28
RUU Pertanahan ini, sepanjang terkait pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, cukup mengatur secara
umum saja, sedangkan secara rinci mengacu kepada UU No.2 Tahun 2012. Sehingga walaupun lahirnya lebih dahulu daripada
RUU Pertanahan ini, UU No.2 Tahun 2012 berkedudukan juga sebagai pelaksana RUU Pertanahan ini nantinya, terlepas dari
substansi UU No.2 Tahun 2012 yang masih banyak perlu dipertanyakan.
2. Undang-Undang Sektoral Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam
a. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pengaturan bidang kehutanan merupakan obyek yang paling luas bersentuhan dengan pengaturan bidang pertanahan, karena
hutan memang hanya tumbuh dan berada di atas tanah. Oleh karena itu, undang-undang di bidang kehutanan harus sejalan
dengan undang-undang di bidang pertanahan.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU No. 41 Tahun 1999 merupakan undang-undang pengganti dari UU No. 5 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan UU No. 5 Tahun 1967. Dalam materi muatannya UU ini keharusnya
mengatur obyeknya yaitu hutan sebagai sumberdaya alam yang berada di atas tanah. Dengan demikian, kedudukan UU
Kehutanan
merupakan pelaksana
dari Pasal
8 UUPA
sebagaimana disinggung di atas. Dalam konteks ini UU Kehutanan hendaknya mengatur pengelolaan hutan sesuai
dengan fungsi pokoknya yaitu lindung, konservasi dan budidaya. Sehingga ia tidak mengatur status tanah tempat beradanya
hutan. Pengaturan status tanahnya harus mengacu kepada UUPA dan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan,
supaya tidak terjadi tumpang tindih pengaturan.
Sayangnya, UU Kehutanan tidak saja mengatur pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam yang berada di atas tanah tetapi
juga mengatur
status tanahnya
dengan memunculkan
terminologi baru yaitu kawasan hutan. Akibatnya, di kawasan hutan yang ditetap secara sepihak oleh Menteri Kehutanan yang
luasnya hampir separuh luas daratan Indonesia terjadi tumpang tindih aturan antara UU Kehutanan dan UUPA.
Kondisi ini berdampak terhadap status tanah dalam usaha di bidang kehutanan. Seperti diketahui, bidang usaha kehutanan,
seperti Hutan Tanaman Industri HTI, dan berbagai izin usaha di bidang kehutanan, merupakan satu-satunya sektor usaha yang
tidak didasarkan pada hak atas tanah atau tidak mensyaratkan perolehan tanahnya. Hal ini tidak saja menimbulkan kerancuan
dalam kegiatan usaha, tetapi negara juga dirugikan karena pemasukan ke negara dari pemberian hak atas tanah kepada
pengusaha menjadi hilang. RUU Pertanahan ini diharapkan bisa mengatasi persoalan ini, karena UU No. 41 Tahun 1999 memang
menjadikan UUPA sebagai dasar penentuan status kawasan hutan. Jangan sampai amanah UU ini disimpangi oleh praktik
pengelolaan kehutanan yang menyimpang dari UUPA.
29
Tidak hanya itu, bila dihubungkan dengan UUPA sebagai sumber utama agraria, maka UU Kehutanan juga mengandung
masalah dalam konteks pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat. Pasal 3 UUPA dengan tegas mengakui keberadaan
hak
ulayat sebagai
salah satu
entitas status
tanah. Berseberangan dengan itu, UU Kehutanan malah tidak mengakui
keberadaan hak ulayat di kawasan hutan, sehingga Pasal 1 huruf f UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adat adalah
hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
b. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan