248
penentuan fungsi tanah dan juga air di perkotaan. Dengan demikian, kepentingan sebanyak mungkin pihak tertampung dan rencana tata
ruang yang ditetapkan juga akan lebih baik.
13
Ramlan Sur bakti mengata kan bahwa setidak-tidaknya output tata ruarig yang demokratik
meliputi tiga hal. Pertama, distribusi barang dan jasa yang menyangkut kebutuhan utama necessities, se perti perumahan, pekerjaan, dan
fasilitas pendidikan dan ke sehatan yang merata kepada semua warga kota. Kedua, proses pembebasan tanah tidak hanya harus transparan
dan melibat kan pihak yang independen, tetapi juga harus dapat meng- angkat derajat hidup pemilik tanah menjadi lebih baik. Ketiga,
penyediaan ruang publik public space yang memadai, baik untuk anak-anak dan remaja maupun bagi orang dewasa.
14
Adanya partisipasi politik para warga kota dalam penyu sunan rencana kota akan membawa dampak positif terhadap output yang akan
dihasilkan. Warga kota harus mengetahui wawasan masa depan kota yang mereka tempati, yang dapat memenuhi kebutuhan material dan
non-materialnya. Semua golongan masyarakat perlu dilibatkan se- demikian rupa dalam proses ini. Segregasi sosial dalam pemanfaatan
lahan harus dihindari. Integrasi sosial perlu dilakukan sedemikian rupa, dimulai dengan alokasi lahan yang relatif merata kepada semua
golongan masyarakat, baik berdasarkan etnik maupun berdasarkan strata ekonomi.
Ekslusivisme beberapa pemukiman di kawasan Jabotabek yang hanya dihuni oleh golongan minoritas Cina menunjukkan adanya
ketidak beresan dalam perencanaan dan pemanfaatan lahan. Walaupun proyek perumahan tersebut dibangun oleh perusahaan swasta, namun
pemerintah kota dapat mengatur sedemikian rupa bahwa pemanfaatan ruang harus diintegrasi kan ke dalam perencanaan sosial
c. faktor-faktor yang Mempengaruhi Perencanaan, Kota di Negara berkembang
Prinsip-prinsip perencanaan Iahan di atas merupakan prinsip ideal yang seharusnya dapat diterapkan dalam pe rencanaan dan pelaksanakan
rencana kota. Namun, dalam ke nyataannya banyak kota-kota di negara- negara yang sedang berkembang tidak dapat melaksanakan rencana tata
249
ruang yang telah disusun dengan baik. John L Taylor dan David G. William menyebutkan faktor-faktor yang harus dipertimbang kan
dalam merencanakan kota di negara yang sedang berkem bang sebagai “generating factors” atau faktor-faktor penyebab. Generating factors
dibedakan menjadi enam kategori, yaitu: demograi, ekonomi, politik, sosial, lingkungan, dan teknologi.
15
Faktor demograi bersumber pada urbanisasi yang ber langsung di negara-negara yang sedang berkembang, yang didorong baik oleh
faktor pendorong maupun faktor penarik. Kota-kota menjadi tempat impian bagi kaum migran yang da tang dari desa untuk mencari
pekerjaan dan peluang usaha. Sebaliknya, sektor pertanian yang men- jadi tumpuan penduduk desa semakin tidak menarik karena tidak
memberikan nilai tukar yang menarik. Term of trade produk pertanian semakin merosot dibandingkan dengan produk non-pertanian.
Faktor demograi di atas berkaitan dengan dualisme eko nomi antara kota dan desa yang masih dirasakan di negara yang sedang
berkembang, sebagaimana dijelaskan dalam pen dekatan ekonomi dalam Bab 2 sebelumnya. Sektor perkotaan merupakan sektor modern,
sementara sektor pedesaan meru pakan sektor tradisional. Sebaliknya, di daerah perkotaan ber kembang pula sektor tradisional, yaitu sektor
informal, sebagai penampung anggota masyarakat kota yang tersisih dari sektor formal-modern. Pedagang asongan, penjual bakso dan
peker jaan sejenis merupakan peluang-peluang usaha yang digeluti oleh masyarakat kota yang marjinal dan tidak mampu untuk memasuki
sektor formal-modern.
