Faktor pekerjaan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Merkuri 1. Faktor internal

Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang tinggi, yaitu sekitar 80. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat larut dalam lipida Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011 Besarnya risiko keracunan merkuri akibat massa kerja tersebut dapat semakin besar apabila diikuti dengan tidak menggunakannya APD. Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa rata-rata pekerja tidak menggunakan APD pada saat proses pengolahan emas. Sedangkan, diketahui bahwa salah satu cara untuk mengurangi terjadinya paparan merkuri di lingkungan kerja tersebut adalah dengan menggunakan Alat Pelindung Diri APD secara benar dan kontinyu. Adapun APD yang direkomendasikan untuk pekerja penambang dan pengolahan emas adalah masker, sarung tangan karet dan baju lengan panjang Setiyono dan Maywati, 2010. Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat pernafasan. Pada saat uap Hg terhirup, 80 Hg masuk ke aliran darah melalui paru-paru dan menyebar ke organ tubuh lain, termasuk otak dan ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan pakaian lengan panjang mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa senyawa air raksa II organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit Setiyono dan Maywati, 2010. b. Jam kerja Jam kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI. Jam kerja terkait dengan lama keterpaparan pekerja di lingkungan kerjanya dalam sehari. Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki jam kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama dengan p value sebesar 0,035. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan Kurun tahun 2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jam kerja terhadap keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja 8 jam dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan dengan pekerja dengan jam kerja ≤ 8 jamhari. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rianto 2010 pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri, diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jam kerja dalam sehari dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh hasil dari 7 orang penambang dengan jam kerja 8 jam, didapat 7 orang 100 yang mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam dari 53 orang penambang, terdapat 33 orang 62,3 yang mengalami keracunan merkuri dan 20 orang 37,7 tidak mengalami keracunan merkuri. Berdasarkan hasil dari analisis univariat, diketahui bahwa rata-rata jam kerja yang dimiliki oleh pekerja adalah 8,3 jam. Hal tersebut telah melebihi jam kerja standar dalam sehari. Menurut Suma’mur 1996, pada umumnya lama bekerja seseorang dalam sehari sebaiknya 6-8 jam. Pekerjaan biasa tidak terlalu ringan atau berat yang dilakukan setelah 4 jam bekerja dapat menurunan produktivitas kerja dan sejalan dengan menurunnya kadar gula dalam darah. Hal ini dapat terkait dengan status gizi seseorang. Pada dasarnya apabila seseorang memiliki status gizi yang kurang baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit Inswiasri dan Sintawati, 2011. Hal tersebut juga sejalan dengan Suma’mur 1996, yang menyatakan bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesehatan dan daya kerja.Sehingga, diperlukannya istirahat setelah 4 jam kerja secara terus-menerus sekitar setengah jam. Karena tingkat gizi seorang pekerja terutama pekerja berat dan kasar, merupakan faktor penentu derajat produktivitas kerjanya. Sehingga, beban kerja yang berat umumnya disertai dengan penurunan berat badan. c. Jenis Aktivitas Jenis aktivitas yang dilakukan oleh PETI terdiri dari menambang dan mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan. Pengolahan emas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan gelundung sehingga menjadi serbuk emas, membuat amalgram dimana terjadi proses pencampuran merkuri dan pemerasan emas yang telah dicampur dengan air dan merkuri dengan menggunakan kain, pemijaran atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi lempengan. Dari hasil uji bivariat pada tabel 5.13 dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis aktivitas dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,2285. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiyono dan Maywati 2010 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kegiatan pekerja terhadap kadar Hg dengan p value sebesar 0,058. Berbeda dengan Lestarisa 2010 yang menyatakan bahwa sebagian besar penambang yang mempunyai aktivitas berupa pencampuran merkuri dan membakar amalgram mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri. Hal ini disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui saluran pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri tersebut dapat berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh Lestarisa, 2010. Hal ini mugkin dapat terjadi karena berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui bahwa proporsi pekerja yang memiliki aktivitas tidak kontak langsung lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang memiliki aktivitas kontak langsung. Hal ini dapat mempengaruhi perhitungan statistik yang dilakukan. Selain itu, diduga pula adanya pengaruh jam kerja. Apabila pekerja yang memiliki jenis aktivitas tidak kontak langsung namun memiliki jam kerja yang lama maka mereka memiliki risiko yang besar pula untuk terpapar merkuri di lingkungan kerjanya, khususnya dari uap merkuri yang mengontaminasi udara di area kerja. Selain itu, peneliti juga menduga bahwa jalur masuk merkuri dapat terjadi melalui faktor lainnya selain dari lingkungan kerja, yaitu seperti dari pangan khususnya dari konsumsi ikan. Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan dari R. Kowalski dan J. Wierciński 2006 yang menyatakan bahwa konsentrasi merkuri dari rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri.

