25
bahwa hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan
undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Jadi hak usaha bagi hasil yang
lahir berdasarkan perjanjian bagi hasil merupakan salah satu hak yang bersifat sementara yang diatur untuk membatasi sifat-
sifatnya yang bertentangan dengan UUPA, yaitu Pasal 10 UUPA yang menegaskan tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri oleh
pemiliknya. Istimewanya hak usaha bagi hasil ini adalah bahwa ia telah diatur sebelumnya UUPA memerintahkan untuk diatur
oleh UU, itulah UU No. 2 Tahun 1960.
Setelah 53 tahun masa transisi apakah perjanjian bagi hasil masih dipertahankan, karena UUPA memerintahkan untuk
dihapus? Kalau dipertahankan untuk apa gunanya, misalnya sepanjang dimungkin adanya pengecualian tanah absentee bagi
pegawai negeri dan aparat negara tertentu? Belum lagi mempertimbangkan bahwa praktik bagi hasil ini lazim terjadi di
masyatakat hukum adat, dengan nama yang berbeda-beda, yang dilakukan atas tanah pertanian yang belum bersertipikat? Atau
apakah RUU Peranahan ini akan mengambilalih pengaturannnya untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat termasuk
masyarakat hukum adat, agaknya perlu ditegaskan terlebih dahulu.
b. UU No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya
Lain lagi halnya dengan UU No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau
Kuasanya UU No. 51 Prp. Tahun 1960. UU ini lahir setelah lahirnya UUPA, dan oleh karena itu telah mencantumkan UUPA
sebagai ketentuan “Mengingat”. Namun semangat UU ini bukanlah secara langsung sebagai pelaksana UUPA tetapi sebagai
pelaksana dari UU terkait keadaan darurat, untuk memberikan perlindungan kepada pemilik-pemilik tanah dalam keadaan
darurat. Karena tanpa adanya UU ini pun tindakan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya sudah dilarang juga.
Tetapi karena larangan tersebut tidak efektif berlaku dalam kondisi darurat maka pemerintah merasa perlu mengeluarkan UU
No. 51 Prp. Tahun 1960.
Sekarang dalam kondisi normal, apakah UU ini masih dipertahankan, atau materi muatan UU ini digabungkan ke
dalam RUU Pertanahan ini, merupakan pertanyaan yang penting untuk dijawab. Sikap politik DPR juga menentukan jawabannya,
sehingga berdampak terhadap ruang lingkup materi RUU Pertanahan.
26
c. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian
UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian UU No. 56 Prp Tahun 1960 lahir setelah lahirnya
UUPA oleh karena itu secara eksplisit kedudukannya sebagai pelaksana UUPA. Dilihat dari judulnya, “tentang Penetapan Luas
Tanah Pe rtanian” maka UU ini sudah jelas sebagai pelaksana
Pasal 7 UUPA yang melarangan pemilikan tanah melebihi batas maksimum. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Namun, jika dilihat ruang lingkup materi
muatannya ternyata UU ini juga sebagai pelaksana Pasal 53 UUPA yang juga sudah disinggung di atas, karena juga mengatur
tentang gadai tanah pertanian.
Khusus terkait dengan hak gadai yang lahir berdasarkan perjanjian gadai tanah pertanian, menurut Pasal 53 juga
termasuk ke dalam hak sementara yang diatur pembatasannya dan akan dihapus. Namun, Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960
tampaknya tidak bermaksud menghapus gadai tanah pertanian, tetapi hanya membatasi pelaksanaanya dengan pembatasan
waktu selama maksimal 7 tahun. Dengan pertimbangan bahwa tanah obyek gadai dikuasai dan diambil hasilnya oleh pemegang
gadai maka setelah 7 tahun tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemilik tanpa tebusan. Jika dikembali sebelum 7 tahun
pelaksanaan maka uang tebusan dikurangi secara proporsional dengan memperhitungkan waktu yang sudah berjalan.
Sayangnya ketentuan tersebut tidak berlaku efektif secara menyeluruh di Indonesia terutama di kalangan masyarakat
hukum adat. Hal ini disebabkan karena kondisi dan latar belakang gadai tanah pertanian tersebut berbeda-beda di
kalangan masyarakat. Ada yang menggangap gadai itu sebagai bentuk jaminan dan ada pula gadai tersebut merupakan lembaga
tolong menolong. Belum lagi dihubungkan dengan besarnya uang gadai, karena ada pada sebagian masyarakat uang gadai tersebut
sama besarnya dengan harga jual tanahnya. Untunglah hakim dalam memutus perkara gadai ini tidak terpaku hanya kepada
Pasal 7 UU 56Prp1960, sehingga putusannya bervariasi yang menggambarkan adanya penemuan hukum di dalamnya.
Utamanya UU ini memang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian. Pembatasannya dilakukan
berdasarkan tingkat kepadatan penduduk per kabupatenkota. Sehingga di daerah padat berbeda batas maksimum tanah
pertanian yang boleh dimilik dengan daerah sedang dan tidak padat penduduknya, baik tanah sawah maupun pekarangan.
Terkait dengan itu, salah satu kelemahan UU ini adalah bahwa pembatasan tersebut hanya dilakukan terhadap perorangan dan
keluarganya, dan belum diatur pembatasan untuk perusahaan. Pembahasan terkait hal ini bisa dilihat juga pada uraian
berikutnya dari naskah ini yaitu pada pembahasan tentang UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Tambahan lagi bahwa
27
UU No. 56 Prp Tahun 1960 hanya mengatur pembatasan pemilikan tanah pertanian belum termasuk tanah non pertanian.
d. UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah