Jenis Pemeriksaan oleh KPPU

Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan tersebut dalam waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya keberatan tersebut Pasala 45 ayat 1 UU No 5 Tahun 1999. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh PN, maka PN wajib memberikan putusan dalam waktu 30 hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan keberatan Pasal 45 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999. Pengajuan Keberatan merupakan upaya hukum baru yang diperkenalkan oleh UU No. 5 Tahun 1999. Sebelumnya, hukum acara di Indonesia hanya mengenal 2 jenis upaya hukum, yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi, dan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali. 1. Pengertian Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU Ketentuan yang khusus mengatur keberatan terdapat dalam Perma No 1 Tahun 2003 yang mendeinisikan keberatan sebagai “upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU.” Pasal 2 ayat 1 Perma No 3 Tahun 2005 menyatakan “Keberatan terhadap putusan KPPU hanya diajukan oleh pelaku usaha terlapor kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha terlapor.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya hukum keberatan merupakan suatu upaya hukum bagi pelaku usaha yang dihukum yang dinyatakan melanggar UU No 5 Tahun 1999 oleh KPPU dan terhadap putusan KPPU tersebut kemudian pelaku usaha tidak menerima atau merasa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut. 2. Prosedur Keberatan Prosedur pengajuan upaya hukum keberatan diatur dalam Perma No 3 Tahun 2005 tentang Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU. Sebelum Perma tersebut diberlakukan, tidak ada hukum acara yang rinci dan tegas yang mengatur tentang pengajuan upaya hukum keberatan. Hal ini menyebabkan beberapa masalah dalam pelaksanaan di lapangan seperti diuraikan dalam kasus berikut ini: Kasus IX.1 a. Perkara PT Indomobil Sukses International Tbk, dalam kasus ini terdapat lebih dari satu pelaku usaha dengan kedudukan hukum berbeda mengajukan upaya hukum keberatan di PN yang berbeda. Apabila melihat ketentuan Pasal 1 angka 19 UU No. 5 Tahun 1999 upaya keberatan diajukan di tempat kedudukan hukum pelaku usaha. Pada kasus Indomobil, karena tiap pelaku usaha mengajukan keberatan di PN yang berbeda beda, maka ada kemungkinan setiap PN akan menjatuhkan putusan yang berbeda atas putusan KPPU yang sama. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kewibawaan lembaga peradilan dan menciptakan ketidak pastian hukum. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka MA dalam Pasal 4 ayat 4 Perma No 3 Tahun 2005 dengan tegas menyebutkan bahwa apabila para pelaku usaha yang dihukum oleh KPPU mempunyai tempat kedudukan hukum yang berbeda yang berarti berada pada wilayah PN yang berbeda pula, maka KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada MA untuk menunjuk salah satu PN untuk memeriksa perkara keberatan tersebut. Dengan demikian maka akan menjamin adanya kepastian hukum terhadap putusan keberatan yang dikeluarkan oleh PN karena terhadap satu putusan KPPU yang dimintakan upaya keberatan hanya akan ada satu putusan keberatan yang dikeluarkan oleh satu PN. Kasus IX.2 b. Perkara PT Holdiko Perkasa. Dalam perkara ini KPPU menduga PT Holdiko Perkasa melakukan tindakan persekongkolan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha peserta tender dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses Internasional. PT Holdiko mengajukan keberatan ke PN Jakarta Selatan atas putusan KPPU yang menyatakan PT Holdiko terbukti melanggar UU Antimonopoli dan oleh karenanya dijatuhi denda Rp 5 Miliar. Masalah dalam perkara ini berkaitan dengan pertanyaan apakah KPPU merupakan pihak dalam perkara keberatan. Dalam perkara ini KPPU tidak memposisikan diri sebagai pihak dengan alasan keberatan yang diajukan adalah terhadap putusan KPPU, bukan keberatan terhadap KPPU. Atas hal tersebut, kuasa hukum pemohon PT Holdiko Perkasa mengajukan protes dengan menyatakan bahwa apabila KPPU bukan pihak, seharusnya KPPU tidak berhak memberikan jawaban atas keberatan permohonan keberatan pemohon. Ketidakjelasan posisi KPPU apakah sebagai pihak dalam perkara atau bukan tidak hanya menimbulkan kesulitan dalam proses jawab menjawab tetapi juga dalam hal pembuktian. Apabila KPPU bukan pihak dalam perkara maka KPPU tidak berhak mengajukan alat bukti. Dalam proses keberatan sebelum berlakunya Perma No 3 Tahun 2005 ini posisi KPPU tidak jelas. Ditinjau dari peran KPPU dalam perkara keberatan dapat disimpulkan bahwa KPPU bukanlah pihak. Hal ini karena yang memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pemohon keberatan adalah KPPU bukan oleh majelis hakim. Pihak dalam perkara perdata tidak mempunyai kewenangan memeriksa alat bukti yang diajukan oleh pihak lain karena hal itu mutlak menjadi kewenangan hakim. Setelah alat bukti diperiksa oleh KPPU, majelis hakim akan menilai apakah alat bukti yang diajukan memadai atau tidak. Bila majelis hakim berpendapat bahwa bukti yang diajukan belum cukup maka majelis hakim akan memerintahkan