Pendekatan Ruang atau spasial

71 kasus-kasus pencemaran di seluruh Indonesia. Kondisi ini ditambah lagi dengan belum terbentuknya dinas otonom atau wakil Bapedal di daerah-daerah. Dengan de mikian, pembentukan instansi vertikal di daerah-daerah sudah sangat mendesak untuk dilakukan.

5. Pendekatan Ruang atau spasial

Aspek ruang space merupakan aspek yang lebih penting diper- hatikan oleh perencana kota atau wilayah. Dalam kha zanah ilmu adminis trasi negara dan ilmu politik, analisis ruang dalam proses pem- bangunan sebagaimana yang dikemukakan oleh James J. Heaphey dilakukan dengan beberapa tema pen ting yang relevan, yaitu: 22 • Bagaimana sebuah negara harus disatukan secara spasial sembari tetap memberikan peluang untuk melakukan inovasi secara spasial pula; • Bagaimana budaya dan ruang dapat dipadukan dalam satu kesatuan; • Bagaimana pembangunan ekonomi mempunyai aspek spasial dan implikasi dalam suatu negara yang sedang melaksanakan pembangunan; • Bagaimana penempatan penduduk untuk mempengaruhi pem- bangunan; • Bagaimana ideologi politik dan ruang berkaitan satu sama lain; dan • Bagaimana dan apa pengaruh dari strategi spasial yang dilakukan oleh elite politik tertentu. Tema-tema yang dikemukakan di atas berkaitan dengan aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya dari aspek ruang space. Artinya suatu pemekaran daerah otonom, misalnya, haruslah dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta ideologi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Etnisitas dan entitas merupakan suatu faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengelompokkan masyarakat atau geograi sebagai suatu daerah yang memiliki batasan yurisdiksi tertentu. Sebagai con toh, Propinsi Sumatera Barat secara sosiologis meru pakan daerah otonom yang memiliki homo genitas budaya dan politik lokal yang khas. Kesejajaran pengelompokan adminis trasi sebagai suatu daerah administrasi atau 72 otonom dengan kesatuan etnisitas atau entitas politik tertentu akan memudah kan pelaksanaan administrasi pemerintahan. Kemudahan pelaksanaan administrasi pemerintahan yang di- maksud di atas adalah bahwa pemerintah atau entitas politik yang memiliki otoritas politik dengan mudah tidak perlu mela kukan tugas- tugas yang berkaitan dengan pengintegrasian per sepsi dan sikap masya- rakat untuk mendukungnya. Pemerintah pusat dalam hal ini tidak perlu melakukan kontrol yang terlalu kuat terhadap daerah-daerah. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah yang ada dapat menjadi wakil Departemen Dalam Ne geri yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang termasuk dalam “hozcsekeeping`, seperti pada sistem yang dijalankan di Perancis dan Italia bahwa: “he points out that the Italian perfect can be the center of con- siderable power though his oicial sphere of authoritV is delimited. alostimportantforourconcerns here, the integratedprefectureisa lexible, non trasitiUe model in which the authority of the perfect can be adjusted to allow him to control or coordinate some pro- grams or activities where the case for such coordination is parti- cularly strong, rather than a general desideratum Furthermore, the unintegrated system give free rein to all the functional services. allowing for the necessarv geographical adoption within theris respective services.” Dalam konteks ini Heaphey mengajukan sebuah model administrasi pemerintahan yang bersifat terbuka, yang mem punyai ciri potensial untuk melakukan kontrol bila diperlukan. Dimensi spasial menunjukkan adanya pilihan strategis yang leksibel dan dinamis sesuai dengan kondisi dan situasi daerah yang bersangkutan. Beberapa instrumen dalam dimensi spasial yang diajukan oleh Heaphey adalah desentralisasi, partisipasi masyarakat bawah dalam program pembangunan, dan pro- fesionalisasi birokrasi. 