UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

35 bentuk usaha tetap Migas untuk “menggusur” dengan menyatakan: Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf a dan huruf b setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari instansi pemerintah yang berwenang. Tidak hanya itu, terdapat juga pemaksaan di dalam UU No. 22 Tahun 2001terhadap pegang hak atas tanah untuk memberi izin kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap melakukan kegiatan. Pasal 35 UU No. 22 Tahun 2001 telah menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila: a. Sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan kontrak kerjasama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akandilakukan; b. Dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud. UU No. 22 Tahun 2001 ini terlihat betul memberikan prioritas kepada usaha Migas dengan mengeyampingkan kenpentingan sektor lain termasuk bidang sarana dan prasarana umum dan hak masyarakat. Kebijakan ini tidak saja merupakan pernyataan sepihak dari sektor Migas, tetapi juga didukung oleh bidang pertanahan. Salah satunya adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum UU No. 22 Tahun 2001. Pasal 10 huruf e UU No. 22 Tahun 2001 menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur minyak, gas dan panas bumi merupakan salah bentuk pembangunan kepentingan umum. Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 2001 juga bisa digunakan untuk memfasilitasi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur Migas. RUU Pertanahan ini hendaknya mempertimbangkan ketentuan terkait pertanahan di dalam UU No. 22 Tahun 2001. Tidak hanya itu, bahkan UU No. 22 Tahun 2001juga telah memberikan kedudukan istimewa kepada sektor Migas dengan menyatakannya sebagai kepentingan umum.

e. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Bentuk penggunaan tanah untuk usaha ketenagalistrikan hampir mirip dengan penggunaan tanah untuk usaha pertambangan Minerba, maka pengaturan terkait pertanahan di dalam UU No. 30 Tahun 2009 UU No. 30 Tahun 2009 searah dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Ditentukan bahwa dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian 36 tanahyang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan Pasal 30 ayat 5 UU No. 30 Tahun 2009. Dengan demikian kedudukan RUU Pertanahan ini nanti juga akan menjadi rujukan bagi penyediaan tanah untuk usaha ketenagalistrikan. Bentuk penggunaan tanah yang dibutuhkan untuk usaha ketenagalistrikan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu 1 tanah yang digunakan langsung untuk pembangunan sarana prasarana usaha ketenagalistrikan, sehingga harus dilakukan pelepasan atau penyerahan tanahnya; 2 tanah yang tidak secara langsung digunakan tetapi terpengaruh olehnya yang tidak perlu dilepaskan atau diserahkan. Penggantian terhadap tanah yang digunakan berbeda berasarkan bentuk penggunaannya. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat 1 sampai dengan ayat 3 UU No. 30 Tahun 2009 yang menyatakan, penggunaan tanah oleh pemegang izin usahapenyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan. Ganti rugi hak atas tanah diberikan untuk tanah yang dipergunakansecara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaantenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atastanah. Jadi ganti rugi adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, danatau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut. Sedangkan, kompensasi diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik. Dengan demikian, kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, danatau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Tidak hanya itu, penggunaan tanah ulayat pun harus berdasarkan penyerahan dengan dari masyarakat hukum adatnya berdasarkan peraturan berlaku. Pasal 30 ayat 6 menegaskan bahwa dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat. 37

f. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan