77
Secara sederhana ada dua alternatif HPL terkait hubungannya dengan pihak ketiga: 1 jika HPL tetap
dipertahankan, dapat dimanfaatkan dalam empat bentuk sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Penyerahan pemanfaatan tanah dalam bentuk keputusan; 2 jika di atas HPL akan
diterbitkan hak atas tanah, pemberian hak atas tanah hanya berlaku satu kali saja.
Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pertanahan, maka terhadap HPL yang sudah ada sebelum Undang-Undang
tentang Pertanahan berlaku, dilakukan penyesuaian dalam waktu 2 dua tahun. Terhadap penyerahan manfaat di atas
bagian-bagian tanah HPL yang sudah berlangsung dan tidak sesuai
dengan ketentuan
Undang-Undang tentang
Pertanahan, masih terus berlangsung sampai dengan berakhirnya perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah yang
bersangkutan.
4. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat
Hukum Adat.
Masyarakat hukum adat dan hak-hak yang dipunyainya hak ulayat harus diakui, dihormati dan dilindungi karena
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat tidak dapat dipisahkan. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak
akan mempunyai makna jika tidak disertai dengan pengakuan terhadap hak-hak yang dipunyainya yang bertumpu pada
wilayah, dan begitu juga sebaliknya.
1. Pengertian dan Objek hak ulayat
Menurut Ter Haar
72
, hak ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan sungai, danau,
perairan, pantai, laut, tanam-tanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Sedangkan menurut sumber lain, hak-hak masyarakat hukum
adat tersebut
meliputi hutan,
padang dan
penggembalaan ternak, belukar bekas ladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secaa berputar, perairan darat
maupun laut, penambangan tradisional dan penangkapan ikan di sungai dan laut
73
. Demikian juga terdapat sejumlah studi yang meneliti tentang hak ulayat laut
74
. Semenjak era reformasi, peraturan perundang-undangan
yang memuat tentang hak-hak Masyarakat Hukum Adat dari segi kuantitas cukup menggembirakan.
Jika di negara kita kesadaran untuk memulai berpikir lebih bersungguh-sungguh tentang Masyarakat Hukum Adat
dan hak-haknya baru timbul pada era reformasi, dalam
72
Ter Haar, Asas dan Susunan Hukum Adat, cetakan kesebelas, Negara Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hlm 50.
73
Konsorsium Pembaharuan Agraria, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan KPA, Jakarta, 1998, hlm 14.
74
Ary Wahyono et.al., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Media Pressindo, Yogyakarta, 2000.
78
tingkatan internasional tidak kurang ada 14 konvensi internasional yang memuat pengakuan dan perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, diawali dari The United Nations Charter pada tahun 1945 sd The United Nations Declaration
on the Rights of Indigenous Peoples, 13 September 2007. Dalam tingkat nasional paling tidak terdapat enam undang-
undang yang memuat tentang hak masyarakat hukum adat yakni:
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan kedua Tahun 2000: Pasal 18 B ayat 2
dan Pasal 28 I ayat 3; 2
TAP MPR RI Nomor IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Pasal 4;
3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia: Pasal 5 ayat 3 dan Pasal 6 4
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi UU MK: Pasal 51 ayat 1;
5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah: Pasal 1, Pasal 2 ayat 9, Pasal 203 ayat 3, dan Pasal 216 ayat 2; dan
6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bai Provinsi Papua: Ketentuan Umum, Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Pasal 43, Pasal
44, Pasal 50, dan Pasal 51.
Dalam hukum positif terkait sumberdaya alam setingkat undang-undang setidaknya terdapat sebelas undang-undang
yang memuat tentang hak Masyarakat Hukum Adat. Namun demikian, diantara berbagai undang-undang sumberdaya
alam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan, mengakui Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya dengan
“setengah hati”. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, terbitlah Peraturan Menteri Negara
AgrariaKepala Badan
Pertanahan Nasional
Permenag Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Permenag tersebut paling tidak, ketentuan Pasal 3 UUPA yang mengatur pengakuan hak ulayat namun tidak
tuntas itu, dilengkapi oleh Permenag.
Saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat. Dalam kenyataannya, keberadaan hak ulayat itu beragam
disebabkan karena dinamika perkembangan sosial-ekonomi masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang secara
wajar timbul karena pengaruh dari masyarakat hukum adat itu maupun pengaruh dari luar lingkungannya. Pengakuan,
penghormatan
dan perlindungan
terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat didasarkan pada kenyataan masih berlangsungnya hak ulayat dan dilaksanakan dalam rangka
79
tercapainya keseimbangan antara kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkuatan dan kepentingan nasional.
2. Kriteria objektif keberadaan hak ulayat