26 Dari sisi politik, desentralisasi me merlukan integrasi sistem nilai nasional atau ideologi nasional. Konsep “nation building” sangat relevan diterapkan. Pelim pahan kewenangan atau urusan pemerintahan kepada daerah jangan sampai menjadi benih- benih disintegrasi nasional di kemudian hari. Profesionalisasi sebagai suatu metode admi nistrasi berkaitan erat dengan desentralisasi. Diharap kan setiap birokrat mempunyai pengetahuan dan ketrampilan 73 yang cukup tentang tugas yang diembannya, sehingga terwujud “professio nally determined decentralized”, artinya desentralisasi yang terwujud karena adanya profesionalisme birokrasi pemerintahan. Deskripsi teoritis, baik dari dimensi makro maupun di mensi mikro organisasi di atas membawa kepada identiikasi variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan pemekaran atau penambahan daerah otonom tertentu atau penambahan organisasi atau unit pemerintah daerah tertentu, yaitu: • Variabel etnisitas dan berkaitan dengan konsep kesatuan ruang dari etnis yang menetap; • Variabel keluasan dan batas geograis daerah tersebut; • Variabel eisiensi pelayanan publik; dan • Variabel kesadaran dan tuntutan masyarakat untuk mem peroleh pelayanan publik yang cepat dan eisien. Analisis ruang atau spasial dari daerah-daerah tertentu akan mem- bantu kita dalam memetakan secara tepat potensi-potensi ekonomi dan masalah sosial yang ada pada suatu kota atau daerah perkotaan tertentu. Studi Depdagri dan Fisipol UGM pada tahun 1992 menunjukkan bahwa kabupaten dan kota yang mempunyai kemampuan organisasi dan manajemen tertinggi berjumlah 43 daerah; 67,44 berstatus kota dan hanya 32,56 yang berstatus kabupaten serta 26 diantaranya 60,47 berada di pulau Jawa. Kondisi pada tahun 1992 ini tidak banyak berubah sampai saat ini. Kota dan kabupaten yang mempunyai kemampuan organisasi dan manajemen tinggi masih berada di pulau Jawa. Sedangkan daerah kota atau perkotaan mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat daripada kabupaten. Daerah-daerah kabupaten yang mempunyai pelaksanaan otonomi yang tinggi seperti Balikpapan, Sambas, Sleman, Serang, Sukoharjo, Samarinda, Probolinggo, Bogor dan Bantul adalah kabupaten yang mengalami tranisi yang pesat dari daerah kabupaten rural ke kabupaten urban atau yang berada dalam kondisi ruang isik yang sedang berubah. Secara teoritis, dalam menganalisis suatu kota dan daerah perkotaan dari pendekatan ruang dan ekonorni, teori tentang “desakota” yang dikemukakan oleh Terry McGee --mempunyai tingkat eksplanasi yang 74 cukup baik. Secara spasial dan ekonomis, daerah-daerah yang dikategorikan sebagai “desa kota” ini dicirikan oleh: • Kota besar secara jelas mendominasi perkembangan dae rah sekitarnya • Daerah-daerah tersebut dalam radius “commuting” • Intensitas interaksi yang tinggi antara kegiatan pertanian dan non- pertanian yang tampak dalam penggunaan lahan landzcse seperti industri kerajinan rakyat cottage industry, kawasan industri industrial estate, dan pernba ngunan daerah pinggiran kota suburban development. • Meningkatnya mobilitas penduduk. Konigurasi spasial di negara Asia digambarkan oleh Terry McGee sebagai berikut: Gb. 1.4. Sebuah Hipotesis Konigurasi Spasial di Asia Sumber: Terry McGee, “Metroi’tting the Emerging Mega-Urban Regions of ASEAN. An Overview “, makalah pada International Conference on Managing Mega Urban Regions in ASEAN Countries: Policy Cha llenges and Responses, Asian Institute of Technology, Bangkok, 1992. Dalam sistem spasial terdapat enam komponen, yaitu kota metropolitan, daerah lingkaran atau sekitar kota, desakota, daerah pedesaan yang padat, daerah yang berpenduduk jarang, dan kota-kota kecil. Pertumbuhan kota metropolitan dan de sakota memainkan peranan penting dalam transformasi eko nomi. Dari komponen satu ke 75 komponen lain dihubungkan oleh jalur transportasi, dengan waktu tempuh lebih kurang 3-4 jam. Dari analisis ruang yang memadukan analisis ekonomi dan geograis tersebut diharapkan kita, kan lebih memahami potensi- potensi masalah yang akan dihadapi oleh pemerintah kota atau daerah perkotaan tertentu. Suatu kota yang termasuk dalam kawasan lingkaran kota metropolitan