35
bentuk usaha tetap Migas untuk “menggusur” dengan menyatakan:
Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan,
tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf a dan huruf b setelah terlebih
dahulu memperoleh izin dari instansi pemerintah yang berwenang.
Tidak hanya itu, terdapat juga pemaksaan di dalam UU No. 22 Tahun 2001terhadap pegang hak atas tanah untuk memberi izin
kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap melakukan kegiatan. Pasal 35 UU No. 22 Tahun 2001 telah menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan eksplorasi
dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila: a.
Sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan kontrak
kerjasama atau
salinannya yang
sah, serta
memberitahukan maksud
dan tempat
kegiatan yang
akandilakukan; b.
Dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah
atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud.
UU No. 22 Tahun 2001 ini terlihat betul memberikan prioritas kepada usaha Migas dengan mengeyampingkan kenpentingan
sektor lain termasuk bidang sarana dan prasarana umum dan hak masyarakat. Kebijakan ini tidak saja merupakan pernyataan
sepihak dari sektor Migas, tetapi juga didukung oleh bidang pertanahan. Salah satunya adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum UU No. 22 Tahun 2001. Pasal 10 huruf e UU No. 22 Tahun
2001 menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur minyak, gas dan panas bumi merupakan salah bentuk pembangunan
kepentingan umum. Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 2001 juga bisa digunakan untuk memfasilitasi pengadaan tanah untuk
pembangunan infrastruktur Migas.
RUU Pertanahan
ini hendaknya
mempertimbangkan ketentuan terkait pertanahan di dalam UU No. 22 Tahun 2001.
Tidak hanya itu, bahkan UU No. 22 Tahun 2001juga telah memberikan kedudukan istimewa kepada sektor Migas dengan
menyatakannya sebagai kepentingan umum.
e. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Bentuk penggunaan tanah untuk usaha ketenagalistrikan hampir
mirip dengan
penggunaan tanah
untuk usaha
pertambangan Minerba, maka pengaturan terkait pertanahan di dalam UU No. 30 Tahun 2009 UU No. 30 Tahun 2009 searah
dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Ditentukan bahwa dalam hal tanah yang digunakan pemegang
izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian
36
tanahyang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pertanahan Pasal 30 ayat 5 UU No. 30 Tahun 2009. Dengan demikian kedudukan RUU Pertanahan ini
nanti juga akan menjadi rujukan bagi penyediaan tanah untuk usaha ketenagalistrikan.
Bentuk penggunaan tanah yang dibutuhkan untuk usaha ketenagalistrikan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu 1 tanah
yang digunakan langsung untuk pembangunan sarana prasarana usaha ketenagalistrikan, sehingga harus dilakukan pelepasan
atau penyerahan tanahnya; 2 tanah yang tidak secara langsung digunakan tetapi terpengaruh olehnya yang tidak perlu
dilepaskan atau diserahkan. Penggantian terhadap tanah yang digunakan berbeda berasarkan bentuk penggunaannya.
Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat 1 sampai dengan ayat 3 UU No. 30 Tahun 2009 yang menyatakan,
penggunaan tanah oleh pemegang izin usahapenyediaan tenaga listrik
untuk melaksanakan
haknya dilakukan
dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada
pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan. Ganti rugi
hak atas tanah diberikan untuk tanah yang dipergunakansecara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaantenaga listrik dan
bangunan serta tanaman di atastanah. Jadi ganti rugi adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
berikut bangunan, tanaman, danatau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut. Sedangkan, kompensasi diberikan untuk
penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha
penyediaan tenaga
listrik yang
mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan
tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik. Dengan demikian, kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang
hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, danatau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut
digunakan
secara tidak
langsung untuk
pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan
hak atas tanah. Tidak hanya itu, penggunaan tanah ulayat pun harus
berdasarkan penyerahan dengan dari masyarakat hukum adatnya berdasarkan peraturan berlaku. Pasal 30 ayat 6
menegaskan bahwa dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat,
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan
di bidang
pertanahan dengan
memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.
37
f. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan