Keterbatasan Penelitian Keracunan Merkuri

yaitu berupa kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu pada ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan menggunakan pengukuran terhadap biomarker. Untuk batas normal pada rambut adalah sebesar 1-2 ppm. Dari hasil penelitian mengenai gambaran keracunan merkuri pada pekerja PETI di Desa Cisarua, diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan merkuri Hg memiliki jumlah yang lebih besar, yaitu dengan persentasi 60, dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja sudah terkontaminasi dan menerima paparan merkuri pada tubuhnya yang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan. Diketahui juga bahwa terdapat responden dengan kadar merkuri tertinggi yaitu sebesar 68 ppm dan terendah sebesar 0,28 ppm. Apabila ditelusuri lebih mendalam diketahui bahwa responden yang memiliki kadar merkuri tertinggi memiliki massa kerja 15 tahun dengan jenis aktivitas kontak langsung, sehingga memiliki risiko untuk terjadinya keracunan merkuri. Sedangkan, untuk yang memiliki kadar merkuri terendah salah satu respondennya memiliki massa kerja 3 tahun dengan jenis aktivitas tidak kontak langsung, sehingga memungkinkan bahwa kadar merkuri pada tubuhnya masih dalam batas normal merkuri dalam tubuh. Pada saat dilakukannya wawancara, responden dengan kadar merkuri yang tinggi tersebut belum menunjukkan adanya gangguan kesehatan yang berarti akibat keracunan merkuri tersebut. Hal ini dapat terjadi karena diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhinya yaitu faktor genetik yang tidak diteliti pada penelitian ini. Dimana terdapatnya perbedaan genetik dalam metabolisme atau biotransformasi dari masing-masing individu, sehingga terdapat perbedaan juga terhadap kerentanan tubuh dalam proses penyerapan dan mempertahankan unsur toksik tersebut yang salah satunya adalah merkuri Whitfield et al., 2010. Kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI dapat diakibatkan dari penggunaan merkuri dalam proses pengolahan emas. Para pekerja mempunyai risiko untuk terpapar merkuri secara langsung. Paparan tersebut dapat terjadi pada tahap pencampuran merkuri yang digunakan untuk amalgamator gelundungan, dan pada proses pemerasan amalgam. Dari hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa pekerja tidak menggunakan sarung tangan pada tahap tersebut. Selanjutnya, paparan juga dapat terjadi pada proses pembakaran, dimana uap merkuri hasil pembakaran dapat terhirup langsung oleh para pekerja, mengingat pekerja tersebut tidak menggunakan masker pada saat melakukan proses pembakaran. Selain adanya paparan langsung, kontaminasi merkuri pada tubuh pekerja dapat berasal dari konsumsi ikan. Walaupun diagnosis terkait efek dari keracunan merkuri belum dapat dipastikan pada pekerja PETI, namun berdasarkan wawancara dan pengisian kuesioner diketahui beberapa gejala yang dapat mengindikasikan efek toksik dari merkuri. Gejala tersebut berupa: tremor, sering kesemutan, otot wajah kaku,, iritasi mata, rasa logam pada mulut, otot terasa sakit dan kejang, kulit telapak tangan dan kaki menebal, serta sakit kepala. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wardhana 2001 dan Subanri 2008 yang menyatakan bahwa keracunan merkuri dapat ditandai dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare. Kemudian menurut Widowati 2008, toksisitas kronis dapat berupa gangguan sistem pencernaan, gingivitis radang gusi, dan sistem syaraf, berupa tremor. Selain itu, menurut Widowati 2008 dan Palar 1994, toksisitas kronis dapat berupa gangguan sistem syaraf berupa tremor. Diketahui juga gangguan kesehatan terbesar yang dialami responden adalah berupa kesemutan. Hal tersebut sejalan dengan Inswiasri 2008 yang menyatakan bahwa gejala awal dari keracunan kronik salah satunya adalah rasa kesemutan. 6.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Merkuri 6.3.1. Faktor internal a. Umur Menurut Hamid 1991 dan Tugaswati 2006 salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap logam berat adalah umur. Dari hasil uji bivariat pada tabel 5.9 dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara umur dengan keracunan merkuri. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartono 2003 pada 45 orang pekerja laboratorium di Bandar lampung. Diperoleh hasil bahwasanya terdapat hubungan yang bermakna antara variabel umur pekerja dengan kadar merkuri pada rambutnya p value = 0,02. Diketahui pula pekerja dengan umur 35 tahun mempunyai kemungkinan 5,678 kali memiliki kadar merkuri pada rambutnya melebihi 2ppm, dibandingkan dengan pekerja dengan umur ≤ 35 tahun 95 CI OR = 1,318-24,536. Hal ini dapat terjadi karena diduga dipengaruhi oleh faktor lain, yakni faktor pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan paparan merkuri ke tubuh. Faktor yang dapat berpengaruh tersebut seperti massa kerja. Bahwasanya semakin lama seseorang bekerja di area yang memiliki risiko tinggi terhadap paparan merkuri, maka semakin sering pula orang tersebut terpapar dengan merkuri. Sehingga semakin meningkat akumulasi merkuri dalam tubuhnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suma’mur 1996 yang menyatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan bahaya yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya. Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri pada saat proses pengolahan emas Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011. Dari hasil uji bivariat tersebut juga diketahui bahwa baik pekerja yang mengalami keracunan merkuri maupun tidak, memiliki rata-rata umur yang masih tergolong usia produktif. Sedangkan, menurut Eto 1999 dan Sudarmaji et. al.

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar Merkuri Dalam Rambut Masyarakat Sekitar Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Malasari, Kec. Nanggung, Kab. Bogor

4 43 140

Keracunan Merkuri (Hg) pada Unggas

0 6 64

Analisis residu merkuri (Hg) pada ikan mas (Cyprinus carpio) berdasarkan jarak pusat pencemaran di desa Cisarua, kecamatan Naggung, kabupaten Bogor

0 10 59

Analisis Buangan Berbahaya Pertambangan Emas di Gunung Pongkor (Studi Kasus : Desa Cisarua, Malasari, dan Bantarkaret di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor )

11 48 219

Pola Kesempatan Kerja di Daerah Pertambangan Emas Gunung Pongkor ( Studi Kasus : Desa Bantar Karet, Desa Cisarua, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor )

0 4 10

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Eksternalitas Negatif Pencemaran Sungai Kampar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)

0 11 100

Dampak Industri Pertambangan Emas Tanpa Izin terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Gurandil (Kasus Desa Pangkal Jaya, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

1 7 89

Studi Pencemaran Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Fe, dan Hg) pada Daun Singkong di Daerah Pengolahan Emas Tanpa Izin, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

0 6 80

Peranan Pemerintah Kabupaten Dalam Penertiban Penambangan Emas Tanpa Izin (Studi : penambangan Emas Tanpa Izin Di Nagari Lubuk Gadang Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan).

0 0 6