membutuhkan bangunan organisasi dan cara “governing” memerintah yang berbeda dengan kota yang termasuk dalam kawasan “desa kota”. Begitu pula seterusnya, suatu kota yang di- kategorikan sebagai kota metropolitan membutuhkan bangun organi- sasi dan cara governing memerintah yang sangat kompleks. Pendekatan ruang ini dapat digunakan dalam kasus pe menuhan kebutuhan air minum dan pengelolaannya bagi sebuah kota. Sebagai contoh, kebutuhan dan pengelolaan air bersih untuk Jakarta. Suma T. Djajaningrat, Asisten III Menteri Negara Lingkungan Hidup, menyata- kan bahwa pengelolaan air minum di Jakarta tidak boleh dilihat secara parsial menurut kesatuan wilayah administratif, tetapi harus dilaksana- kan secara integral dalam kesatuan ruang daerah aliran sungai WAS. Konsep daerah aliran sungai merupakan pendekatan yang pa ling operasional dalam pengelolaan sumber-sumber air. 27 Kerjasama Ekonomi Regional Kerjasama ekonomi regional telah berdampak pada lanskap per- kotaan di Asia Tenggara setidaknya sejak awal masa-masa kolonial. ASEAN Preferantial Trending Arrangement pada tahun 1997 dan Asean Free Trade Area AFTA, yang didasarkan pada the Common Efective Preferentian Tarif CEPT merupakan instrumen-intrumen ekonomi untuk mempromosikan kerjasama regional. Namun, kerjasama regional tersebut bukan merupakan satu-satunya bentuk yang dipergunakan di Asia Tenggara. Sejak awal 90-an, kerjasama regional berdasarkan pada pemberian fasilitas perdagangan telah menjadi kekuatan dan menjadi sarana untuk tercapainya persatuan regional yang lebih kuat. Pemberian fasilitas perdagangan berdasarkan kerjasama regional terdiri dari 2 unsur utama : 1 Segitiga Pertumbuhan; 2 Koridor Ekonomi. Segitiga pertumbuhan digunakan pertama kali untuk menggambar- kan kerjasama ekonomi sub regional yang melibatkan Singapura, Johor 76 bagian selatan di Malaysia dan Pulau Batam di Indonesia. Segitiga pertumbuhan melengkapi pemanfaatan antara negara-negara yang ber- batasan untuk meningkatkan batas persaingan dalam hal promosi ekspor. Segitiga pertumbuhan berbeda dengan perdagangan bebas yang didasarkan pada kerjasama regional, hal ini karena segitiga pertumbuhan hanya mencakup beberapa wilayah dari suatu negara. Segitiga per- tumbuhan juga tidak memiliki kebijakan yang mengharmoniskan namun memfasilitasi perdagangan dengan menghapus hambatan non tarif, hambatan transportasi, dan ketidak pastian. Segitiga pertumbuhan memasuki masa-masa emas pada tahun 1989-1998. Selama itu pula terbentuklah segitiga-segitiga pertumbuhan yang lain ; 1 Singapura- Johor-Riau SIJORI, 2 segitiga pertumbuhan Indonesia- Malaysia- hailand IMG-GT dan ; 3 Daerah pertumbuhan Asia Tenggara, Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines BIMP-EAGA. Selain dari GMS, SIJORI menjadi segitiga pertumbuhan yang paling sukses saat ini. 2 dampak besar dapat dilihat dari lanskap perkotaan. Pertama, ekspansi ruang industri secara de facto peningkatan kualitas hidup melalui akses ke ruang rekreasi memang tidak berdampak langsung namun juga tidak sedikit pada pertumbuhan dan kemakmuran Singapura. Kedua, lanskap Batam dan Bintan telah berubah menjadi kawasan industri yang luas, sebagamana pusat rekreasi, hal ini telah menarik ribuan pekerja dari berbagai wilayah di Indonesia. Batam menjadi kota pemerintahan otonom pada tahun 1999 dan meningkatkan status zona perdagangan bebas pada tahun 2007. Koridor ekonomi muncul setelah krisis keuangan tahun 1997 yang merusak momentum dari segitiga pertumbuhan. Koridor ekonomi di- arti kan sebagai mekanisme untuk menghubungkan produksi, per- dagangan, dan prasarana dalam suatu wilayah geograis tertentu, dimana terdapat pemikiran ekonomi yang jelas untuk hubungan semacam itu. Koridor ekonomi terdiri dari banyak elemen didalamnya seperti lokasi yang telah teridentiikasi, prasarana isik, termasuk sistem transportasi, aktiitas ekonomi, kebijakan dan institusi-institusi yang dapat membuat kerjasama lintas batas menjadi mungkin. Pentingnya memiliki sumber