Perolehan tanah untuk kepentingan umum.

100 daftar umum, menjadikan yang bersangkutan sebagai pemegang sah menurut hukum. Konsepsi ini menegaskan dua hal, yakni 1 bagi pemohon hak, kebenaran data fisik dan data yuridis yang diajukan sebagi syarat pendaftaran tanah itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemohon karena risiko atas ketidakbenaran atau ketidakabsahan data merugikan dirinya; 2 sebaliknya, karena konsepsi tersebut, maka bagi pelaksana pendaftaran tanah, tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran haknya. Dengan perkataan lain, pelaksanapendaftaran tanah memeriksa dan bertanggungjawab terhadap kebenaran formal atas dokumen yang diserahkan oleh pemohon.

e. Pendaftaran tanah berdasarkan penguasaan fisik.

Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah, yakni untuk memberikan kepastian hukum terhadap subyek dan obyek, maka alat bukti yang diajukan untuk memperoleh, hak atas tanah, serta melakukan perbuatan hukum terkait dengan hak atas tanah, menjadi sangat penting. Alat bukti kepemilikan pada umumnya dalam bentuk tertulis, sebagaimana dimuat dalam Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun demikian, karena sebelum berlakunya UUPA terjadi dualisme hukum pertanahan, maka dengan berlakunya UUPA terdapat tanah- tanah yang kepemilikannya hanya didasarkan pada penguasaan fisik semata. Hal ini sebagian besar menyangkut tanah-tanah bekas hak adat. Menyadari keadaan tersebut, maka dalam Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diberikan jalan keluar bagi pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan bukti penguasaan fisik, disertai persyaratan bahwa penguasaan tanah dilakukan secara nyata, dilandasi dengan itikad baik, selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan, diperkuat dengan keterangan saksi, tidak ada keberatan dari pihak lain, dan setelah dilakukan penelitian dan diumumkan, akan diterbitkan Surat Keputusan Pengakuan Hak yang merupakan dasar untuk mendaftarkan tanah yang bersangkutan.

9. Perolehan

tanah untuk kepentingan umum dan pengalihfungsian tanah.

a. Perolehan tanah untuk kepentingan umum.

Dalam rangka menyediakan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, telah terbit Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk 101 Kepentingan Umum jo Perkaban Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 melanggar konsep tentang perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagai satu sistem, yakni dengan sama sekali tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, ketika musyawarah tidak mencapai hasil.Sebagai gantinya, penyelesaian sengketa tentang penentuan lokasi dan ganti kerugian ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung 94 . Oleh karena itu demi ketaatasasan pada konsepsi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang diterbitkan sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUPA, makapencabutan hak atas tanah dalam keadaan darurat sangat mendesak untuk menguasai tanah dilakukan melalui tata cara pencabutan hak atas tanah. Keadaan darurat itu misalnya ketika terjadi bencana alam, peperangan, konflik sosial yang meluas, yang memerlukan penanganan segera berupa penguasaan tanahnya, sedangkan penduduk direlokasi untuk sementara waktu atau tetap. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 melalui Pasal 49 memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan pengadaan tanah dalam keadaan mendesak, sehingga dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 telah secara “diam- diam” meninggalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tanpa keberanian untuk mencabut undang-undang yang bersangkutan. Undang-Undang tentang Pertanahan bermaksud untuk mengembalikan konsepsi terkait perolehan tanah, setidaknya memberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 untuk penguasaan tanah dalam keadaan yang sangat mendesak.

b. Pengalihfungsian tanah.