6.3.3. Faktor prilaku

a. Konsumsi ikan Salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI adalah jumlah konsumsi ikan. Berdasarkan analisis bivariat diketahui tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara konsumsi ikan dengan keracunan merkuri. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian dari Andri et.al. 2011 pada masyarakat sekitar PETI di Kecamatan Mandor, diketahui bahwa variabel konsumsi ikan yang berasal dari daerah setempat 3 kaliminggu memiliki hubungan yang signifikan terhadap kadar merkuri pada rambut masyarakat dengan p value sebesar 0,007. Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh R. Kowalski dan J. Wierciński 2006 yang berjudul Determination of Total Mercury Concentration in Hair of Lubartów-Area Citizens Lublin Region, Poland, diketahui bahwa konsentrasi merkuri dari rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri. Tingginya konsentrasi merkuri ditemukan pada rambut individu yang banyak mengkonsumsi ikan. Hal tersebut dilandasi dengan teori yang menyatakan bahwa merkuri merupakan logam berat yang tidak dapat didegradasi sehingga dapat menimbulkan bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah satunya adalah ikan. Dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat berubah menjadi bentuk organik, yaitu metilmerkuri CH 3 Hg karena adanya aktivitas bakteri. Bentuk senyawa metilmerkuri CH 3 Hg dapat dengan mudah berdifusi dan berikatan dengan protein biota akuatik. Hal tersebut termasuk pada protein jaringan otot ikan Bureau of Nutritional Sciences, Food Directorate, Health Products and Food Branch Canada, 2007; Athena dan Inswiasri, 2009. Diketahui pula ion metil merkuri yang telah termakan akan larut dalam lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan. Metil merkuri dapat ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan sampai kadar 3000 kali dari kadar yang ada di air, namun ikan tersebut tidak menunjukkan gangguan merkuri atau menderita sakit Polii dan Sonya, 2002. Sehingga apabila manusia

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar Merkuri Dalam Rambut Masyarakat Sekitar Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Malasari, Kec. Nanggung, Kab. Bogor

4 43 140

Keracunan Merkuri (Hg) pada Unggas

0 6 64

Analisis residu merkuri (Hg) pada ikan mas (Cyprinus carpio) berdasarkan jarak pusat pencemaran di desa Cisarua, kecamatan Naggung, kabupaten Bogor

0 10 59

Analisis Buangan Berbahaya Pertambangan Emas di Gunung Pongkor (Studi Kasus : Desa Cisarua, Malasari, dan Bantarkaret di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor )

11 48 219

Pola Kesempatan Kerja di Daerah Pertambangan Emas Gunung Pongkor ( Studi Kasus : Desa Bantar Karet, Desa Cisarua, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor )

0 4 10

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Eksternalitas Negatif Pencemaran Sungai Kampar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)

0 11 100

Dampak Industri Pertambangan Emas Tanpa Izin terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Gurandil (Kasus Desa Pangkal Jaya, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

1 7 89

Studi Pencemaran Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Fe, dan Hg) pada Daun Singkong di Daerah Pengolahan Emas Tanpa Izin, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

0 6 80

Peranan Pemerintah Kabupaten Dalam Penertiban Penambangan Emas Tanpa Izin (Studi : penambangan Emas Tanpa Izin Di Nagari Lubuk Gadang Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan).

0 0 6