daya spatial khusus di daerah berpotensi ekonomi tertinggi dan dimana memanfaatkan investasi sektor swasta yang kemungkinan besar akan sukses. Titik-titik atau titik-titik nodal disebut 77 sebagai komponen penting dari koridor ekonomi karena titik-titik tersebut difungsikan sebagai jangkar jalur dan memberikan fokus pada insvestasi. Beberapa bentuk dari titik-titik teridentiikasi: kawasan industri umum, kawasan pengolahan ekspor, kawasan komersial dan rekreasional, dan titik-titik komunikasi multimodal, seperti jalan, rel, udara, dan perhubungan laut. 28 gateway dan Koridor Multimodal Gateway dan koridor multimodal adalah blok bangunan untuk menciptakan ruang ekonomi di Asia yg bersifat kompetitif, dikembang- kan secara eisien, dengan sistem transportasi yang aman dan nyaman yang mendukung keberhasilan daerah dalam perubahan dunia per- dagangan internasional. Pada dasarnya, gateway dan koridor multimodal adalah sistem utama kelautan, jalan, kereta api, dan infrastruktur transportasi udara dari daerah-daerah penting untuk perdagangan internasional yang terletak dalam zona geograis tertentu. Gateway adalah masukan multi- modal atau exit point melalui barang-barang dan penumpang inter- nasional, bergerak melampaui pasar lokal dan regional. Fungsi inter- modal ini untuk mengartikulasikan pengaturan pergerakan orang dan barang melalui gateway. Sedangkan koridor multimodal adalah orientasi linear dari penumpang internasional dan arus angkutan yang meng- hubungkan gateway ke pasar utama. Elemen-elemen kunci gateway dan koridor multimodal adalah: skala dan eisiensi infrastruktur dan kapasitas pelabuhan atau bandara, kapasitas koridor multimodal di daerah perkotaan dan dari gateway ke pasar, rancangan sistem untuk mengurangi biaya dengan menghilangkan langkah-langkah dalam penanganan barang melalui jaringan, dan sistem informasi yang menghubungkan operator gateway dan koridor multimodal. Dengan globalisasi pasar dan munculnya jaringan produksi yang kompleks dan rangkaian pasokan multi-step, gateway dan koridor multimodal men- jadi komponen yang penting dari sistem logistik terpadu yang bertujuan untuk menciptakan tingkat kepuasan tertinggi pelanggan dengan menge lola kegiatan global yang memiliki nilai tambah. Sesuai kerangka kelembagaan yang didukung oleh penyedia layanan, berusaha untuk mengoptimalkan aliran yang eisien dan penyimpanan barang, dan 78 memberi fasilitas pada orang-orang dan pergerakan informasi dalam koridor logistik. Proses redistribusi disini dirancang agar pembangunan tidak terkonsentrasi di kota-kota gateway saja tetapi tersebar sepanjang rute untuk mencakup kota-kota kecil dan daerah pedesaan. Seringkali istilah koridor ekonomi digunakan dimana pintu gerbang, koridor multimodal, dan strategi koridor logistik terintegrasi dalam suatu paket investasi jangka panjang. 29 G.b. 1.5 Gateway dan Multimodal Koridor di Asia Tenggara Sumber: Rimmer, Peter J.; Dick, Howard: Appropriate economic space for transnational infrastructural projects: Gateways, multimodal corridors, and special economic zones, ADBI working paper series, No. 237., 2010, h. 8. 79 Gateway dapat dilihat pada gambar dibawah terdapat tujuh koridor transportasi multimodal yang diidentiikasi oleh Japan External Trade Organization JETRO, 2007 sebagai cerminan kepentingan bisnis Jepang di Daratan Asia Tenggara dan pulau-pulau di Asia Tenggara: Singapura-Bangkok, Bangkok-Hanoi, Bangkok-Yangon, Bangkok-Ho Chi Minh, Hanoi-Hong Kong Guangzhou, Singapura-Jakarta dan Bangkok-Manila. Tiga koridor lainnya yang merupakan kunci untuk memahami tentang ekonomi regional telah ditambahkan: koridor Bangkok-Kunming-Hanoi, Koridor Singapura-Manila, dan Singapura- Hong Kong, koridor Cina. 30 Gb. 1.6 Visi dan Misi Konektivitas ASEAN Sumber: Masterplan AEC 80 Regulasi yang dibuat oleh suatu negara saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari kerjasama regional. Perkembangan globalisasi sekarang ini memaksa regulasi pelayanan publik mengalami