UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

32

c. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara UU No. 4 Tahun 2009 UU No.4 Tahun 2009 lebih fokus mengatur pengelolaan pertambangan mineral dan batubara Minerba, tidak mengatur tanah tempat lokasi pertambangan itu berada. Oleh karena itu UU No. 4 Tahun 2009 tidak mengatur status dan keberadaan tanahnya, sehingga secara prinsip UU ini tidak berkaitan dengan bidang pertanahan. Cuma saja, bagaimana pun pengelolaan pertambangan Minerba ini berdampak terhadap status dan keberadaan tanahnya. Lokasi tempat tersimpannya Minerba yang akan ditambang itu berada di bawah permukaan bumi atau tanah. Jika keberadaan Minerba itu kebetulan berada di bawah tanah yang tidak dibebani hak atas tanah tanah negara, maka pengelolaannya tidak terlalu dipermasalahkan. Paling-paling yang harus dipertimbangkan hanya fungsi kawasannya, apakah di kawasan lindung atau budi daya, yang terkait dengan UU Penataan Ruang dan UU Kehutanan. Dalam hal ini Pasal 134 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2009 menegaskan, bahwa “kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Oleh karena itu, berikutnya Pasal 134 ayat 3 menambahkan ketentuan, bahwa kegiatan usaha pertambangan dimaksud baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya penambangan di kawasan hutan harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan, baik melalui pelepasan kawasan untuk hutan produksi, maupun melalui pinjam pakai kawasan untuk kawasan lindung. Lain halnya jika kandungan Minerba yang akan dikelola berada di bawah tanah yang sudah dihaki tanah hak oleh orang atau warga negara. Pengelolaan pertambangan dalam hal ini akan berdampak langsung terhadap tanah hak orang lain. Oleh karena itu, tidak bisa izin usaha pertambangan dikeluarkan begitu saja sebelum menyelesaikan urusan pertanahannya dengan pemegang hak atas tanah. Kondisi ini juga sudah diantisipasi oleh UU No. 4 Tahun 2009. Pasal 134 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 menyatakan, bahwa hak atas wilayah izin usaha pertambangan WIUP, wilayah pertambangan rakyat WPR, atau wilayah izin usaha pertambangan khusus WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. Sejalan dengan itu, maka Pasal 135 UU No. 4 Tahun 2009 melanjutkan pengaturannya, bahwa pemegang izin usaha pertambangan IUP Eksplorasi atau izin usaha pertambangan khusus IUPK Eksplorasi saja hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Jika kegiatan usaha pertambangan itu ditingkatkan menjadi izin usaha untuk kegiatan operasi produksi maka pemegang izin 33 tidak cukup hanya berdasarkan izin dari pemagang hak atas tanah. Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan Pasal 136 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009. Dengan demikian, penyelesaian hak atas tanah untuk pelaksanaan usaha pertambangan dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK Pasal 136 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2009. Ketentuan di dalam UU No. 4 Tahun 2009 terkait pertanahan ini dikunci dengan Pasal 137. Jika perlu kepada pemegang IUP atau IUPK yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini perlu ditegaskan lagi karena memang hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah Pasal 138. Hal ini membuktikan bahwa UU UU No. 4 Tahun 2009 secara prinsip mengacu kepada UUPA sepanjang terkait dengan bidang pertanahan dalam pelaksanaan usaha pertambangan. Jangan sampai terjadi lagi seperti pelaksanaan usaha di bidang kehutanan, berusaha di atas tanah tetapi tanpa alas hak atas tanah. Cuma saja keberadaan hak atas tanah belum dipertimbangkan pada saat penetapan wilayah pertambangan WP. Bagaimana jika WP itu ditetapkan di wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat? Hal ini agaknya perlu diwaspadai. Dengan melakukan penafsiran sistematis dan dihubungkan dengan sinkronisasi dan harminisasi peraturan perundang- undangan, persoalan ini untuk sementara dapat dipahami sebagai berikut. Karena UU No. 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa terkait dengan bidang pertanahan atau hak atas tanah disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku, maka keberadaan hak ulayat juga harus ditentukan berdasarkan UUPA. Berdasarkan uraian di atas, sepanjang terkait dengan obyek hak ulayat berupa tanah mungkin tidak menjadi masalah. Sebagaimana diketahui bahwa obyek hak ulayat masyarakat hukum adat tidak hanya tanah, tetapi juga meliputi kekayaan alam yang terdapat di atas dan di bawah tanah. Dengan demikian Minerba juga merupakan salah satu obyek hak ulayat. Jadi seharusnya UU No. 4 Tahun 2009 tidak hanya mengakui kebaradaan tanahnya tetapi juga mempertimbangkan hak ulayat masyarakat hukum adat atas Minerba itu sendiri. Dengan demikian, RUU Pertanahan ini diharapkan juga dapat mengantisipasi dan membantu menyelesaikan persoalan terkait pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat atas Minerba.

d. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi