Exclusive Distribution Agreement PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG

Melihat rumusan pasal diatas, maka kita ketahui bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1999 bersikap cukup keras terhadap praktek tying agreement, hal itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai tying agreement dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek tying agreement tanpa harus melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya. Kasus IV.13 Kasus yang pernah diputuskan oleh KPPU dan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 15 ayat 2 adalah Kasus Garuda Indonesia, Putusan No. 01KPPU- L2003. Terlapor dalam kasus ini adalah PT. Persero Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia disingkat “Garuda Indonesia. Bahwa dalam rangka meningkatkan eisiensi, Terlapor mengembangkan dual access system dengan menggunakan sistem Abacus. Bahwa dalam rangka penjualan tiket, maka telah diulakukan pengangkatan keagenan pasasi domestik Terlapor dituangkan dalam bentuk perjanjian yang disebut perjanjian keagenan pasasi antara Terlapor dengan biro perjalanan wisata. Bahwa karena Terlapor telah mengembangkan sistem ARGA untuk sistem reservasi dan sistem booking tiket penerbangan domestik, maka biro perjalanan wisata harus menggunakan sistem ARGA untuk dapat melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan domestik Terlapor. Untuk kepentingan dimaksud, biro perjalanan wisata yang diangkat menjadi agen pasasi domestik Terlapor, akan menerima sistem ARGA untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut. Bahwa untuk reservasi dan booking tiket penerbangan domestik Terlapor, digunakan sistem ARGA. Dengan demikian biro perjalanan wisata yang menjadi agen pasasi domestik Terlapor seharusnya hanya memperoleh sistem ARGA saja. Namun untuk dapat ditunjuk menjadi agen pasasi domestik, Terlapor mempersyaratkan adanya Abacus connection. Dengan adanya persyaratan Abacus connection mengharuskan biro perjalanan wisata menyediakan terminal Abacus yang di dalamnya terdapat sistem Abacus terlebih dahulu untuk dapat memperoleh sistem ARGA, untuk memperoleh terminal Abacus, biro perjalanan wisata membayar sejumlah uang kepada Saksi I, padahal sistem Abacus tidak digunakan untuk melakukan booking tiket penerbangan domestik Terlapor. Berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka Terlapor oleh KPPU dinyatakan melanggar Pasal 15 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

c. Vertical Agreement on Discount

Pasal 15 ayat 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang danatau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang danatau jasa dari usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang danatau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atau; b. Tidak akan membeli barang danatau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing. Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut. Sedangkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon untuk tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok dapat mengakibatkan pelaku usaha pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual produknya yang sejenis dengan pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat vertical agreement on discount terhadap penerima produknya di pasar. Pasal 15 ayat 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat 3 Undang-undang No.51999, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum. Kasus IV.14 Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU sehubungan dengan ini adalah Kasus ABC, Putusan Perkara Nomor: 06KPPU-L2004 Menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat 3 huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Adapun duduk perkara secara singkat adalah sebagai berikut. Pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia PT PGI telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack baterai manganese tipe AA dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 satu buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 tiga bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama, sedangkan untuk material promosi standing display diberikan gratis oleh PT PGI. Kemudian pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor PGK. Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut: 1. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Toko mempunyai spaceruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter; b. Toko bersedia memajang baterai ABC; c. Toko bersedia memasang POS material promosi ABC; 2. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan mendapatkan potongan tambahan 2, dengan ketentuan sebagai berikut; a. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan Maret sudah tidak jual lagi; b. Toko hanya menjual baterai ABC; 3. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic; a. Bahwa patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh Terlapor; b. Bahwa Terlapor diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic; Berdasarkan analisis fakta-fakta di atas, Majelis Komisi berpendapat bahwa Terlapor telah membuat Perjanjian PGK yang ditanda tangani oleh toko grosir atau semi grosir peserta PGK berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa” dalam pasal 15 ayat 3 telah terpenuhi. Majelis Komisi selanjutnya berpendapat bahwa kegiatan promosi berupa PGK yang memuat ketentuan atau persyaratan yang melarang toko grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonic merupakan upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit pelaku usaha pesaingnya, dalam perkara ini PT PGI, untuk melakukan kegiatan usaha yang sama dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga unsur “menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah terpenuhi.

4.1.10. Perjanjian dengan pihak luar negeri.

Terdapat beberapa persoalan sehubungan dengan pemberlakuan Undang- undang suatu negara terhadap orang atau badan hukum yang berada diluar negeri, yaitu; pertama, apakah KPPU dan pengadilan Indonesia dapat memeriksa pelanggaran