transformasi yang cukup signiikan. Regulasi nasional sangat dipengaruhi oleh regulasi internasional yang dihasilkan oleh kesepakatan-kesepakatan regional seperti ASEAN, APEC dan WTO. Asean Economic Community merupakan salah satu contoh. Salah satu kesepakatan adalah mutual recognition arrangements MRAs untuk memfasilitasi free movement of skilled labour, yang mencakup delapan kelompok profesional, yaitu: 1 Engineering Services signed in December 2005; 2 Nursing Services signed in December 2006; 3 Architectural Services signed in November 2007; 4 Framework Arrangement for the Mutual Recognition of Surveying Qualiications signed in November 2007; 5 Tourism Professionals signed in January 2009; 6 Medical Practitioners signed in February 2009; 7 Dental Practitioners signed in February 2009; and 8 MRA Framework on Accountancy Services signed in February 2009. Yang dinamakan sebagai supporting regulatory and non-regulatory regime adalah regulasi nasional dari masing-masing negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk menyesuaikan regulasinya terhadap regulasi ASEAN. Kerangka regulasi nasional pelayanan kesehatan, sebagai contoh, akan dipengaruhi oleh program AEC diatas dalam sepuluh tahun ke depan. Regulasi dapat berupa restriksi hukum oleh otoritas pemerintah dan kewajiban para pihak didalam kerjasama. Pemerintah dapat membatasi pihak swasta di dalam pelayanan publik dengan bentuk-bentuk tertentu, misalnya kualiikasi teknis, tarif, sasaran atau metoda pelayanan. Biasanya regulasi pelayanan publik lebih ditujukan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar Wikipedia Regulasi lain adalah penerapan kebijakan Open Skies ASEAN dimana memiliki implikasi terhadap transportasi udara di Indonesia. Kebijakan ini menjadikan pertumbuhan dan permintaan tanpa kendala akan perjalanan udara internasional di Indonesia diperkiran dapat 81 tumbuh sekitra 6 hingga 10 per tahun, bahkan diperkirakan dapat mencapai 20 per tahun. Gb. 1.7 Kecenderungan untuk Terbang Sebagai Sebuah Fungsi dari PDB per Kapita Sumber : Bank Dunia dalam Michael Fairbanks, “Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh”, Jurnal Infrastruktur Indonesia Edisi 9 Januari 2012 Transportasi udara, adalah sebab sekaligus akibat dari pertumbuhan ekonomi, yang menciptakan “lingkaran kebajikan” virtuous circle dalam pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh peningkatan per- mintaan sehingga menciptakan pertumbuhan lebih besar dan seterus- nya. Industri minyak dan ekstrasi dimana keduanya mengandalkan transportasi udara menjadi salah satu penyumbang yang signiikan bai pertumbuhan ekonomi. Namun hal tersebut hasil diimbangi oleh infrastruktur yang memadai. Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, saat ini sudah terkendala kapasitas, dan akan tetap demikian dalam waktu dekat, Bandara lain di Indonesia serta infrastruktur pengendalian lalu lintas udara juga akan memerlukan peningkatan upgrading untuk dapat memenuhi permintaan yang diproyeksikan, serta sistem ke- lembagaan dan peraturan dikembangkan sejalan dengan infrastruktur. 31 82 Gb. 1.8 Lingkaran Kebajikan Virtuous Circle Transportasi Udara Sumber: Michael Fairbanks, “Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh”, Jurnal Infrastruktur Indonesia Edisi 9 Januari 2012 Catatan: 1. B hahjati S. dan Imron Bulkin, `ArahanKebijaksanaan TataRuangNasio nal “, dalam Prisma, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1994, h. 32. 2. Ronald L. Iirannich, “Goherning Urban hailand. Copying with Policies andAdministrati2~ePolitics”, dalam UrbarzsAfairsQuartely, No. 3, March 1982, h. 323. 3. Richard Beatley, ‘Political Control of Urban Planning and Management’, dalam Nick Devas dan Carole Rakodi peny., Managing Fast Growing Cities, Longman Scientiic Technical, London, 1994, h 188. 4. T.N. Clark peny., Community Power and Policy Output: A Review of Urban Research, Beverly Hill, London, 1973 5. A. Morgan, Area and Pozuer A heory ofLocal Government, Gower Publi shing Company Ltd., Vermont, 1979. 