UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air

40 No. 27 Tahun 2007, terutama terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir HP-3, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, yaitu: Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat 4 dan ayat 5, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat 1, Pasal 71 serta Pasal 75. Pasal 1 angka 18, yang sudah dibatalkan MK, menyatakan HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau- pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Dengan demikian keberadaan dan status HP-3 tidak terlalu berkaitan dengan tanah, sehingga UU ini tidak mempersoalkan status tanah kecuali dalam hal HP-3 itu berbatas langsung dengan garis pantai. Oleh karena itu, Pasal 21 ayat 3 Huruf d, yang juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh MK, menyatakan bahwa dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, maka pemohon wajib memiliki hak atas tanah. Berkaitan dengan itu, ketentuan yang terasa aneh dan bertentangan dengan UUPA adalah Pasal 20 ayat 1 UU No. 27 Tahun 2007 yang menyatakan, bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Untunglah ketentuan Pasal 20 ini pun dibatalkan oleh MK. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa HP-3 itu sendiri telah dibatalkan oleh MK, maka pengaturan UU No. 27 Tahun 2007 ini tidak lagi berkaitan langsung dengan pertanahan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika HP-3 diganti dengan izin pengusahaan pantai dan pulau-pulau kecil. Apakah persyaratan hak atas tanah masih harus diwajibkan bagi pemohon dalam wilayah izin berbatasan dengan garis pantai?

i. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air UU No. 7 Tahun 2004 juga merupakan UU sektoral yang tidak mengatur tanah apalagi status tanah, tetapi tetap sebagai turunan dari Pasal 8 UUPA. UU ini memang terfokus mengatur sumberdaya air. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2004. Oleh karena itu, UU ini juga mengatur air itu sendiri adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat; sumber air adalah tempat atau wadah air alami danatau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah; dan daya air adalah potensi yang terkandung dalam air danatau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya. Karena juga mengatur hak guna air maka UU ini sebetulnya sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 16 ayat 2 Huruf a dan 41 Pasal 47 UUPA. Oleh karena itu, isi atau materi muatan UU ini harus sesuai dengan UUPA. Pasal 16 2 UUPA menyatakan, bahwa hak-hak atas air dan ruang angkasa ialah: a hak guna air, b hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, c hak guna ruang angkasa. Kemudian Pasal 47 UUPA memberi penjelasan terhadap Pasal 16 ayat 2 Huruf a, bahwa hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu danatau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. Hak guna-air ini termasuk hak pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan mencermati isinya, tampaknya UU No. 7 Tahun 2004 tidak sinkron atau tidak merujuk kepada UUPA. Hal ini terbukti dari pengertian hak guna air. Menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 7 Tahun 2004, hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Pengertian ini tidak sama dengan pengertian hak guna air menurut Pasal 47 ayat 1 bahwa hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu danatau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. Di samping itu, UU No. 7 Tahun 2004 juga menambahkan istilah hak terkait sumberdaya air, yaitu hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air Pasal 1 angka 14, dan hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air Pasal 1 angka 15. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan UU No. 7 Tahun 2004 tidak dimaksudkan sebagai pelaksana dari UUPA. Akibatnya terjadi ketidaksinkronan di antara sesama UU yang mengatur agraria dan sumberdaya alam. Walaupun demikian, UU No. 7 Tahun 2004 tetap memperhitungkan hak atas tanah orang lain dalam pelaksanaan hak guna usaha air. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 9, bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Kemudian, pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan dimaksud dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam pelaksanaan kontruksi prasarana dan sarana sumber daya air. Pasal 63 ayat 4 UU No. 7 Tahun 2004 menegaskan, pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian danatau kompensasi kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dengan demikian, sepanjang terkait dengan perolehan tanah yang dalam kegiatan usaha pengelolaan sumberdaya air, harus mengacu kepada UUPA. 42

j. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Perlindungan Sumberdaya Alam