55
peraturan  pelaksana  dari  Pasal  33  ayat  3  UUD  Negara  RI  Tahun 1945.  Pasal  2  ayat  1  UUPA  kembali  menegaskan,  bahwa  “atas
dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 dan  hal-hal  sebagai  yang  dimaksud  dalam  Pasal  1,  bumi,  air  dan
ruang  angkasa,  termasuk  kekayaan  alam  yang  terkandung  di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi keku
asaan seluruh rakyat.” Penguasaan dari negara atas bumi,  air,  dan  ruang  angkasa  tersebut  digunakan  untuk  mencapai
sebesar-besar  kemakmuran  rakyat,  dalam  arti  kebahagiaan, kesejahteraan  dan  kemerdekaan  dalam  masyarakat  dan  Negara
hukum  Indonesia  yang  merdeka  berdaulat,  adil  dan  makmur  Pasal 2 ayat 3 UUPA.
B. Landasan Sosiologis
Setelah  53  tahun  berlakunya  UUPA  ternyata  masih  banyak persoalan  di  bidang  pertanahan  yang  belum  terselesaikan  baik
persoalan  lama  yang  sudah  ada  sebelumnya  maupun  persoalan baru. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan di bidang pertanahan
yang  prinsip-prinsip  dan  pokok-pokoknya  terdapat  di  dalam  UUPA perlu  dilakukan  penguatan  melalui  pengaturan  baru.  Di  samping
itu,  di  luar  UUPA  baik  sebagai  peraturan  pelaksanaan  UUPA maupun  tidak  juga  telah  mengatur  tentang  pertanahan  yang  belum
tentu mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, banyak  terjadi  penyimpangan  terkait  dengan  pemilikan  dan
penguasaan  tanah  baik  disadari  maupun  tidak  disadari  oleh masyarakat  sehingga  berdampak  terhadap  penegakan  hukum
pertanahan secara keseluruhan di Indonesia.
Persoalan  hukum  yang  menonjol  di  bidang  pertanahan  yang terjadi  di  masyarakat  selama  ini  dapat  dikemukakan  sebagai
berikut:
1. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah
Terlepas dari tarik ulur berbagai kepentingan yang terdapat di belakang  setiap  kebijakan  pemerintah  di  bidang  pertanahan,
fakta  empiris  menunjukkan  bahwa  semakin  hari  semakin  nyata terjadi  ketimpangan  pemilikan  dan  penguasaan  tanah.  Sebagian
kecil orang baik secara perorangan maupun perusahaan memiliki dan  menguasai  sebagian  besar  luas  bidang  tanah  yang  tersedia.
Akibatnya,  cita-cita  UUPA  bahwa  setiap  tanah  pertanian dikerjakan  sendiri  oleh  pemiliknya  semakin  menjauh  dari
kenyataan.  Para  petani  terpaksa  beralih  profesi  menjadi  buruh tani atau buruh kebun di atas tanah orang lain atau perusahaan.
Kenyataan  ini  bertolak  belakang  dengan  kondisi  perkembangan penduduk  di  Indonesia.  Seyogyanya  semakin  banyak  jumlah
penduduk  tentu  semakin  dibatasi  luas  tanah  yang  dimiliki  dan dikuasai oleh perorangan atau perusahaan.
Pembatasan  pemilikan  tanah  yang  ditegaskan  oleh  UUPA tampaknya  tidak  efektif  mengurangi  ketimpangan  pemilikan  dan
penguasaan tanah.
Khususnya untuk
tanah pertanian
ketimpangan  ini  lebih  nyata  lagi.  UU  No.  56PrpTahun  1960 tentang  Penetapan  Luas  Tanah  Pertanian,  sebagai  UU  yang
56
sejalan  dengan  UUPA  untuk  mendorong  pelaksanaan  program land  reform,  tidak  berdaya  mengatasi  persoalan  ini.  Apalagi
pembatasan  pemilikan  dan  penguasaan  tanah  menurut  UU  ini tidak berlaku untuk tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha
atau  hak-hak  lainnya  yang  bersifat  sementara  dan  terbatas  yang didapat  dari  Pemerintah,  dan  yang  dikuasai  oleh  badan-badan
hukum Pasal 1 ayat 4 UU No. 56Prp1960.
2. Pelanggaran oleh pemegang hak atas tanah
Ketimpangan  pemilikan  dan  penguasaan  tanah  pertanian diperparah  dengan  terjadinya  pelanggaran  dari  pemegang  hak
atas  tanah  misalnya  penghilangan  tanda  batas  tanah  hak  guna usaha  HGU.  Penghilangan  tanda  batas  tanah  ini  biasanya
diiringi  dengan  pelanggaran  selanjutnya  yaitu  menguasai  tanah melebihi  dari  luas  yang  diberikan  oleh  negara  sesuai  sertipikat
hak  tanahnya.  Modus  ini  dimaksudkan  sebagai  kiat  untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar lagi dari tanah pertanian
yang  dikuasainya.  Jika  HGU-nya  berbatasan  dengan  tanah negara  maka  tindakan  pelanggaran  tersebut  cenderung  tidak
dipersoalkan,  karena  memang  pengawasan  dari  negara  terhadap HGU  tidak  efektif.  Namun,  jika  HGU-nya  berbatasan  dengan
tanah milik atau tanah ulayat masyarakat hukum adat, tindakan ini sering menimbulkan sengketa dengan masyarakat.
Pelanggaran  lainnya  yang  juga  menonjol  adalah  pemanfaatan daerah pantai oleh pemilik tanah yang berbatasan dengan pantai
sehingga  menutup  akses  publik  ke  dan  dari  laut;  penutupan akses  pemilik  tanah  oleh  perusahaan  pengambang  sehingga
mereka  terisolasi;  penyewaan  tanah  hak  pakai  pemerintah  oleh BUMN kepada rakyat; dan sebagainya.
3. Alih fungsi tanah dari lahan pertanian menjadi non pertanian