6. Jurgen Ruland peny. , Urban Gouernmentand Development in Asia, Mun chen, Welforum Verlag, 1988, h 12-40. 7. H.F. Alderfer, Local Government in Developing Countries, Glencoe, New York, 1964. 8. Gunnar Myrdal, Asian Drama. An Inquiry into Poverty of Nations, Vol. 1, Panteon, New York, 1977. 83 9. Secara lebih utuh mengenai masyarakat prismatik lihat F.W Rigg, Adminis- tration in Developing Countries, he heorl, of Prtsmatic Society, Hughton Miin Company, Boston, 1964. 10. Ibid. 11. Ibid. 12. Lihat studi yang dilakukan oleh Kwee Ng, “Community Centres and Local leaders in Singapore”, Communitv Development, Jourrnal, Vol 14. No G 1969, h 99-105; M.C. Logsdon, “Uerghbourhood Organization in Jakarta dalam Indonesia, No. 18, 1974, h. 53-70; Aquino B.A., Politics in New So ciety: Barangraj, Democracy, makalah disampaikan pada he,4rzrzztal :14eeting of the Association of.4siarz Studies, New York City, March 25-2 19-7; Ruland, Political Change, Urban Service and Social .Llavernent. Po litical Participation and Grass- Roots Politics in Metro :Vlantla, Public Administration ar-zdDevelopment, No. 4, Vol. 4, 1984, h. 335-334; dan F Casalmo, he Vision of a New Societv, Manila, 1980. 13. Gabriel A. Almond, AFZZnctional Approach to Comparative Politacs dalam Gabriel A. Almond dan James S. Coleman, peny., he Politics of the De- zvloping Areas, N.J., Princeton University Press, Princeton, 1960, h. 3-64; Almond dan G. Bingham Powell, Jr., Comparatizv Politics: A Development Approach, Little Brown Co., Boston and Toronto, 1966. 14. David Easton, he Political Svstem: An Inquiry into the State of Political Science. Alfred A. Knopf, New York, 1953; A FrarrzeWork for Political ArzalVSis, , N.J. Prentice-Hall, In., Englewood Clif, 1965. 15. Lihat hasil-hasil studi dari seperti Peterson, City Limits, Chicago, Chicago University Press, 1981. 16. Michael Keating, Comparative Urban Politics: Power adn the City in the United States, Canada, Britain adn France, Edward Elga, Britain, 1991. 17. Pada bagian ini banyak diatnbil dari tulisan penulis sendiri, Achrnad Nur mandi, Kota dalam Perspektif Ekononmi Politik dan Reorientasi Organisasit Pemerintah Kota, dalam Strategi, No. l, Tahun II, 1993. 18. UmarJuoro, Demokrasi dan Sistem Ekononmi, dalam “Prisma, No. ” Tahun YIX,1990. 19. Fu-chen Ho peny., Rural Urban Relation arzd Regional Development, Nagoya. Japan, UNCRD, 1987. 20. Terry Mc Gee, Aletroitting the Emerging .L1ega-Urban Regions q1 Asean. An Overz~ezo, makalah disampaikan pa-da International Conference on. ttanagirzgAlega Urban Regions inASEANCotzntries. Policy Challangesand Responses, Asian Institue of Technology, Bangkok, 1992, h. 18-20. 21. Kenichi Ohmae, `he End of :Vation State”, makalah pada CSIS ForYrrrz. Jakarta, 1995. 22. Alin Toler, he Global paradox, he Free Press, New York, 1980 23. Bish dan Ostrom, Governmental Organizations: Cases and Comentary, Bobbs- Merrill, Indianapolis, 1979, h. 103. 24. Lihat Perda Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta No 5 tahun 1989. 25. Bish dan Ostrom, op. cit., h. 78. 84 26. Uraian lebih lengkap lihat Carl Balone, dkk., Toward Environmental Strategies for Cities, Policy Considerations for Urban Environmental Management in Developing Countries, UPM Programme, World Bank, 1988, h. 2-3. 27. Kompas, 27 Juli 1992. 28. hant, Myo. “Regional Cooperation and the Changing Urban Landscape of Southeast Asia”, In : Urbanisation in Southeast Asia Countries: Issues and Impacts, Edited by Yap Kioe Sheng and Moe huzar. h. 157-160. 29. Rimmer, Peter J.; Dick, Howard : Appropriate economic space for transnational infrastructural projects: Gateways, multimodal corridors, and special economic zones, ADBI working paper series, No. 237., 2010, h. 7. 30. Ibid., h.6. 31. Michael Fairbanks, “Lalu Lintas Bertumbuh, Kebutuhan Bertumbuh”, Jurnal Infrastruktur Indonesia Edisi 9 Januari 2012 85 bAb 3 ORgANisAsi PEMERiNTAhAN KOTA dAN PEMERiNTAh METROPOliTAN

A. Pendahuluan