362
a. Akses dan pelayanan tanah untuk rumah yang dilakukan dengan beberapa metoda, yaitu:
1 Bank Tanah. Metoda ini digunakan di Malaysia dan Singapura dilakukan dengan membeli tanah untuk pem-
bangunan kota dengan harga yang murah oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk menata pembangunan kota,
men cegah spekulasi tanah, mendistribusikan tanah kepada kaum miskin dan membiayai pembangunan infrastruktur.
Metoda ini membutuhkan kapasitas administrasi dan keuangan pemerintah daerah yang kuat.
2 Pembagian tanah land sharing. 3 Penataan lahan land readjustmen
4 Pembebasan lahan land swapping
b. Pelayanan pada kawasan c. Kebijakan dan kerangka perundang-undangan
E. Kebijakan Perumahan di indonesia
Terkait dengan masalah kebijakan perumahan, sebenarnya telah banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan perumahan.
Kebijakan yang tertuang dalam Pelita telah banyak mengatur masalah perumahan. Lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang meng-
atur masalah perumahan dan pemukiman antara lain adalah Undang- Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman,
kemudian Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 34 ayat 1 telah dicantumkan pengaturan tentang hunian berimbang. Secara jelas
diamanatkan bahwa hunian berimbang dikembangkan untuk me- menuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah
MBR. Selanjutnya, substansi hunian berimbang diatur dalam pasal 34 sampai 37. Prinsip utama yang diatur adalah i badan hukum yang
melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang; ii pembangunan perumahan skala besar
yang dilakukan oleh badan hukum wajib mewujudkan hunian ber- imbang dalam satu hamparan. Hal yang menarik bahwa dalam hal
363
pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu hamparan, pembangunan harus dilaksanakan dalam satu daerah
kabupatenkota oleh badan hukum yang sama; iii Pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan
hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang. Indoforum, Hunian Berimbang : Bukan Suatu yang
Mustahil, Edisi II Tahun 2011. Kemudian dalam Hunian Berimbang diharuskan untuk mengikuti pola 1:3:6 1 rumah mewah : 3 rumah
menengah : 6 rumah sederhana. Dengan konsep 1 : 3 : 6 ini rumah sederhana dapat menikmati fasilitas real estate dengan jalan yang luas
dan hijau, taman bermain, tempat olahraga, tempat parkir mobil, dan tempat untuk berjalan kaki.
Kebijakan tentang Rumah Susun di Indonesia telah diatur Undang- Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pada pasal 1
ayat 1 dijelaskan bahwa “Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda-benda
bersama dan tanah bersama”.
Pembangunan rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah setempat sesuai dengan peruntukkannya persyaratan adminis- tratif . Pasal 6 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah
Susun menjelaskan bahwa persyaratan administratif pembangunan rumah susun adalah persyaratan yang mengatur tentang : 1 perizinan
usaha dari perusahaan pembangunan perumahan; 2 izin lokasi dan atau peruntukkannya; serta 3 perizinan mendirikan bangunan.
Perizinan tersebut diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah terkait dengan melampirkan persyaratan-per-
syaratan sebagai berikut:
1. sertiikat hak atas tanah; 2. fatwa peruntukkan tanah;
3. rencana tapak;
364
4. gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batasan
secara vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun; 5. gambar rencana struktur beserta perhitungannya;
6. gambar rencana menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama;
7. gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun
juga mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun, antara lain meliputi :
1. ruang;
Semua ruang yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan udara dan pencahayaan langsung maupun tidak langsung secara alami dalam jumlah yang cukup.
2. Struktur, komponen, dan bahan bangunan;
Rumah susun harus direncakanan dan dibangun dengan struktur, komponen, dan penggunaan bahan bangunan yang me-
menuhi persyaratan konstruksi sesuai dengan standar yang berlaku.
3. Kelengkapan rumah susun;
Rumah susun harus dilengkapi dengan: jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan air hujan, saluran
pembuangan air limbah, saluran danatau tempat pembuangan sampah, tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon
dan alat komunikasi lainnya, alat transportasi yang berupa tangga, lift atau eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, tempat
jemuran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, alatsistem alarm, pintu kedap asap pada jarak-jarak tertentu, dan generator
listrik untuk rumah susun yang menggunakan lift.
