Latar Belakang Risiko keracunan Merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Tahun 2013
tradisional. Meningkatnya jumlah penambang emas tradisional ini salah satunya terjadi di kawasan Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Selama kurun waktu 1998-
2000, daerah tambang Pongkor yang luasnya sekitar 4.000 ha ini menjadi lahan mata pencaharian baru bagi ribuan orang; pada puncaknya diperkirakan mencapai 26.000
orang McMahon et al., 2000; Kartodihardjo Suntana, 2010. Selanjutnya, berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 1999 jumlah Penambangan
Emas Tanpa Izin PETI yang melakukan penambangan di ruas Sungai Cikaniki diperkirakan berjumlah 6000 orang Anonim, 2000; Yoyok Sudarso et al., 2009.
Penduduk lokal turut berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan rakyat ini, terutama yang bermukim di tiga desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Pongkor, yaitu
Desa Bantar Karet, Cisarua, dan Malasari. Diperkirakan sekitar 30 dari para penambang adalah penduduk lokal Zulkarnain et al., 2004; Kartodihardjo Suntana,
2010. Bila ditinjau dari segi administratif kegiatan PETI menjadi permasalahan
karena tidak memiliki izin penambangan Sujatmiko, 2012. Izin penambangan tersebut dikenal dengan sebutan IPR Izin Pertambangan Rakyat seperti yang
tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Begitu pula halnya apabila ditinjau dari segi lingkungan dan kesehatan.
Kegiatan PETI dapat memberikan kontribusi negatif berupa pencemaran lingkungan karena penggunaan bahan kimia yang bersifat toksik bagi manusia. Salah satu bahan
kimia yang digunakan adalah merkuri.
Dari hasil survei pendahuluan diketahui bahwa kegiatan pengolahan emas yang dilakukan di Desa Cisarua masih secara tradisional dan menggunakan teknik
amalgamasi yang menggunakan merkuri dalam proses pengolahannya, Biji emas hasil penambangan di kawasan Gunung Pongkor tersebut, digiling dengan alat
gelundungan yang telah ditambahkan merkuri, sampai menjadi serbuk pasir lalu dicampur dengan merkuri dan diperas dengan menggunakan kain sehingga sebagian
merkuri dan air keluar dari pori-pori kain. Setelah itu, dilakukan pemijaran atau pembakaran, kemudian ditumbuk.
Apabila ditinjau dari segi lingkungan, sumber pencemaran dapat terjadi dari setiap tahapan pengolahan emas. Pada tahap penggilingan, unsur merkuri dapat
terlepas dari gelundung sehingga jatuh dan dapat mencemari tanah sekitar dan dapat pula mencemari sungai Juliawan, 2006. Pada tahap pencucian dan pemerasan,
limbah cair yang mengandung merkuri dari hasil kegiatan tersebut dapat tercecer di sekitar area pengolahan emas sehingga dapat mecemari tanah. Selanjutnya, pada
tahap pembakaran,, uap merkuri yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat mencemari udara dan kemudian mengendap di permukaan tanah Juliawan, 2006.
Dari hasil analisis lingkungan juga mengindikasikan adanya pencemaran oleh merkuri yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan PETI. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya hasil analisis terhadap sedimen aktif di lokasi PETI didaerah Pongkor, yaitu di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi pengolahan emas, yaitu di Sungai
Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-
241,6 ppm. Sedangkan pada Sungai Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua sungai bermuara, konsentrasi Hg berkisar antara 6-18,5 ppm Juliawan, 2006;
Widowati et al., 2008. Bila dibandingkan dengan baku mutu air sungai golongan B dalam KepMen LH No 2 Tahun 1998, maka diketahui bahwa Sungai Cipanas,
Cikawung, Cimarinten, dan Cikaniki sudah melewati baku mutu untuk parameter merkuri, yaitu sebesar 0,001 mgL ppm.
