II.4 Perilaku Strategis Penentuan Harga
Perilaku strategis adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun
pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
proit
perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kuantitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi
mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing.
Perilaku strategis terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif. Pertama, perilaku yang bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan
perusahaan yang mencoba meningkatkan
proit
mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak melakukan kerjasama satu sama lain.
Perilaku sejenis ini biasanya meningkatkan
proit
satu perusahaan dan menurunkan proit perusahaan pesaingnya.
Kedua, perilaku strategis yang bersifat kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk berkoordinasi
dan membatasi respon pesaing mereka. Bentuk perilaku kooperatif ini mampu meningkatkan
proit
semua perusahaan yang bermain dipasar dengan meminimalisir persaingan. Pada bagian ini akan ditekankan pada pembahasan mengenai perilaku
penentuan harga.
II.4.1.
Predatory Pricing
Menjual Rugi
Predatory Pricing
secara sederhana dideinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan
harga di bawah biaya produksi. Namun dalam prakteknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka
perusahaan tersebut langsung menaikkan harga. Selama periode praktek predatori ini, perusahaan kehilangan untung, dan mengalami kerugian. Perusahaan harus
mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah.
Kerugian perusahaan selama periode praktek
predatory pricing
ini melebihi pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh manfaat dari
praktek ini. Mereka dapat membeli produk pada tingkat harga yang jauh lebih murah dibandingkan jika kedua perusahaan menjadi duopolis. Namun demikian
setelah itu, ketika harga meningkat pada level yang lebih tinggi pada harga monopoli, maka konsumen akan mengalami kerugian.
Jika praktek predatori ini berhasil hingga memaksa pesaingnya bangkrut, dapat dipastikan bahwa aset mereka secara permanen dapat ditarik keluar dari
industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaan lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tak
dapat dihindari. Praktek ini kemungkinan besar akan berhasil ketika aset pesaing keluar secara permanen dari industri dan dikuasai oleh predator. Oleh karena
itu strategi yang paling jitu agar praktek ini sukses adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran.
Standar Penentuan Praktek
Predatory Pricing
Literatur ekonomi dan hukum secara luas telah mengembangkan standar khusus untuk menentukan apakah sebuah perusahaan sedang melakukan praktek
predatory pricing
atau tidak. Salah satu literatur yang paling berpengaruh terhadap kasus ini adalah literatur Areeda dan Turner
22
. Mereka menilai bahwa standar penentuan praktek ini dapat dilihat ketika sebuah perusahaan menetapkan harga
dibawah biaya marjinal jangka pendeknya. Namun karena data mengenai biaya marjinal jangka pendek sulit diperoleh, mereka menyarankan untuk menggunakan
data AVC
average variable cost
sebagai proksi. Logika yang mendasari adanya penentuan ini adalah bahwa belum pernah ada perusahaan yang mendapatkan
untung ketika beroperasi pada kondisi dimana harga lebih randah dari biaya marjinal jangka pendek kecuali ada kepentingan ataupun taktik atau strategi.
Penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek adalah tidak masuk akal jika tanpa prospek keuntungan dalam jangka panjang.
Beberapa pihak lainnya mengembangkan studi Areeda dan Turner dengan alternatif lain. Ada yang menyarankan penentuan dengan menggunakan LRMC
long run marginal cost
, ada juga yang menyarankan menggunakan AC. Beberapa lainnya juga menyarankan masih perlunya untuk melakukan observasi sepanjang
waktu baik untuk harga maupun untuk kuantitas output demi meyakinkan apakah praktek
predatory pricing
ini benar-benar terjadi atau tidak. Semua jenis tes untuk mendeteksi keberadaan praktek ini masih
menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada saat implementasi di lapangan. Pertama untuk alasan data yang diperlukan untuk mengukur SRMC
short run marginal cost
atau bahkan data AVC
average variable cost
. Kedua, permasalahan lainnya adalah, jika perusahaan tidak melakukan apa-apa tapi
bisa saja dinilai telah melakukan praktek ini.
22
P. Areeda, and D. Turner, ‘“Predatory Pricing and Related Practices under Section 2 of the Sherman Act” Harvard Law Review Vol.88 No.4 1975: pp.700-703.
Misalnya ada perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar untuk menarik konsumen ia menerapkan harga promosi. Selama fase awal operasi perusahaan
adalah hal yang biasa bagi mereka untuk memberikan gratis atau secara cuma- cuma produk mereka. Dan ini tentu saja hal ini bisa bertentangan dengan tes yang
dilakukan Areeda dan Turner. Pemberian produk secara cuma-cuma sangatlah efektif sebagai bagian dari promosi demi membangun bisnis di masa depan dan
tentunya dapat dijadilakan langkah awal untuk dapat meningkatkan proit.