4. Satuan rumah susun;
Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, di atas atau di bawah permukaan tanah, atau sebagian di bawah dan
365
sebagian di atas permukaan tanah. Rumah susun juga harus mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan,
memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan pengguna- annya, serta harus disusun, diatur, dan dikoordinasikan untuk
dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang ke- sejahtera an dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan
kegiatan sehari-hari untuk hubungan ke dalam dan ke luar.
5. Bagian bersama dan benda bersama;
1. bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar, harus mempunyai ukuran yang dapat
mem berikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik dalam hubungan sesama penghuni,
maupun dengan pihak-pihak lain.
2. benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang dapat memberikan keserasian lingkungan guna
menjamin keamanan dan kenikmatan para penghuni.
6. Kepadatan dan tata letak bangunan;
Kepadatan bangunan dalam lingkungan harus memperhitung- kan dapat dicapainya optimasi daya guna dan hasil guna tanah.
Tata letak bangunan harus menunjang kelancaran kegiatan sehari- hari dan harus memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah
bersama, segi-segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara, serta pencegahan dan pengamanan terhadap bahaya yang mengancam
keselamatan penghuni, bangunan, dan lingkungannya.
7. Prasarana lingkungan;
Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai penghubung untuk keperluan
kegiatan sehari-hari bagi penghuni, baik ke dalam maupun ke luar dengan penyediaan jalan setapak, jalan kendaraan, dan tempat
parkir.
8. Fasilitas bangunan.
Dalam rumah susun dan lingkungannya harus disediakan ruangan-ruangan danatau bangunan untuk tempat berkumpul,
366
melakukan kegiatan masyarakat, tempat bermain bagi anak-anak, dan kontak sosial lainnya serta ruangan danatau bangunan untuk
pelayanan kebutuhan sesuai standar yang berlaku.
Dari berbagai pengalaman negara-negara di Asia, UN Habitat menemukan bahwa paradigma pembangunan perumahan yang berbasis
pada masyarakat merupakan paradigma yang penting untuk mengatasi deisit kebutuhan rumah di kota-kota Asia. Transformasi dari paradigma
kontrol control paradigm ke paradigma dukungan support paradigm dibuktikan di Bangladesh, Hongkong, India, Indonesia, Malaysia dan
Philipina. Transformasi ini dari pembangunan rumah yang dilakukan oleh pemerintah ke pembangunan rumah yang dilakukan oleh
masyarakat. Paradigma terakhir melibatkan rumah tangga didalam aktivitas kontruksi yang mengubah dari konsumen ke produsen.
Catatan :
1. Alhalik, 2006. Efektiitas Izin Peruntukan Penggunaan Tamah IPPT sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten
Sleman. Program Pascasarjana magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang.
2. Peng, R. and Wheaton, W. C. 1994 Efects of restrictive land supply on housing in Hong Kong: an econometric analysis, Journal of Housing Research.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun 4. Reksohadiprodjo, S. and Pradono 1988 Ekonomi Sumber Daya Alam Dan
Energi. 1 edn Yogyakarta: BPFE. 5. Rodrigue, J.P., C. Comtois and B. Slack 2009 he Geography of Transport
Systems. Taylor Francis. 6. Sastra, Suparno, 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta:
ANDI Ofset. 6. Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 dan Survei Penduduk Antar Sensus
SUPAS 1995 7. Stephen Malpezzi, 1992. Urban Housing and Finance Markets : Some
International Comparison. Housing Finance International, Juni 1992. 8. Turner, J.F.C., 1968. Housing Priorities, Settlement Paterns, and Urban
Devolopment in Modernising Countries, Journalof the American Institute Planners, Vol, 34:354-363.
9. Tse, R. Y. C. 1997 Housing Price, Land Supply and Revenue from Land Sales. Urban Studies, Vol. 35, No. 8, 1998.
367 10. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
11. Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun; 12. Yunus, Hadi.S. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ofset. 13. Wolcott, R.C. 1987 he Appraisal of Real Estate American Institute of Real Estate
Appraiser. North Michigan, Chicago Illinois.
368
369
bAb 10
MANAJEMEN liNgKuNgAN PERKOTAAN
A. Pendahuluan