263
karena bagaimanapun, tujuan penataan ruang adalah untuk masyarakat, sehingga sudah seha rusnya bila masyarakat juga dilibatkan di dalamnya.
UU No. 32 tahun 2004 telah mengubah pemerintahan yang sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi, dan hal ini turut mem-
pengaruhi kebijakan pengelolaan terkait dengan penetaan ruang. UU No. 26 Tahun 2007 akhirnya muncul untuk dapat pada masa otonomi
daerah menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 yang sudah tidak sesuai lagi dengan saat ini. Rencana Tata Ruang berdasarkan pada UU No.26
Tahun 2007 Pasal 7 memberikan kewenangan penyelenggaraan pe- nataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah, hal ini me-
nanda kan pemerintah daerah memiliki andil untuk dapat melakukan pentaan ruang. Dalam pasal 14 ayat 2 juga disebutkan jika dalam
pentaan ruang disusun secara hirarki baik mulai dari rencana tata ruang wilayah nasional, provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota.
Berbeda dengan UU sebelumnnya, dalam UU. No 26 tahun 2007 ini pada pasal 35 dijelaskan pula mengenai penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian intensif dan disintensif, serta adanya pengenaan sanksi.
Pada tahun 2010, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam Peraturan ini masya- rakat menjadi partisipasi aktif dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta hak dan kewajiban masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
E. Penggunaan lahan di indonesia
Proses menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam pe rencanaan dan pelaksanaan kota bukanlah hal yang mudah. Pelaksanaan rencana tata
ruang yang konsekuen berarti suatu usaha yang optimal untuk me- nyeimbangkan kepentingan dari berbagai kelompok atau golongan
yang ada di masyarakat kota dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas: air, tanah, udara, dan ruang. Pemahamam ini menarik untuk
dicer mati apabila kita melihat dari peristiwa selama tahun 1996 tam- pak jelas bahwa rencana tata ruang wilayah atau daerah sering kali hanya
merupakan dokumen penghias lemari kantor Kepala Daerah atau
264
Bappeda, karena golongan masyarakat yang mam pu atau mempunyai akses ke pengambil keputusan berusaha memanfaatkan ruang sesuai
dengan kepentingannya, dan se baliknya melanggar rencana tata ruang yang ada. Dalam kenya taannya, pelaksanaan suatu kawasan sangat
bermuatan eko nomis-politis dari berbagai macam pihak yang meng- inginkan sumber daya lahan yang terbatas jumlahnya.
Manajemen perizinan yang pada hakekatnya merupakan mekanis- me kontrol dan sarana untuk membela kepentingan umum, sering
hanya jaringan formalitas saja. Izin prinsip, izin lokasi, dan izin men- dirikan bangunan IMB dapat dijadikan semacam mekanisme kontrol
yang harus mengacu pada atau menjadi instrumen rencana tata ruang yang ada. Namun sering kali yang terjadi di lapangan, suatu kawasan
hutan lindung atau daerah resapan air telah berubah fungsi menjadi pemu kiman elite atau lapangan golf. Izin prinsip dan ijin lokasi se-
ringkali diberikan dengan tidak mengacu kepada rencana yang ada. Sebagai contoh, kita dapat lihat dari data komulatif tentang proses
perubahan fungsi lahan pada tahun 1980-an yang di himpun oleh Tommy Firman berikut ini.
