Isi kewenangan hak atas tanah.

85 “trustee kepentingan publik, mempunyai kewajiban untuk menguasai dan mengelola tanah tersebut semata-mata untuk kemanfaatan publik. Termasuk dalam kriteria ruang publik yang tidak boleh diberikan dengan hak atas tanah antara lain pantai, sungai, taman kota, pedestrian, tempat penggembalaan ternak dan danau. Di samping peruntukannya bagi ruang publik, bidang tanah yang berdasarkan Rencana Tata Ruang ditetapkan sebagai situs purbakala, cagar alam, dan konservasi tidak dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah. Demikian juga terhadap bidang tanah yang secara topografis dan geologis dapat membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna yang dilindungi maupun lingkungan setempat, tidak dapat diberikan sesuatu hak tanah. Mengingat pola penggunaan tanah yang semakin timpang karena alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian dan ketidakseimbangan pola penggunaan tanah antar wilayah dengan berbagai dampak negatifnya yang telah berlangsung selama ini, maka rencana umum penggunaan tanah harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: 1 melindungi tanah- tanah pertanian; 2 meningkatkan rasio penggunaan tanah; 3 menyediakan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan di berbagai wilayah; 4 melindungi dan memajukan lingkungan ekologis dan menjamin keberlanjutan penggunaan tanah 79 .

6. Hak atas tanah.

a. Isi kewenangan hak atas tanah.

Hak atas tanah adalah kewenangan yang timbul dari hubungan hukum antara orang dengan tanah, ruang di atas tanah danatau ruang di bawahtanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula ruang bawah tanah, air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaannya. Pasal 16 UUPA menentukan bermacam-macam hak atas tanah. Dalam perjalanan waktu, sesuai dengan amanat UUPA, berkenaan dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Namun demikian, berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini, berbagai kasus terkait konfliksengketa maupun “penelantaran” tanah-tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, maupun penyalahgunaannya, antara lain, hanya memanfaatkan sertipikat hak atas tanah sebagai jaminan utang tanpa upaya untuk menaati kewajiban yang disyaratkan dalam pemberian hak atas tanahnya, merupakan berita sehari-hari. Dampaknya tentu saja terjadinya ketidakadilan dalam pemanfaatan tanah bagi pihak 79 Maria Sumardjono,UU Agraria: Menyelesaikan Pekerjaan Rumah, op.cit. 86 yang kurang diuntungkan karena tidak mempunyai akses modal dan akses politik untuk memperoleh hak atas tanah. Secara khusus, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan, dimuat prinsip-prinsip umum terkait dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang dikembangkan dan dijabarkan dari ketentuan dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dengan mengakomodasi fakta empiris sebagai implikasi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait HGU, HGB, dan HP. Prinsip- prinsip tersebut terkait dengan isi kewenangannya, pemegang hak, peralihan dan pembebanannya dengan Hak Tanggungan. Mengingat berbagai dampak negatif penyalahgunaan hak atas tanah yang sudah diberikan, maka secara khusus, dalam rangka memberikan keadilan dalam pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan maupun Hak Pakai selaras dengan pelaksanaan fungsi sosial hak atas tanah, maka pemberian Hak Guna Usaha yang luasnya 25 dua puluh lima hektar atau lebih, dan pemberian Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai Dengan Jangka Waktu untuk kegiatan usaha diberikan persyaratan yang obyektif. Bagi Hak Guna Usaha yang luasnya 25 dua puluh lima hektar atau lebih, dipersyaratkan kepemilikan modal yang besarannya sesuai dengan luas tanah yang dimohon serta penerapan teknologi yang sesuai untuk kegiatan usahanya. Pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Dengan Jangka Waktu untuk kegiatan usaha juga disertai persyaratan kesesuaian modal yang dimiliki dengan luas tanah yang dimohon. Persyaratan tersebut diberikan untuk mencegah penguasaanpemilikan tanah yang bersifat spekulatif danatau digunakan untuk alat akumulasi modal. Guna mencapai tujuan pemanfaatan tanah sesuai asas manfaat dan keadilan diperlukan pengaturan mengenai pembatasan pemberian Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. RUU ini pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha dibatasi luas minimum dan maksimumnya. Hal ini dimaksudkan agar penguasaan tanah yang sangat luas khususnya untuk usaha berskala besar bagi badan hukum atau sekelompok badan hukum dapat dimanfaatkan dengan baik dan efisien. Berkenaan dengan Hak Pakai selama digunakan, untuk mencegah peluang penyalahgunaan hak yang berdampak negatif, ditegaskan bahwa Hak Pakai selama digunakan diberikan dalam rangka tugas pokok dan fungsinya, yang difokuskan pada pelayanan publik. Karena fungsi publik dari Hak Pakai selama digunakan maka jika karena satu dan lain hal pemegang Hak Pakai masih ingin mempertahankan Hak Pakainya tetapi menginginkan untuk pindah ke lokasi lain, maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengadakan tukar bangun sehingga dengan demikian dapat 87 dicegah penyimpangan dalam penggunaan Hak Pakai dalam rangka pelayanan publik. Terkait dengan Hak Milik, dalam Rancangan Undang- Undang tentang Pertanahan ditegaskan prinsip-prinsipnya berkenaan dengan isi kewenangan Hak Milik, pemegang Hak Milik, terjadinya, peralihan dan pembebanannya dengan Hak Tanggungan. Sebagaimana diketahui, terkait dengan Hak Milik, belum diatur secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan. Sebagaimana halnya dengan Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan HSUB sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan 45 UUPA belum ditindaklanjuti pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Mengingat bahwa keberadaan hak tersebut disebutkan dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, walaupun tidak dipahami secara tepat, maka dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan ditegaskan kembali pengaturan tentang HSUB, terjadinya, dan pemegang haknya. Perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan memperoleh HSUB dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. Pertimbangannya adalah karena HSUB termasuk dalam salah satu jenis hak atas tanah. Perjanjian antara pemegang Hak Milik, dengan pihak yang akan memperoleh HSUB memberikan hak bagi pemegang HSUB untuk membangun di atas tanah milik orang lain. Untuk memberikan jaminan kepastian hukum, jika dikehendaki, di atas sertipikat Hak Milik diberi catatan tentang keberadaan HSUB tersebut. Oleh karena pemilikan pemegang HSUB adalah bangunannya, maka jika dikehendaki bangunan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain sepanjang hal itu dimungkinkan dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya. Demikian juga, bangunan yang dimiliki oleh pemegang HSUB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia.

b. Hak Ruang di atas tanah dan di bawah tanah