Selanjutnya, diketahui juga kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di
Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25 ppm Sutono, 2002; Widowati et al., 2008. Jika dibandingkan dengan baku mutu
yang terdapat dalam peraturan KepBPOM No. 3725BSKVII89 terkait kadar merkuri dalam bij-bijian, diketahui bahwa kandungan beras yang didapat dari sawah
di Nunggul dan Kalongliud Pongkor yang menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya, telah melewati batas aman yang telah
ditetapkan, yaitu 0,05 mgkg ppm. Logam merkuri yang terdapat di lingkungan tersebut dapat memasuki tubuh
melalui beberapa cara, seperti melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap merkuri, dan memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri Lestarisa, 2010.
Paparan terhadap merkuri ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, khususnya kesehatan pekerja PETI. Dampak negatif tersebut dapat berupa
keracunan merkuri baik bersifat akut maupun kronis. Proses pengolahan emas dimana
pekerjanya tidak menggunakan APD Alat Pelindung Diri tersebut dapat memperbesar risiko terjadinya keracunan merkuri. Keracunan merkuri tersebut dapat
ditandai dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa
tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare Wardhana, 2001; Subanri, 2008.
Keracunan oleh merkuri anorganik utamanya dapat mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal, hati, serta sistem enzim. Sedangkan, untuk merkuri
organik, yaitu metil merkuri, dapat menembus plasenta dan merusak janin, serta dapat mengganggu saluran darah ke otak hingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
otak Herman, 2006. Keracunan merkuri juga dapat menyebabkan kelainan psikiatri berupa insomnia, nervus, pusing, mudah lupa, tremor dan depresi Sudarmaji et al.,
2006. Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap
kesehatan manusia, berupa keracunan tersebut dapat ditinjau dari paradigma kesehatan lingkungan yang disebut dengan teori simpul Achmadi, 2011. Dalam
paradigma tersebut, besarnya pajanan merkuri pada pekerja PETI dapat dipengaruhi oleh variabel berupa umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, jenis
aktivitas PETI, dan konsumsi ikan. Besarnya pajanan tersebut dapat diketahui melalui pemeriksaan biomonitoring dengan menggunakan biomarker berupa rambut.
Menurut WHO 1991 rambut merupakan media indikator yang berguna untuk menggambarkan orang yang keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan rambut
merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi berbagai logam berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat
kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar terus-menerus Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002. Indikator keracunan merkuri dapat
dilihat dengan menbandingkan kadar merkuri pada rambut dengan ketetapan dari WHO 1990, yang menyatakan bahwa kadar normal Hg dalam rambut berkisar
antara 1-2 mgkg atau 1-2 ppm. Terdapat beberapa penelitian terkait merkuri yang sebelumnya telah
dilakukan, salah satunya adalah penelitian terkait Status Kontaminasi Merkuri di Ruas Sungai Cikaniki, Jawa Barat pada tahun 2010 yang disusun oleh Tri Suryono
dkk. Variabel yang diteliti adalah kadar merkuri total yang terdapat di air dan yang terakumulasi di sedimen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kontaminasi
logam khususnya merkuri total pada daerah uji ruas Sungai Cikaniki baik di air maupun di sedimen menunjukkan sudah tergolong tercemar sedang hingga berat.
Pada penelitian tersebut diketahui pula bahwa kontaminasi merkuri total pada air di ruas sungai Cikaniki, yaitu Desa Cisarua sudah tergolong tercemar berat pada bulan
Agustus 2008, sedangkan kontaminasi merkuri total pada sedimen tergolong tercemar berat pada bulan Juni 2008.
Selanjutnya, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh
kadar merkuri rata-rata adalah sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti terdapat 8 orang yang mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa paparan merkuri akibat dari kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas kadar normal yang telah ditetapkan oleh
WHO 1990, yaitu sebesar 1-2mgkg atau 1-2 ppm. Dengan pertimbangan berbagai masalah pencemaran merkuri yang terjadi
serta dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian merkuri dengan adanya kegiatan PETI tersebut maka sebaiknya dilakukan penelitian mengenai pajanan
merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan, yang dalam hal ini adalah berupan risiko keracunan merkuri terhadap pekerja penambangan emas tanpa izin tersebut. Hal
tersebut juga dipertegas dengan pernyataan dari WHO 2012 yang menyatakan bahwa merkuri merupakan salah satu dari sepuluh kelompok kimia yang menjadi
perhatian utama bagi kesehatan masyarakat.