Tabel 6.2. Lokasi dan Pemberian Izin Prinsip dan Izin Lokasi di Kawasan
Jabotabek Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah 1980-1989
KAB. SESUAI DENGAN RENCANA TATA RUANG
TIDAK SESUAI DENGAN RENCANA TATA RUANG Kebutuhan
Dalam Proses Dibebaskan
Sub-Total Kebutuhan
Dalam Proses Sub-Total
Dibebaskan Total
Lok Luas Lok Luas
Lok Luas
Lok Luas Lok
Luas Lok Luas
Luas Kota
Bogor P
NP T
3 3
00.00 4.03
4.03 2
3 5
16.48 8.53
25.01 2
6 8
16.48 8.53
25.01 1
3 4
3.00 15.21
18.21 2
2 0.00
22.03 22.03
1 5
6 3.00
37.24 40.24
19.48 45.77
85.25 Bogor
P NP
T 35
10 54
485.05 46.19
531.24 36
39 75
1363.05 588.29
1071.34 71
50 129
1868.10 634.45
2502.58 26
47 73
299.72 566.71
868.43 40
165 205
13119.25 1220.80
2539.43 66
212 276
1818.97 1788.89
3407.86 3487.07
2423.37 5810.44
Tangerang P NP
T 52
104 156
3261.01 169.81
3400.82 56
15 71
1080.19 133.63
10038.04 106
119 227
1465.20 303.66
14368.66 46
151 197
7237.25 712.14
7949.39 65
86 151
5811.41 83.91
5895.33 111
237 348
13048.68 790.05
13844.72 2711.86
1093.72 28219.58
Bekasi P
NP T
11 2
13 232.50
75.00 507.50
45 7
52 1251.44
355.60 1007.24
56 9
65 1483.94
430.50 1014.74
11 9
20 399.63
55.02 454.65
57 113
170 835.82
1153.17 1988.98
68 122
190 1235.45
1208.19 2443.64
2719.39 1638.99
4358.36 Jabotabek P
NP T
55 126
226 3976.56
295.00 4297.56
139 54
253 13455.15
1062.44 4537.60
237 192
429 17433.72
1277.47 18711.19
84 210
294 7939.60
1351.08 9290.68
162 366
328 7966.48
2479.30 10445.78
245 575
822 15906.08
3830.38 19736.45
33339.60 5207.09
38547.05
Sumber: Tommy Firman dan Ida Ayu Indra Dharmapatni, Mega-Urban Regions in Indonesia; he Case of Jabotabek and Bandung Metropolitan. Makalah
265 disampaikan pada International Conference on Managing he Mega-
Urban Regions of ASEAN Countries Policy Challenges and Responses, Asean Institute Technology of Bangkok, 30 Nov - 3 Dec 1992.
Ket: P Perumahan NP Non Perumahan T Total
Dari data yang terekam selama sembilan tahun 1980 -1989 di atas nampak jelas bahwa Iuas lahan yang dibebaskan di wilayah
Jabotabek untuk proyek perumahan dan industri atau pelayanan lain- nya lebih banyak tidak sesuai dengan ren cana tata ruang dari masing-
masing daerah, atau lahan yang berubah fungsinya sesuai dengan rencana lebih luas daripada yang sesuai dengan rencana. Kalau diamati
dari musibah banjir misalnya, data pada tahun 1980-an yang lalu dapat menjadi potret untuk menelaah penyebab banjir yang menimpa kota-
kota besar pada tahun 1996 yang lalu. Secara keseluruhan luas lahan di wilayah Jabotabek yang berubah fungsinya sesuai dengan rencana tata
ruang adalah 18.711,19 hektar 48,54 dibandingkan dengan luas lahan yang tidak sesuai dengan rencana, yakni 19.736,45 hektar
51,46. Dengan kata lain, lebih kurang separuh dari luas lahan atau proyek perubahan fungsi lahan di wilayah Jabotabek yang dilakukan
melalui proses formal perizinan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Data ini belum termasuk perubahan fungsi lahan
informal, yang dilakukan oleh masyarakat tanpa melalui proses perizinan.
Sebuah proyek yang harus dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Amdal pun masih menjadi pertanya-
an. Secara riil terlihat praktek pelaksanaan Amdal di Indonesia selama ini adalah, rumitnya proses dan mekanisme prosedural, lamanya
tenggang waktu pembuatan, dan banyaknya dokumen Amdal yang iktif. Masalah ini dapat dibuktikan dengan munculnya kenyataan
kolusi antara tim teknis dengan konsultan, anggota komisi dengan pemrakarsa, konsultan dengan anggota masyarakat, konsultan dengan
tim teknis, konsultan dengan tim teknis, dan komisi dengan tim teknis. Akibatnya, proses pengambilan keputusan yang memakai mekanisme
voting serta persidangan tidak memenuhi harapan. Selanjutnya, Amdal iktif pun keluar. Izin prinsip diberikan tanpa adanya rekomendasi
sidang, atau malah perizinan sudah keluar sementara studi Amdal
266
sedang berjalan. Keterbukaan dokumen Amdal bagi masyarakat tidak berjalan sesuai harapan, dan bahkan masyarakat yang terkena dam-
paknya secara langsung tidak mengetahui adanya suatu proyek.
Aspek ketiga dalam pelaksanaan rencana tata ruang ada lah yang menyangkut kesadaran para pengambil kebijakan di kota-kota besar
Indonesia tentang kesatuan wilayah. Selama ini sering terjadi tindakan yang fragmentatif dari pejabat yang berwenang dalam penataan ruang,
sikap egoistis kewi layahan, yang pada gilirannya akan membawa dampak ling kungan yang serius. Banjir atau polusi udara atau pen-
cemaran air yang tidak mengenal batas wilayah administratif. Dari pernyataan -pernyataan beberapa pejabat masih nampak sikap egois
kewila yahan ini, sehingga menyulitkan dalam kesatuan tindakan.