Selain faktor promosi, munculnya penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek SRMC sebenarnya bisa terjadi dengan wajar jika perusahaan
mampu melakukan tindakan yang dikenal dengan istilah
learning by doing
. Tindakan ini mengacu pada penurunan biaya produksi karena perusahaan
mampu berproduksi jauh lebih eisien. Dengan harga yang murah pada saat awal perusahaan tentu dapat meningkatkan penjualan dan kemudian mampu
belajar untuk dapat menurunkan biayanya di masa depan. Meskipun harga saat ini lebih rendah dari biaya produksi, tetapi ada prospek untuk menurunkan biaya
di masa datang. Dengan mengumpulkan segala informasi dan pengetahuan yang ada sekarang, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga yang rendah sekarang
dapat dipandang sebagai sebuah investasi di masa datang.
II.4.2.
Price Discrimination
Diskriminasi Harga
Diskriminasi harga
Price Discrimination
dapat dideinisikan sebagai tindakan perusahaan menjual produk atau jasa yang sama dengan harga berbeda
ke pembeli berbeda pada waktu yang hampir bersamaan. Diskriminasi harga dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan
proit
yang lebih tinggi. Proit yang lebih tinggi diperoleh dengan cara merebut
capturing
surplus konsumen. Dengan demikian, tindakan diskriminasi harga hanya akan dilakukan
oleh perusahaan jika proit yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan menerapkan harga tunggal
uniform price
. Surplus Konsumen adalah selisih antara
reservation price
harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen dengan harga yang benar-benar dibayar oleh
konsumen. Jika perusahaan menerapkan kebijakan satu harga
linear uniform price
, konsumen akan tetap dapat menikmati surplus konsumen yang signiikan. Dengan adanya kenyataan bahwa konsumen sebenarnya bersedia untuk membayar
lebih tinggi, maka perusahaan akan berusaha merebut surplus konsumen tersebut dengan cara menerapkan kebijakan diskriminasi harga.
Terdapat tiga bentuk penerapan diskriminasi harga, seperti yang akan diuraikan berikut ini:
1. Diskriminasi harga tingkat pertama
1
st
degree
Diskriminasi tingkat pertama dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda untuk setiap konsumen berdasarkan reservation price
Willingness To Pay
masing-masing konsumen. Strategi tingkat pertama ini sering disebut diskriminasi sempurna
perfect price discrimination
karena berhasil mengambil surplus konsumen paling besar. Syarat utama agar
penerapan strategi diskriminasi tingkat pertama ini dapat berhasil adalah perusahaan harus mengetahui
reservation price
masing-masing konsumen. Contoh: seorang dokter memberlakukan tarif konsultasi yang berbeda-beda
pada setiap pasiennya.
2. Diskriminasi harga tingkat kedua
2
nd
degree
Jika perusahaan tidak memiliki informasi mengenai reservation price konsumen, maka diskriminasi tetap dapat dilakukan, namun tidak
mendiskriminasi konsumen secara langsung, melainkan melalui diskriminasi produk. Diskriminasi tingkat kedua ini dilakukan dengan cara menerapkan
harga yang berbeda-beda pada jumlah
batch produk yang dijual. Contoh: perbedaan harga per unit pada pembelian grosir dan pembelian eceran.
3. Diskriminasi harga tingkat ketiga
3
rd
degree
Pada diskriminasi tingkat pertama, perusahaan mengetahui reservation
masing-masing konsumen. Namun, apabila perusahaan tidak mengetahui reservation price masing-masing konsumen, tapi mengetahui reservation
price kelompok konsumen, maka perusahaan menerapkan diskriminasi tingkat ketiga. Strategi ini dilakukan dengan cara menerapkan harga
yang berbeda-beda untuk setiap kelompokgrup konsumen berdasarkan reservation price masing-masing kelompok konsumen. Kelompok konsumen
dapat dibedakan atas lokasi geograis, maupun karakteristik konsumen seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain.
Apapun bentuk strategi diskriminasi harga yang dipilih oleh perusahaan namun terdapat syarat mutlak agar strategi tersebut dapat mencapai tujuannya,
yaitu mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Syarat utama tersebut adalah:
1. Perusahaan memiliki
market power
. Tanpa adanya
market power
, maka konsumen akan beralih ke produk perusahaan lain ketika strategi
diskriminasi harga diberlakukan.