Lokasi. Lokasi pedagang kaki lima sebagaimana digambarkan Jumlah. Faktor yang sulit dikendalikan oleh pemerintah kota Pola kebijakan pemerintah. Harus diakui bahwa tidak ada

173 Gb. 4.15. Restrukturisasi Modal dan Strategi Rumah Tangga Sumber: R. Pahl, “he Restructuring of Capital, Local Political Economy and Household Work Strategies”, dalam Alison J. Murray, Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta, Suatu Kajian Antropologi Sosial, LP3ES, 1994, h. 30. Kebijakan dan regulasi negara dan pemerintah kota di Indonesia tidak mengakomodasi sektor ini sebagai sektor ekonomi penting, baik dalam rencana tata ruang atau pun dalam strategi pengembangan ekonomi kota. Padahal pada kota-kota pariwisata--seperti Yogyakarta-- -sektor informal menjadi ikon penting pariwisata. Pada kota yang disebut terakhir memang telah dibuat sebuah regulasi dalam bentuk peraturan daerah yang berisikan tentang pengaturan tentang organisasi dan perijinan pedagang sektor informal. Setidak dalam pengelolaan sektor informal menyangkut beberapa aspek penting yang menjadi pertimbangan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik tentang pedagang kaki lima.

1. Lokasi. Lokasi pedagang kaki lima sebagaimana digambarkan

diatas selalu memusat pada pusat-pusat kota dimana kegiatan perekonomian kota berpusat dan pada ruang-ruang publik seperti trotoar, taman kota, atau diatas tanah publik lainnya. Pemindahan atau relokasi pedagang kaki lima selalu yang dilakukan oleh pemerintah kota akan selalu sulit diterima oleh pedagang, bilamana lokasinya dipindah dari pusat kota. Dalam konteks ini, hubungan antara pedagang formal dengan pedagang informal perlu ditata 174 sedemikian rupa dalam distribusi ruang pusat kota, seperti pe- manfaatan facaderuang mukaemperan toko atau ruko untuk pedagang informal. Dari berbagai studi menunjukkan bahwa keber adaan pedagang informal di depan toko akan menarik pem- beli untuk masuk ke toko yang bersangkutan. Hubungan ekonomi ini kemudian diformalisasi dalam bentuk kerjasama atau hubungan sewa menyewa antara dua aktor ini.

2. Jumlah. Faktor yang sulit dikendalikan oleh pemerintah kota

adalah jumlah pedagang yang meningkat pesat dari waktu ke waktu menurut deret ukur. Alokasi ruang yang terbatas sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah kota, pedagang formal dan pedagang informal akan sulit diwujudkan bilamana jumlah pedagang yang tidak terbatas.

3. Pola kebijakan pemerintah. Harus diakui bahwa tidak ada

pemerintah kota yang mengakui sektor informal dalam dokumen- dokumen perencanaannya. Menurut pengambil kebijakan pekerja- an informal adalah persoalan ketertiban dan keamanan bukan persoalan sosial ekonomi. Secara historis di Jakarta sejak tahun 1980-an dijalankan kebijakan ad hoc dan militeristik, Tim Penertiban melakukan razia tanpa peringatan terlebih dahulu kepada penghuni liar, pedagang dan pendatang gelap, pembersihan pedaganga songan dijalankan sejak tahun 198990 dengan nama “operasi Esok Penuh Harapan”. 12

E. Menuju sebuah Teori Tentang Pemerintahan Kota yang Tepat dan Efektif

Pemerintahan kota memiliki sifat khusus dimana dalam pemerintahan kota terdapat kompleksitas permasalahan dan banyaknya sejumlah organisasi atau unit pemerintah yang terlibat Nurmandi, 2006 dan Proud’s Homme, 1996 serta pengetahuan dalam perencanaan penelitian, arsitektur, ekonomi dan ilmu lingkungan hames dan Hudson, 2010. Pemerintahan kota jika dilihat dari perspektif tradisional meliputi tiga pemain penting yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat umum. Pemerintahan kota sendiri sebagai salah satu aktor bukan merupakan kesatuan aktor tunggal, mengingat fakta