Paradigma Chicago Paradigma dalam Organisasi Industri

II.4 Perilaku Strategis Penentuan Harga

Perilaku strategis adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan proit perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kuantitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing. Perilaku strategis terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif. Pertama, perilaku yang bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan proit mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Mereka tidak melakukan kerjasama satu sama lain. Perilaku sejenis ini biasanya meningkatkan proit satu perusahaan dan menurunkan proit perusahaan pesaingnya. Kedua, perilaku strategis yang bersifat kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk berkoordinasi dan membatasi respon pesaing mereka. Bentuk perilaku kooperatif ini mampu meningkatkan proit semua perusahaan yang bermain dipasar dengan meminimalisir persaingan. Pada bagian ini akan ditekankan pada pembahasan mengenai perilaku penentuan harga. II.4.1. Predatory Pricing Menjual Rugi Predatory Pricing secara sederhana dideinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam prakteknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka perusahaan tersebut langsung menaikkan harga. Selama periode praktek predatori ini, perusahaan kehilangan untung, dan mengalami kerugian. Perusahaan harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah. Kerugian perusahaan selama periode praktek predatory pricing ini melebihi pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh manfaat dari praktek ini. Mereka dapat membeli produk pada tingkat harga yang jauh lebih murah dibandingkan jika kedua perusahaan menjadi duopolis. Namun demikian setelah itu, ketika harga meningkat pada level yang lebih tinggi pada harga monopoli, maka konsumen akan mengalami kerugian. Jika praktek predatori ini berhasil hingga memaksa pesaingnya bangkrut, dapat dipastikan bahwa aset mereka secara permanen dapat ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaan lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tak dapat dihindari. Praktek ini kemungkinan besar akan berhasil ketika aset pesaing keluar secara permanen dari industri dan dikuasai oleh predator. Oleh karena itu strategi yang paling jitu agar praktek ini sukses adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran. Standar Penentuan Praktek Predatory Pricing Literatur ekonomi dan hukum secara luas telah mengembangkan standar khusus untuk menentukan apakah sebuah perusahaan sedang melakukan praktek predatory pricing atau tidak. Salah satu literatur yang paling berpengaruh terhadap kasus ini adalah literatur Areeda dan Turner 22 . Mereka menilai bahwa standar penentuan praktek ini dapat dilihat ketika sebuah perusahaan menetapkan harga dibawah biaya marjinal jangka pendeknya. Namun karena data mengenai biaya marjinal jangka pendek sulit diperoleh, mereka menyarankan untuk menggunakan data AVC average variable cost sebagai proksi. Logika yang mendasari adanya penentuan ini adalah bahwa belum pernah ada perusahaan yang mendapatkan untung ketika beroperasi pada kondisi dimana harga lebih randah dari biaya marjinal jangka pendek kecuali ada kepentingan ataupun taktik atau strategi. Penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek adalah tidak masuk akal jika tanpa prospek keuntungan dalam jangka panjang. Beberapa pihak lainnya mengembangkan studi Areeda dan Turner dengan alternatif lain. Ada yang menyarankan penentuan dengan menggunakan LRMC long run marginal cost , ada juga yang menyarankan menggunakan AC. Beberapa lainnya juga menyarankan masih perlunya untuk melakukan observasi sepanjang waktu baik untuk harga maupun untuk kuantitas output demi meyakinkan apakah praktek predatory pricing ini benar-benar terjadi atau tidak. Semua jenis tes untuk mendeteksi keberadaan praktek ini masih menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada saat implementasi di lapangan. Pertama untuk alasan data yang diperlukan untuk mengukur SRMC short run marginal cost atau bahkan data AVC average variable cost . Kedua, permasalahan lainnya adalah, jika perusahaan tidak melakukan apa-apa tapi bisa saja dinilai telah melakukan praktek ini. 22 P. Areeda, and D. Turner, ‘“Predatory Pricing and Related Practices under Section 2 of the Sherman Act” Harvard Law Review Vol.88 No.4 1975: pp.700-703. Misalnya ada perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar untuk menarik konsumen ia menerapkan harga promosi. Selama fase awal operasi perusahaan adalah