58
tanah komersial yang dimiliki oleh orang dan badan hukum perdata.
6. Sengketa tanah
Berbagai konflik kepentingan di bidang pertanahan telah melahirkan sengketa tanah yang semakin hari semakin
meningkat baik jumlah maupun kualitasnya. Peradilan negara terus berupaya memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
sengketa tanah di seluruh Indonesia, tetapi upaya tersebut tidak menunjukkan hasil yang mengembirakan. Jumlah perkara yang
berasal dari sengketa tanah terus meningkat sehingga terjadi tunggakan perkara. Beberapa perkara di antaranya memang
sudah berhasil diputus oleh pengadilan negara, tetapi putusan tersebut justru cenderung menimbulkan sengketa baru karena
eksekusinya tidak bisa dijalankan dengan baik. Jadi, walaupun pengadilan telah berhasil memutus perkara tanah, namun
putusan tersebut belum mampu menyelesaikan sengketa tanah. Untuk itu, hukum pertanahan perlu memberikan jalan keluar
bagi kesulitan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah.
Sejalan dengan itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa proses penyelesian sengketa tanah di luar pengadilan terutama di
kalangan masyarakat hukum adat terus berlangsung. Kondisinya memang bervariasi. Ada yang penyelenggaraannya sangat aktif
seperti di Sumatera Barat, tetapi banyak juga yang sudah mulai mundur.
Persoalan yang
menyebabkan mundurnya
penyelenggaraan penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan adalah kurangnya dukungan peradilan negara Mahkamah
Agung terhadapnya.
Mahkamah Agung
malah membuat
terobosan dengan memaksakan atau mewajibkan mediasi di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008, dan ironisnya
tidak mengakui hasil mediasi di luar pengadilan. Akibatnya, ketentuan ini malah semakin menambah jumlah perkara tanah di
pengadilan,
dan membuat
waktu penyelesaian
perkara bertambah lama.
C. Landasan Yuridis
Pengaturan bidang pertanahan pada pokoknya sudah diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1960 UUPA. Sebagai UU pokok, UUPA tidak
mengatur secara rinci tentang obyek pengaturannya, termasuk tentang tanah yang menjadi obyek utama yang diatur UUPA. Oleh
karena itu, diperlukan UU yang akan melengkapi atau merinci aturan-aturan pokok tentang pertanahan yang ada di UUPA. RUU
Pertanahan ini dimaksudkan sebagai pelengkap dari kekurangan aturan yang terdapat di dalam UUPA. Dengan demikian RUU
Pertanahan ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA sebagai lex generalis yang khusus mengatur tentang pertanahan saja
sebagai lex specialis.
Walaupun RUU Pertanahan ini bersifat lex specialis namun keberadaannya dimaksudkan untuk mewujudkan sinkronisasi dan
harmonisasi pengaturan di bidang pertanahan. Hal ini merupakan konsekuensi dari sudah tersebarnya pengaturan pertanahan di
59
berbagai peraturan perundang-undangan, baik sebagai pelaksana dari UUPA sendiri maupun UU sektoral di bidang kehutanan,
pertambangan, perkebunan, sumberdaya air, ketenagalistrikan, penanaman modal, dan sebagainya. Akibatnya, substansi atau
materi muatan RUU Pertanahan ini akan berdampak terhadap pengaturan pertanahan yang sudah ada. Sejalan dengan itu RUU
Pertanahan ini juga bermaksud menyatukan, menghimpun, atau mengkompilasi semua pengaturan di bidang pertanahan.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan perjalanan waktu ternyata tidak semua konsep materi muatan pengaturan di dalam
UUPA yang jelas penafsirannya. Beberapa konsep materi muatan aturannya perlu kejelasan penafsiran, seperti badan hukum yang
bisa memegang hak milik, orang asing yang boleh memegang hak pakai dan hak sewa tanah, tanah absentee, hak atas tanah untuk
instansi pemerintah hak pakai pemerintah, salah kaprah hak pengelolaan dan sebagainya. Dengan demikian RUU Pertanahan ini
juga dimaksudkan untuk memperjelas penafsiran konsep yang terdapat di dalam UUPA.
Di samping itu juga terdapat beberapa pengaturan penting di bidang pertanahan yang diatur oleh peraturan pemerintah, seperti
penertiban tanah terlantar, berbagai ketentuan terkait land reform khususnya larangan tanah absentee, redistribusi tanah yang
seyogianya diatur dengan undang-undang. Karena itu, RUU Pertanahan ini juga akan meningkatkan pengaturan hal itu menjadi
undang-undang, supaya mempunyai daya berlaku lebih kuat. Hal serupa juga terjadi pada dasar hukum pembentukan instansi
pemerintah
yang menjalankan
urusan bidang
pertanahan. Pengaturannya yang berlaku sekarang adalah dalam bentuk
peraturan presiden. Hal ini tidak saja membuat kedudukan instansi pertanahan dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional kurang kuat
tetapi juga membatasi akses rakyat melalui DPR untuk merumuskan kelembagaan pemerintahan yang sangat penting di bidang
pertanahan. Hendaknya pengaturan instansi pemerintah di bidang pertanahan juga ditingkatkan ke dalam bentuk undang-undang.
60
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN
A. Ketentuan Umum