Keanekaragaman dalam kesatuan hukum

81 dilepaskan untuk jangka waktu tertentu, setelah memperoleh persetujuan yang bebas tanpa paksaan free and prior informed consent dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang dilakukan secara tertulis. Peluang ini sudah dibuka melalui Pasal 4 ayat 2 dan 3 Peraturan Menteri Agraria Ka. Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Perpanjangan hak atas tanah tergantung pada kesepakatan dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Jika hak atas tanah berakhir dan tidak diperpanjang lagi, maka tanah kembali dalam penguasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

5. Prinsip-Prinsip hak atas tanah.

a. Keanekaragaman dalam kesatuan hukum

Selama ini, hukum agraria nasional dibentuk secara sentralistik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, sumber hukum yang digunakan sebagai acuan dan dasar adalah hukum adat. Hal ini berarti bahwa asas- asas hukum, norma, dan lembaga hukum adat yang sudah diseleksi dan dihilangkan dari unsurnya yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dijadikan dasar pembentukan hukum tanah nasional. Penggunaan unsur-unsur hukum adat sebagai dasar lebih dititikberatkan pada kesamaan- kesamaan yang ada dalam hukum adat secara garis besar dengan tidak memperbesar perbedaan-perbedaan di antaranya. Hukum adat yang dimaksud adalah norma-norma, baik tidak tertulis maupun tertulis, yang mengatur hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah di lingkungan wilayah hukum adatnya. Hukum adat yang masih berlangsung tersebut ditaati oleh masyarakatnya dan mempunyai sanksi. Karena sentralisasi pembangunan hukum agraria lebih mewarnai, maka penggalian terhadap norma, asas-asas dan lembaga hukum adat sebagai dasarnya tidak banyak dilakukan. Sebagai akibatnya, maka sebagian substansi hukum agraria yang dibentuk semakin jauh dari kondisi sosial masyarakat yang diaturnya. Penetapan hukum adat sebagai dasar disamping untuk mewujudkan kesederhanaan hukum dalam masyarakat yang plural hal itu merupakan penghargaan dan perhatian terhadap perbedaan sosial dan norma yang ada serta perubahan sosial yang cenderung berbeda antara berbagai kelompok masyarakat. Dalam kenyataannya, selama ini yang terjadi adalah dominasi kepentingan negara dalam menyusun peraturan perundang- undangan dan terabaikannya kepentingan masyarakat hukum adat yang secara sosiologis masih berlangsung, dan berlangsungnya konflik sosial yang bersumber dari 82 permasalahan agraria. Kondisi ini diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesiasebagai dasar untuk mengembangkan prinsip baru yaitu menghargai keanekaragaman dalam kerangka kesatuan hukum pluralisme dalam unifikasi hukum 76 . Dengan prinsip ini dimaksudkan agar norma-norma, prinsip- prinsip dan lembaga-lembaga yang ada dan berlaku di masing-masing daerah atau masyarakat hukum adat berkenaan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah diakui dan diberi peluang uintuk dikembangkan serta digunakan sebagai bagian dari hukum positif. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari negara kesatuan, pengakuan, pengembangan dan penggunaannya harus didasarkan pada kebijakan umum di bidang pertanahan yang dibentuk oleh Pemerintah yang dituangkan dalam UU dan PP. Penjabarannya dalam ketentuan lebih operasional diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dalam penjabarannya inilah, Pemerintah Daerah harus memperhatikan dan mengakomodasi kondisi sosial dan norma-norma pengelolaan pertanahan yang dihayati oleh masyarakat. Demikian pula dibuka kemungkinan untuk menyerahkan kewenangan mengatur pemanfaatan tanah kepada pemerintahan desa atau masyarakat-masyarakat hukum adat. Keberagaman pengaturan pertanahan diakui dan dilindungi oleh undang- undang nasional pertanahan sepanjang hal tersebut tidak melanggar hak asasi pihak lain dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam undang-undang 77

b. Asas pemisahan horisontal