Perencanaan kota sendiri bukanlah merupakan suatu ke giatan yang berdiri sendiri, namun berkaitan dengan unit-unit politik yang ada
dalam pemerintahan kota, kelompok kepen tingan, partai politik, kelompok penekan, masyarakat, LSM, dan sebagainya. Dalam kerangka
ini, manajemen dan perenca naan kota dipandang sebagai proses politik, dalam arti ia tidak hanya menghasilkan outcomes saja - di mana sebagian
ke lompok masyarakat ada yang menang dan sebagian menjadi pihak yang kalah. Dalam kerangka ini, perencanaan kota pada hakekatnya
merupakan konsiliasi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, di mana politisi dan administrator sebe narnya hanya membuat semacam
political judgement. “Cullingworth’’ menyatakan bahwa:
250
“Planning should be conceived, therefore, not as the identiication of problem and their resolution, but as a process of balancing conlicting
claims on scares resources, of deciding who is to beneit and who is to bear the costs of planning decisions, and of achieving compromises
between conlicting interests”
Perencanaan seharusnya tidak dikonsepsikan sebagai identiikasi masalah dan pemecahannya, tetapi sebagai proses penyeimbangan
klaim terhadap sumber daya yang terbatas, yang memutuskan siapa memperoleh keuntungan dan siapa yang membayar biaya untuk
keputusan dalam perencanaan, dan pencapaian kompromi antar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.
Dari pemahaman di atas jelas bahwa perencanaan lebih digambarkan sebagai proses penyeimbangan kepentingan dari berbagai kelompok
atau golongan yang ada di masyarakat kota dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Sum ber daya yang terbatas tersebut adalah
air, tanah, udara, dan ruang. Pemahaman ini menarik untuk dicermati bila kita me lihat perencanaan ruang kota-kota di Indonesia. Rencana
Umum Tata Ruang Kota RUTRK seringkali tidak dapat dilak sanakan secara eisien di lapangan, karena golongan masyara kat yang mampu
atau mempunyai akses ke pengambilan ke putusan decission maker berusaha sedemikian rupa untuk memanfaatkan ruang sesuai dengan
kepentingan mereka. Penggusuran tanah-tanah rakyat di sekitar pinggiran kota untuk pembangunan perumahan atau pertokoan di
kota-kota besar Indonesia merupakan contoh nyata dari hal tersebut.
Kawasan Puncak di Cianjur sesuai dengan Keputusan Pre siden Nomor 53 Tahun 1989 yang mengatur pengendalian pem bangunan
isik di kawasan Puncak, sampai saat ini, keputusan ini seperti macan ompong yang tidak mampu me nahan lajunya pembangunan kawasan
Puncak yang dilakukan oleh pihak swasta. Konversi lahan pertanian menjadi peru mahan mewah atau hotel berbintang merupakan gejala
alamiah yang cepat terjadi dimana pemerintah tidak mampu mena- hannya. Di lain pihak, Keputusan Presiden tersebut dimak sudkan
untuk melindungi kawasan Puncak sebagai kawasan peresapan air reservasi untuk kebutuhan air bersih di DKI Jakarta.
Secara skematis John R. Minnery menggambarkan ba gaimana dimensi politis sangat berpengaruh dalam peren canaan kota, di mana
251
kepentingan banyak pihak harus terako modasi dalam pelaksanaan rencana ataupun pembuatan ren cana itu sendiri, seperti tampak pada
gambar berikut ini.
Gb. 6.1. Empat Peranan yang Dijalankan oleh Perencana Kota
Melihat empat peranan yang secara alamiah dimainkan oleh perencana kota di atas, kita dapat melihat bahwa peran politis sangat
mempengaruhi dan mengatasi peran teknis, spe sialis, dan birokratis. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Pem da Kaota Bekasi harus
mengubah RUTRW-nya sebanyak dua kali, karena adanya tekanan dari Pemda DKI Jakarta. Te kanan ini sudah tentu sangat bersifat politis,
di mana peng ambilan kebijakan di DKI Jakarta mempunyai otoritas di atas Pemda Kota Bekasi, sehingga dengan demikian dapat memaksakan
kepentingannya kepada Pemda Kota Bekasi. Dalam posisi seperti ini, semua analisis teknis yang berkaitan dengan rawannya banjir sebagai
akibat pembangunan peru mahan secara besar-besaran untuk me- nampung kebutuhan rumah penduduk DKI Jakarta, menjadi per-
timbangan yang rendah dalam perencanaan penggunaan lahan. Peristiwa ban jirnya sebagian besar perumahan yang terjadi di musim
peng hujan di Bekasi pada awal tahun 1996 lalu merupakan indikator signiikan bahwa semakin luas lahan peresapan air yang ter tutup.
