
barang sejenis danatau barang subsitusi mengakibatkan pangsa pasar bersangkutan menjadi turun. Hal ini akan menguntungkan bagi perusahaan yang sedang diawasi
oleh KPPU dalam proses penentuan posisi dominan.
2. Pembatasan Pasar Bersangkutan Secara Geograis relevant geographic market
Selain pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara obyektif, untuk menentukan apakah suatu perusahaan mempunyai posisi dominan,
penilaian pembatasan pasar bersangkutan secara geograis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Menurut pasal 1 No. 10 UU No. 51999 pasar
bersangkutan dari segi daerah adalah jangkauan atau daerah pemasaran tertentu. Pembatasan pasar bersangkutan secara geograis ditentukan sejauh mana produsen
memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan barang produk diwilayah tersebut. Fungsi pembatasan pasar secara geograis adalah untuk
menghitung pangsa pasar bersangkutan secara obyektif disekitar wilayah di mana barang tersebut dipasarkan. Oleh karena itu dapat terjadi, bahwa pasar suatu
barang tertentu dapat mencapai pasar regional, nasional, internasional dan bahkan pasar global. Akan tetapi UU No. 51999 sudah membatasi penerapannya hanya di
dalam negeri saja. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 No. 5: “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan berbagai kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia”. Dari
ketentuan pasal 1 No. 5 tersebut dapat disimpulkan, bahwa jangkauan penerapan UU Antimonopoli tersebut maksimum seluas wilayah Indonesia saja.
Namun demikian, KPPU telah menetapkan bahwa jangkauan penerapan UU No. 51999 tidak terbatas seluas wilayah Indonesia dimana pelaku usaha mempunyai
kedudukan hukumnya, tetapi juga pelaku usaha yang mempunyai kedudukan hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi perilaku pelaku usaha tersebut mempunyai dampak
terhadap persaingan usaha di pasar Indonesia.
208
Kasus VI.1
Di dalam kasus Temasek Group, KPPU memutuskan bahwa Temasek Holdings dan anak perusahaannya dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar UU No. 51999 walaupun Temasek Group tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia, tetapi mempunyai dampak
persaingan di pasar Indonesia Putusan KPPU No. 07KPPU-L2007.
Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu, kemudian ditetapkan pasar geograis produk tersebut, yaitu seluas mana produk-produk yang sama dan
barang penggantinya dipasarkan, maka seluas wilayah itulah dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa
pasar masing-masing pelaku usaha. Dari pasar geograis ini dapat disimpulkan pelaku usaha yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut, pelaku usaha
itulah yang mempunyai posisi dominan di wilayah tersebut
geographic market.
VI.3 Penyalahgunaan Posisi Dominan
Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 51999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha
yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No. 51999 adalah apabila pelaku usaha
tersebut menyalahgunakan posisi dominannya.
208
Lihat Putusan KPPU Perkara No. 07 KPPU-L2007.
Pertanyaannya adalah bagaimana pelaku usaha melakukan penyalahgunaan posisi dominannya sehingga pasar dapat terdistorsi. Bentuk-bentuk penyalahgunaan
posisi dominan atau hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah ditetapkan di dalam Pasal
25 ayat 1 dan Pasal 19. Walaupun ada yang berpendapat bahwa Pasal 19 dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak mempunyai posisi dominan, tetapi ketentuan
Pasal 19 mempunyai kesamaan dengan ketentuan Pasal 25 ayat 1 UU No. 51999.
Pasal 25 ayat 1 menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing
dari segi harga maupun kualitas; atau b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Sedangkan larangan Pasal 19 disebut dengan penguasaan pasar. Penguasaan pasar disini sebetulnya adalah suatu proses pelaku usaha untuk menguasai pasar
baik yang dilakukan secara sendirian maupun secara bersama dengan pelaku usaha yang lain. Akibat dari pencapaian terhadap penguasaan pasar baca: posisi dominan
maka pelaku usaha tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya itu ; atau membatasi
peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar yang bersangkutan; atau
c. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Sehingga hambatan persaingan usaha sebagaimana dimaksud Pasal 19
sebagian sudah diatur di dalam Pasal 25 ayat 1 UU No. 51999, seperti ketentuan Pasal 19 huruf a telah diatur di dalam Pasal 25 ayat 1 huruf c. Ketentuan
Pasal 19 huruf b melarang pelaku usaha menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya itu. Hal yang hampir sama juga diatur di dalam Pasal 25 ayat 1 huruf a yang menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarangan menggunakan