dan tangan, sakit kepala, rasa logam pada mulut, otot terasa sakit dan kejang, kulit telapak tangan dan kaki menebal, pusing, darah tinggi, flu, batuk, serta magh.
Berdasarkan data tersebut dapat diindikasikan bahwa terdapat beberapa dampak dari penggunaan merkuri pada proses pengolahan yang dilakukan oleh pekerja. Dampak
tersebut dilihat dari beberapa gangguan kesehatan yang telah dialami yaitu tremor, sering kesemutan, otot wajah kaku, iritasi mata, rasa logam pada mulut, otot terasa
sakit dan kejang, kulit telapak tangan dan kaki menebal, serta sakit kepala.
81
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu sebagai berikut: 1 Tidak ditelitinya faktor lingkungan, sehingga alternatifnya adalah dengan
menggunakan data sekunder dari berbagai literatur mengenai status kontaminasi merkuri di lingkungan.
2 Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional, dimana faktor risiko dan efek diukur dalam waktu yang bersamaan. Dimana pajananexposure dan
outcome diukur dalam satu waktu yang sama, sehingga hubungan merupakan
keterkaitan antar variabel bukan sebab akibat. 3 Data mengenai gejala penyakit hanya berdasarkan ingatan dan sepengetahuan
responden saja, tanpa dilakukan pemeriksaan kesehatan yang sesuai standar. Sehingga, diagnosis terkait efek dari keracunan merkuri belum dapat
dipastikan pada pekerja PETI.
6.2. Keracunan Merkuri
Merkuri merupakan logam berat yang dikelompokkan kedalam golongan yang memiliki tingkat toksik tinggi Widowati et. al., 2008. Efek negatif bagi kesehatan
yang dapat ditimbulkan dengan adanya paparan merkuri terhadap para pekerja PETI
yaitu berupa kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu pada ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan
menggunakan pengukuran terhadap biomarker. Untuk batas normal pada rambut adalah sebesar 1-2 ppm.
Dari hasil penelitian mengenai gambaran keracunan merkuri pada pekerja PETI di Desa Cisarua, diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan merkuri
Hg memiliki jumlah yang lebih besar, yaitu dengan persentasi 60, dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar pekerja sudah terkontaminasi dan menerima paparan merkuri pada tubuhnya yang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan. Diketahui juga
bahwa terdapat responden dengan kadar merkuri tertinggi yaitu sebesar 68 ppm dan terendah sebesar 0,28 ppm.
Apabila ditelusuri lebih mendalam diketahui bahwa responden yang memiliki kadar merkuri tertinggi memiliki massa kerja 15 tahun dengan jenis aktivitas kontak
langsung, sehingga memiliki risiko untuk terjadinya keracunan merkuri. Sedangkan, untuk yang memiliki kadar merkuri terendah salah satu respondennya memiliki massa
kerja 3 tahun dengan jenis aktivitas tidak kontak langsung, sehingga memungkinkan bahwa kadar merkuri pada tubuhnya masih dalam batas normal merkuri dalam tubuh.
Pada saat dilakukannya wawancara, responden dengan kadar merkuri yang tinggi tersebut belum menunjukkan adanya gangguan kesehatan yang berarti akibat