29
Tidak hanya itu, bila dihubungkan dengan UUPA sebagai sumber utama agraria, maka UU Kehutanan juga mengandung
masalah dalam konteks pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Pasal 3 UUPA dengan tegas mengakui keberadaan
hak
ulayat sebagai
salah satu
entitas status
tanah. Berseberangan dengan itu, UU Kehutanan malah tidak mengakui
keberadaan hak ulayat di kawasan hutan, sehingga Pasal 1 huruf f UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adat adalah
hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
b. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan UU No. 18 Tahun 2004 tidak secara langsung bersinggungan dengan
UUPA, karena obyek yang diaturnya hanya urusan di bidang perkebunan. Namun, karena perkebunan itu sendiri berada di
atas tanah maka kegiatan perkebunan yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2004 juga terkait dengan pengaturan di bidang
pertanahan. Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2004 menyatakan, bahwa perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan
tanaman tertentu pada tanah danatau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang
dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Secara umum terkait dengan penggunaan tanah untuk usaha perkebunan tidak ada masalah karena UU No. 18 Tahun 2004
menyatakan bahwa penggunaan tanahnya mengacu kepada hukum pertanahan atau agraria. Hal ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU No. 18 Tahun 2004 yang
menyatakan, bahwa “dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan
kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, danatau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sejalan dengan itu, jika perkebunan itu berada di atas hak ulayat masyarakat hukum adat maka pelaku usahanya harus
memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat terlebih dahulu. Hal inilah yang ditegaskan oleh Pasal 9 ayat 2 UU 18
Tahun 2004, bahwa, “dalam hal tanah yang diperlukan
merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak
atas tanahnya, pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh
kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.” Hal yang menjadi permasalahan adalah tentang luas tanah
yang diberikan untuk usaha perkebunan sesuai dengan hak atas tanah yang dimohonkan. Jika hak yang dimohonkan adalah hak
30
milik tidak ada masalah karena sudah ada ketentuan tentang pembatasan maksimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki
sebagaimana diatur UU No. 56PrpTahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Namun, jika hak yang
dimohonkan adalah hak guna usaha dan hak pakai perlu adanya pembatasan karena UU No. 56prp1960 belum mengatur
pembatasan luas tanah pertanian untuk perusahan dengan hak guna usana dan hak pakai.
Menyadari hal itu, maka UU No.18 Tahun 2004 telah berusaha memberikan pembatasan luas kebun yang dikaitkan
dengan luas tanah yang dapat diberikan. Pasal 10 ayat 1 UU No.18 Tahun 2004 menyatakan, bahwa penggunaan tanah untuk
usaha perkebunan, luas maksimum dan luas minimumnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian, sedangkan pemberian hak
atas tanah ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan Badan Pertanahan Nasional. Penetapan luas tanah
perkebunan berpedoman pada jenis tanaman, ketersediaan tanah yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas pabrik, tingkat
kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis, dan perkembangan teknologi [Pasal 10 ayat 2].
Bahkan Pasal 10 ayat 3 melarang tindakan pemindahan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya
satuan usaha yang kurang dari luas minimum, sehingga pemindahan hak atas tanah dimaksud dinyatakan tidak sah dan
tidak dapat didaftarkan.
Walaupun UU No.18 Tahun 2004 menyatakan bahwa hak atas tanah untuk usaha perkebunan itu bisa hak milik, hak guna
usaha dan hak guna bangunan, dan hak pakai, namun perhatian UU ini lebih pada hak guna usaha HGU. Hal ini terlihat dari
adanya ketentuan lebih rinci mengenai hak guna usaha, tetapi tidak untuk hak guna bangunan dan hak pakai. Pasal 11 dan
Pasal 12 UU No.18 Tahun 2004 memuat ketentuan tentang hak guna usaha untuk perkebunan. Pada umumnya isi ketentuan ini
sejalan dengan UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Namun
demikian, kedua pasal ini hanya fokus kepada jangka waktu berlakunya HGU. Pasal 11 ayat 1 menyatakan, bahwa hak guna
usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 tiga puluh lima tahun. Jangka waktu tersebut
diberikan perpanjangan jangka waktu paling lama 25 dua puluh lima tahun oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan
atas permohonan pemegang hak. Perpanjangan dimaksud hanya dapat dikabulkan jika pelaku usaha perkebunan yang
bersangkutan menurut penilaian Menteri, memenuhi seluruh kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai
dengan ketentuan teknis yang ditetapkan [Pasal 11 ayat 2]. Bahkan, setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana
dimaksud berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak diberikan hak guna usaha baru pembaruan [Pasal 11 ayat 3].
31
Pasal 12 kemudian memberi ancaman bagi pemegang HGU yang
tidak memanfaatkan
tanah sesuai
ketentuan dan
menelantarkannya, sebagai berikut: Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di
bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1, apabila menurut
penilaian Menteri hak guna usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana yang dipersyaratkan dan
ditelantarkan selama 3 tiga tahun berturut-turut sejak diberikannya hak guna Usaha yang bersangkutan.
Perlu diwaspadai ketentuan UU ini terkait dengan tanah adalah ketentuan pidana terhadap orang yang merusak kebun
danatau aset lainnya dari kebun. Ketentuan pidana juga dikenakan terhadap tindakan penggunaan tanah perkebunan
tanpa izin serta tidakan lainnya yang mengganggu usaha perkebunan. Ketentuan ini dinyatakan oleh Pasal 21 UU No.18
Tahun 2004 yang menyatakan, bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun
danatau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin danatau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 tersebut diancam pidana oleh Pasal 47 UU No.18 Tahun 2004
sebagai berikut: 1
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun
danatau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin danatau tindakan lainnya yang mengakibatkan
terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama
5 lima tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
2 Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan
yang berakibat pada kerusakan kebun danatau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin danatau
tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun 6 enam bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00
dua miliar lima ratus juta rupiah.
Ketentuan ini berpotensi sebagai bentuk kriminalisasi masyarakat hukum adat di atas tanah ulayatnya jika dalam
proses pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunannya masih bermasalah dengan masyarakat hukum adat. Anggota
masyarakat hukum adat biasanya tidak tinggal diam, protes, bahkan ada sebagian yang memasuki lokasi kebun yang
dinyatakan
sebagai tindak
pidana. Untunglah
sekarang, kekhawatiran tersebut sudah mulai mereda terutama sejak
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil judicial review terhadap pasal tersebut.
32
c. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan