Aspek penetapan bentuk hubungan hukum antar Pelaksana Kewenangan Hak Menguasai Negara

67 menambah atau mengurangi macam hak atas tanah, yang dilakukan melalui peraturan perundang- undangan. Negara harus merancang kebijakan pendistribusiannya agar semua orang dapat mempunyai dan memanfaatkan tanah. Penetapan macam hak atas tanah dan subyeknya tidak dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum berdasarkan atas keinginan atau kemauannya.

2.4 Aspek penetapan bentuk hubungan hukum antar

subyek hak yang berobyekkan tanah. Hubungan hukum antar subyek menunjuk pada perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang melibatkan satu atau dua atau lebih orang dengan tanah sebagai obyeknya. Ada beberapa kelompok hubungan hukum antar subyek yang berobyekkan tanah, yaitu : a peralihan hak atas tanah yang terdiri atas jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan tanah sebagai modal perusahaan, dan pewarisan serta pelelangan dan tukar-bangun bagi tanah kepunyaan instansi pemerintah; b pembebanan hak atas tanah yang terdiri atas pembebanan sebagai jaminan hutang dengan hak tanggungan dan pembebanan hak milik dan hak pengelolaan dengan hak atas tanah lainnya. Sesuai dengan prinsip Pasal 2 ayat 2 huruf c UUPA, penetapan bentuk-bentuk hubungan hukum terkait dengan peralihan atau pembebanan hak atas tanah menjadi bagian dari isi kewenangan Hak Menguasai Negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan berwenang menentukan dan menetapkan bentuk-bentuk hubungan hukum yang boleh digunakan sebagai cara mengalihkan dan membebankan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan kebebasan kepada perseorangan atau badan hukum untuk menentukan sendiri bentuk hubungan hukum yang diinginkan. Jika subyek- subyek menginginkan hubungan hukum yang dilakukan mempunyai konsekuensi hukum yaitu berpindahnya hak atas tanah atau terbebaninya hak atas tanah, maka hubungan hukum tersebut harus dilakukan sesuai dengan bentuk-bentuk yang sudah ditetapkan oleh negara.

b. Pelaksana Kewenangan Hak Menguasai Negara

Kewenangan negara yang bersumber dari Hak Menguasai Negara harus dilaksanakan agar kemakmuran seluruh rakyat sebagai tujuan hukum pertanahan dapat diwujudkan. Tolok ukur kemakmuran rakyat adalah: 1 kemanfaatannya bagi rakyat; 2 tingkat pemerataan kemanfaatannya; 3 peranserta rakyat dalam menentukan manfaat; dan 4 penghormatan terhadap hak rakyat. Untuk melaksanakan 68 kewenangan tersebut, dengan mendasarkan pada UUD Negara RI Tahun 1945 dan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya, negara membentuk alat perlengkapannya baik di tingkat pusat maupun daerah, bahkan sampai di tingkat desa. Di tingkat pusat harus terdapat alat perlengkapan, khususnya di bidang kekuasaan eksekutif yang diberi kekuasaan untuk melaksanakan kewenangan negara di bidang pertanahan. Demikian pula, di daerah harus terdapat institusi yang melaksanakan kewenangan tersebut. Bahkan jika mengacu pada Pasal 18B ayat 2 UUD Negara RI Tahun 1945 serta Pasal 2 ayat 4 UUPA, masyarakat hukum adat juga harus diberi kewenangan untuk melaksanakan sebagian kewenangan negara di bidang pertanahan. Perkembangan politik pemerintahan sudah berubah atau bergeser dari semula yang berdasarkan asas sentralisasi menjadi asas desentralisasi kewenangan. Artinya, tanggungjawab melaksanakan kewenangan negara termasuk di bidang pertanahan tidak lagi dibebankan hanya kepada pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya membantu pelaksanaannya. Sesuai dengan asas desentralisasi, tanggung jawab pelaksanaan kewenangan negara di bidang pertanahan harus terbagi kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan kabupatenkota, dan pemerintah desa, serta masyarakat hukum adat. Baik pemerintah daerah maupun masyarakat hukum adat diberi kewenangan otonom untuk mengatur dan melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan.

c. Tanah yang dikuasai Negara dan Implikasinya