111
dan penanganan kaum miskin perkotaan. Terdapat kecenderungan bahwa masalah-masalah kemasyarakatan yang riil justeru ditangani
secara koordinatif antarinstansi, yang pada kenyataannnya sering tidak dapat menyelesaikan masalah.
Keleluasaan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata menyebabkan terjadi penggemukan jumlah dinas
dan lembaga di hampir seluruh daerah. Pemerintah lebih lanjut mengeluarkan regulasi baru yang mengatur jumlah dinas, badan dan
kantor dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah dinas, badan dan
kantor, termasuk di kota-kota.
2. Kawasan Perkotaan
Pengaturan kawasan perkotaan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak ada perubahan dari bunyi pasal 90 UU No. 22 Tahun
1999 ditentukan lebih lanjut bahwa selain Kawasan Perkotaan yang berstatus Daerah Kota ditetapkan pula Kawasan Perkotaan yang terdiri
atas:
a. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian Daerah Kabupaten. b. Kawasan Perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan
yang mengubah Kawasan Pedesaan menjadi Kawasan Perkotaan; dan
c. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan
isik perkotaan. Pada pasal selanjutnya Pemerintah Kota danatau Pemerintah
Kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola Kawasan Perkotaan. Kawasan
Perkotaan ini pembangunan dan penyelenggaraannya melibatkan peran serta masyarakat dan swasta dan pengelolaannya diatur dengan
peraturan daerah. Kerjasama yang lazim dilakukan di Indonesia dalah kerjasama antara dua daerah seperti yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam tiga bidang yaitu pengolahan sampah, air bersih dan pengolahan limbah
112
atau Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dalam bidang pengolahan sampah.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 terutama pasal 90 dan 91 lebih banyak menganut perubahan inkremental bertahap yaitu pada
opsi kontrak dan kerjasama antar kota. Dalam sejarah daerah otonom perkotaan belum pernah terjadi penggabungan satu kota dengan kota
yang lainnya atau pembubaran suatu kota tertentu karena tidak layak secara ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendirian
daerah otonom di Indonesia yang lebih banyak didadsarkan pada alasan etno-politis. Sebagian besar daerah otonom di Indonesia baik provinsi
maupun kabupaten lebih didasarkan pada entitas etnis atau suku bangsa tertentu. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit untuk melakukan
perubahan moderat atau perubahan drastis sebagaimana yang dikatakan oleh T.M. Scoot di belakang.
Selanjutnya pada tahun 2007 secara khusus diterbitkan Undang- undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibukota dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pola Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Berdasarkan pada peraturan ini, maka selain gubernur dan wakil gubernur, dikenal juga jabatan deputi gubernur, yang secara lengkap
susunan organisasi sebagai berikut
Elemen Satuan Kerja Perangkat Daerah
Strategic Apex Gub Wagub dengan Deputi + DPRD
Middle Line plus Support Staf
Sekda plus Asisten Sekda 4 dan Biro-biro plus minus 10 Techostructure
Inspektorat s.d eselon III + Insp Pembantu Bappeda s.d eselon III + Kantor
Badan 8 + Kantor RSUD 5RSKD 1
Satpol PP Lembaga Lain
Operating Core Dinas 15 Sudin
Kewilayahan Kota Admin 5 Kab Admin 1
Mengikuti susunan Setda Kecamatan 44 5 Seksi Kelurahan 267 5 Seksi
Peninjauan dan penyesuaian jumlah dan susunan Sudin dan Kantor; UPT DinasBadan serta Sektor di Kecamatan
Kelurahan
113
4. susunan Pemerintahan di wilayah Jabodetabekjur dalam keruangan