Mekanisme pasar yang mendorong perubahan fungsi lahan dengan cepat. Dikabuapten Sleman, Nugoro 2012 menemukan bahwa peng-
gunaan lahan pada tahun 2006 hingga 2008 dilakukan dengan meng- konversi luas tanah seluas 2359998m
2
atau 1,42 dari jumlah luas keseluruhan permukiman yang ada di Kabupaten Sleman seluas
166,330,758.99 m
2
. Dengan demikian maka pertumbuhan luas lahan yang terkonversi sebesar 1,42 per 3 tahun atau rata-rata 0,47 per-
tahun. Namun rata-rata pertumbuhan lahan terbangun tersebut baru rata berdasarkan pada izin yang ada di DPPD. Sedangkan berdasarkan
data yang terdapat pada podes DIY, luas alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Sleman baik yang tidak berizin maupun yang berizin
mencapai 550,05 Ha Luas ini didapat dari luas permukiman 2008 dikurang luas permukiman 2006 yaitu; 16.633,08 Ha - 16.082,58 Ha
= 550,05 Ha.
267
Catatan:
1. John. R. Minnery, Conlict Management in Urban Planning, Gower Pu blishing Company Ltd., Vermont, 1986, h. xvi.
2. Kiegon, dalam Minnery, ibid., h 53. 3. A. Faludi, Planning heor-v, Pergamon, Oxford, 1973 4. Nlinnery, op cit., h. 42
4. Bambang Sunaryo, Diktat Kt.tliab Pembangzanan Perkotaan. Jurusan Administrasi Negara-Fisipol LGM, Yogyakarta, 1990.
5. G. Mohammad Ilhami, Kebijakan Publik, Rajawali Press, Jakarta, 1990. 7 Pikiran-pikiran Margareth Mead mengenai hal ini dapat dibaca dalam Herlianto,
Sosiologi Perkotaan, PT Alumni, Bandung, 1986. 6. Budi Tjahjati S. dan Imron Bulkin. “Arahan Kebijaksanaan Tata Ruang
Nasional”, Prisma, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1994. 7. Ibid
8. F Stuact Chapin dan Edward Kaiser, Urban Land UsePlanning, Edisi Ketiga, Pergamon Press, London, 1979, h. 28-35.
9. Ibid. 10. Ibid., h. 47.
11. Ramlan Surbakti, °Kebijakan Tata Ruang Perkotaan: Siapa Membuat dan Menguntungkan Siapa?”, Pr-isrna, No. 7, LP3ES, Jakarta, 1994, h. 50.
12. Ibid., h. 5 1. 13. Lihat John L. Taylor dan David G William, Urban Planning Practice in
Developing Countries, he Free Press, New York, 1982, h. 4-28. 14. Richard Batley, “Political Control of Urban Planning and Management”, dalam
Nick Devas dan Racole Rakodi, .1lartaging Fas Growing Cities, Longman Scientiic Technical, London, 1994, h. 177.
15. Cullingworth, 1973, dalam Batley, ibid. 16. Sudjana Rochyat, Perencanaan Kota di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1995.
17. Soedjono, Pentndang-Undangan Tata Pemerintahan di Indonesia, Andi Ofset, Yogyakarta, 1978.
18. Proyek Merapi View merupakan proyek perumahan mewah dengan harga sekitar 250 juta rupiah ke atas dan dilengkapi dengan sarana bermain dan kolam
renang. Pada waktu pimpinan proyek ini meminta izin prinsip, 19. Bupati Sleman cukup diposisikan pada kondisi yang tidak mengenakkan, karena
kalau tidak memberi izin sulit atau kalau memberikan izin akan membahayakan kepentingan masyarakat di masa yang akan datang Proyek ini memberikan
preseden yang tidak baik bagi Pemerintah Daerah, karena akan banyak pengembang yang sedang dan akan meminta ijin prinsip dan lokasi untuk
Kecamatan Ngaglik.
20. John Taylor dan David G. William, Urban Planning Practice in Developing Countries, John Wiley Press, London, 1982, h. 26-27.
21. Mike Douglas, “he Environmental Sustainabiliry of Development, Coordination, Incentives and Political Will in Land-Use Planning for the jakarta
Metropolis”, hird World Planning Review, No. 11, 1989 22. Maskun, op. cit.
268
269
bAb 7
PElAyANAN PubliK PERKOTAAN
A. Pendahuluan