hal yang biasa bagi mereka untuk memberikan gratis atau secara cuma- cuma produk mereka. Dan ini tentu saja hal ini bisa bertentangan dengan tes yang dilakukan Areeda dan Turner. Pemberian produk secara cuma-cuma sangatlah efektif sebagai bagian dari promosi demi membangun bisnis di masa depan dan tentunya dapat dijadilakan langkah awal untuk dapat meningkatkan proit. Selain faktor promosi, munculnya penetapan harga di bawah biaya marjinal jangka pendek SRMC sebenarnya bisa terjadi dengan wajar jika perusahaan mampu melakukan tindakan yang dikenal dengan istilah learning by doing . Tindakan ini mengacu pada penurunan biaya produksi karena perusahaan mampu berproduksi jauh lebih eisien. Dengan harga yang murah pada saat awal perusahaan tentu dapat meningkatkan penjualan dan kemudian mampu belajar untuk dapat menurunkan biayanya di masa depan. Meskipun harga saat ini lebih rendah dari biaya produksi, tetapi ada prospek untuk menurunkan biaya di masa datang. Dengan mengumpulkan segala informasi dan pengetahuan yang ada sekarang, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga yang rendah sekarang dapat dipandang sebagai sebuah investasi di masa datang. II.4.2. Price Discrimination Diskriminasi Harga Diskriminasi harga Price Discrimination dapat dideinisikan sebagai tindakan perusahaan menjual produk atau jasa yang sama dengan harga berbeda ke pembeli berbeda pada waktu yang hampir bersamaan. Diskriminasi harga dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan proit yang lebih tinggi. Proit yang lebih tinggi diperoleh dengan cara merebut capturing surplus konsumen. Dengan demikian, tindakan diskriminasi harga hanya akan dilakukan oleh perusahaan jika proit yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan menerapkan harga tunggal uniform price . Surplus Konsumen adalah selisih antara reservation price harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen dengan harga yang benar-benar dibayar oleh konsumen. Jika perusahaan menerapkan kebijakan satu harga linear uniform price , konsumen akan tetap dapat menikmati surplus konsumen yang signiikan. Dengan adanya kenyataan bahwa konsumen sebenarnya bersedia untuk membayar lebih tinggi, maka perusahaan akan berusaha merebut surplus konsumen tersebut dengan cara menerapkan kebijakan diskriminasi harga. Terdapat tiga bentuk penerapan diskriminasi harga, seperti yang akan diuraikan berikut ini: 1. Diskriminasi harga tingkat pertama 1 st degree Diskriminasi tingkat pertama dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda untuk setiap konsumen berdasarkan reservation price Willingness To Pay masing-masing konsumen. Strategi tingkat pertama ini sering disebut diskriminasi sempurna perfect price discrimination karena berhasil mengambil surplus konsumen paling besar. Syarat utama agar penerapan strategi diskriminasi tingkat pertama ini dapat berhasil adalah perusahaan harus mengetahui reservation price masing-masing konsumen. Contoh: seorang dokter memberlakukan tarif konsultasi yang berbeda-beda pada setiap pasiennya. 2. Diskriminasi harga tingkat kedua 2 nd degree Jika perusahaan tidak memiliki informasi mengenai reservation price konsumen, maka diskriminasi tetap dapat dilakukan, namun tidak mendiskriminasi konsumen secara langsung, melainkan melalui diskriminasi produk. Diskriminasi tingkat kedua ini dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda pada jumlah batch produk yang dijual. Contoh: perbedaan harga per unit pada pembelian grosir dan pembelian eceran. 3. Diskriminasi harga tingkat ketiga 3 rd degree Pada diskriminasi tingkat pertama, perusahaan mengetahui reservation masing-masing konsumen. Namun, apabila perusahaan tidak mengetahui reservation price masing-masing konsumen, tapi mengetahui reservation price kelompok konsumen, maka perusahaan menerapkan diskriminasi tingkat ketiga. Strategi ini dilakukan dengan cara menerapkan harga yang berbeda-beda untuk setiap kelompokgrup konsumen berdasarkan reservation price masing-masing kelompok konsumen. Kelompok konsumen dapat dibedakan atas lokasi geograis, maupun karakteristik konsumen seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain. Apapun bentuk strategi diskriminasi harga yang dipilih oleh perusahaan namun terdapat syarat mutlak agar strategi tersebut dapat mencapai tujuannya, yaitu mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Syarat utama tersebut adalah: 1. Perusahaan memiliki market power . Tanpa adanya market power , maka konsumen akan beralih ke produk perusahaan lain ketika strategi diskriminasi harga diberlakukan.