87
dicegah penyimpangan dalam penggunaan Hak Pakai dalam rangka pelayanan publik.
Terkait dengan Hak Milik, dalam Rancangan Undang- Undang tentang Pertanahan ditegaskan prinsip-prinsipnya
berkenaan dengan isi kewenangan Hak Milik, pemegang Hak Milik, terjadinya, peralihan dan pembebanannya dengan Hak
Tanggungan. Sebagaimana diketahui, terkait dengan Hak Milik, belum diatur secara komprehensif dalam peraturan
perundang-undangan.
Sebagaimana halnya dengan Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan HSUB sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan 45
UUPA belum ditindaklanjuti pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Mengingat
bahwa keberadaan hak tersebut disebutkan dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, walaupun tidak dipahami secara
tepat, maka dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan ditegaskan kembali pengaturan tentang HSUB,
terjadinya, dan pemegang haknya. Perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan memperoleh HSUB dengan
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. Pertimbangannya adalah karena HSUB termasuk dalam salah satu jenis hak
atas tanah. Perjanjian antara pemegang Hak Milik, dengan pihak yang akan memperoleh HSUB memberikan hak bagi
pemegang HSUB untuk membangun di atas tanah milik orang lain. Untuk memberikan jaminan kepastian hukum, jika
dikehendaki, di atas sertipikat Hak Milik diberi catatan tentang keberadaan HSUB tersebut.
Oleh karena
pemilikan pemegang
HSUB adalah
bangunannya, maka jika dikehendaki bangunan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain sepanjang hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya. Demikian juga, bangunan yang dimiliki oleh pemegang HSUB
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia.
b. Hak Ruang di atas tanah dan di bawah tanah
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, diperlukan kepastian hukum terhadap hak atas penggunaan
ruang di atas tanah danatau di bawah tanah.
Pertama, konstruksi hukum terkait macam hak atas
tanah yang dapat diberikan terhadap penguasaan dan penggunaan ruang di atas danatau di bawah tanah. Jika
secara fisik bangunan di ruang bawah tanah merupakan bagian dari bangunan di atas tanah dan ruang di atas tanah,
dan secara yuridis dimiliki oleh pemegang hak yang sama, maka penguasaan dan penggunaan ruang di atas dan di
bawah tanah mengikuti status hak atas tanahnya.
Kedua, jika subyek yang menguasai ruang di atas tanah
dan ruang di bawah tanah berbeda dengan pemegang hak atas tanah dan secara fisik pemanfaatan ruang di atas dan
88
ruang di bawah tanah terpisah dengan pemanfaatan hak atas tanah, maka terdapat dua alternatif terkait dengan konstruksi
hukumnya.
Alternatif pertama, terhadap pemanfaatan ruang di atas dan ruang di bawah tanah, dapat diberikan status hukum
yang berbeda dengan status hak atas tanah dari subyek hak yang berbeda dengan tambahan penyebutan: HGB Bawah
Tanah, HP Bawah Tanah, dsb yang isi kewenangannya mutatis-mutandis sesuai dengan kewenangan hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
80
. Dasar pemikirannya adalah interpretasi ekstensif Pasal 4 ayat
2 UUPA. Alternatif kedua, terhadap pemanfaatan ruang di atas
dan ruang di bawah tanah diberikan hak tersendiri, yakni Hak Ruang Atas Tanah dan Hak Ruang Bawah Tanah jenis
hak baru
81
c. Hapusnya hak atas tanah.
Hak atas tanah hapus karena berbagai hal, yakni: a.
jangka waktunya berakhir bagi hak atas tanah dengan jangka waktu tertentu;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak dipenuhi; c.
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. melanggar ketentuan sebagai subyek hak atas tanah;
h. ketidaksesuaian dengan tata ruang.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi bekas pemegang hak atas tanah dan terciptanya persepsi yang sama
antara pihak-pihak berkenaan dengan implikasi yuridis hapusnya hak atas tanah, yang mengakibatkan tanahnya
kembali dalam penguasaan negara, maka disusun prinsip- prinsip sebagai berikut.
a.
hapusnya hak atas tanah tidak menyebabkan hapusnya hak-hak keperdataan atas bangunan, tanaman dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah yang ada di atasnya; b.
apabila tidak terdapat hal-hal lain yang menghalangi, kepada bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk
memohon kembali suatu hak yang sama atas tanahnya; c.
dalam hal hapusnya hak karena status subyek maupun kesesuaian tata ruang, kepada bekas pemegang hak
diberikan prioritas untuk memohon hak atas tanah sesuai dengan persyaratan subyek dan sesuai dengan rencana
tata ruangnya;
80
Maria Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, cetakan kelima, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009, hlm 123-128.
81
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm 416-420.
89
d. apabila terhadap tanah bekas hak dimaksud tidak dapat
diberikan lagi kepada bekas pemegang hak semula sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, hak-hak
keperdataan yang ada di atasnya diselesaikan dengan mengutamakan prinsip musyawarah.
d. Bidang tanah yang tidak dapat diberikan dengan suatu