252
Posisi perencana kota di Bappeda Pemda Kota Bekasi sudah tentu tidak dapat berbuat banyak jika pada tekanan politis yang dilakukan
oleh pengusaha-pengusaha yang ber kolusi dengan pejabat di pemerintah pusat di Jakarta. Sinyale men yang dikemukakan oleh Cullingworth di
atas nampaknya mempunyai validitas yang tinggi jika kita lihat di lapangan.
Sedangkan masalah sosial yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana tata ruang kota sangat bervariasi,
seperti pemukiman kumuh dan masalah -masalah sosial ikutannya. Akibatnya, lingkungan pemukiman yang tidak kondusif sebagai sarana
pendidikan bagi generasi muda tersebut berkorelasi erat dengan penyalah gunaan obat dan tingginya angka kriminalitas.
Dari berbagai masalah yang termasuk dalam “generating factors” di atas, telah memberikan ide segar bagi perencana kota di negara-negara
yang sedang berkembang bahwa perlu nya pergeseran dari paradigma tradisional ke paradigma yang baru. Paradigma baru tersebut bersumber
pada dua pertanyaan pokok, yaitu:
• Ruang lingkup perencanaan. Perencanaan harus menca kup semua segi kehidupan masyarakat kota, yaitu sosial, ekonomi, politik,
ruang, dan lingkungan, dengan menya dari bahwa masalah yang dihadapi sangat kompleks.
• Metodologi perencanaan. Bagaimana rencana harus difor mulasikan agar dapat menampung semua isu yang ada.
Paradigma perencanaan tradisional yang mempunyai karakteristik: penekanan pada rencana jangka panjang, di mana rencana lebih me-
rupakan produk daripada proses; penekanan pada rencana isik, kualitas strategis yang rendah dan tidak adanya keterkaitan dengan pengguna;
ternyata tidak dapat memecahkan masalah perkotaan secara mendasar. Sebuah rencana kota biasanya hanya terbatas pada rencana tata guna
lahan dan infrastruktur isik lainnya dalam rencana detailnya, namun kurang menyentuh pada proyeksi ekonomi dan elemen sosial yang
terkait dengan rencana isik tersebut. Sebaliknya, paradigma baru harus mempunyai karakteristik, seperti lebih berorientasi pada jangka pendek,
penggunaan anggaran, dan peralihan dari rencana isik semata. Dalam
253
praktek pembuatan rencana kota, masyarakat kota sebagai pengguna user harus lebih dilibatkan.
Dengan demikian, kriteria untuk mengukur keberhasilan rencana kota di negara yang sedang berkembang lebih kom pleks daripada di
negara industri maju. Rencana harus mengacu kepada nilai-nilai dasar value-basis of responsive planning and development, yaitu:
Nilai Dasar Fisik Spiritual
Primer Sekunder
Harga Diri Kebebasan
Komponen Makanan dan Minuman Kesehatan
Rumah Pendidikan
Komunikasi Infrastruktur
Barang dan Pelayanan
Keamanan Identitas
Keadilan Kehormatan
Pilihan Partisipasi
Kekuasaan Tanggungjawab
Interaksi antara lingkungan dengan manusia Gb. 6.2. Kebutuhan Dasar Manusia sebagai Acuan Evaluasi Rencana dan Program
Kota Sumber: John W. Taylor and David G. William, Urban Planning Practice in
Developing Countries, he Free Press, New York, 1982, h. 51.
Berdasarkan kriteria di atas, kegiatan perencanaan kota harus mengacu kepada realisasi nilai-nilai dasar. Distribusi pe layanan publik
perkotaan, sebagai contoh, terlebih dahulu ha ruslah menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
• Berapa persenkah penduduk kota yang terjangkau pe layanan publik tertentu?
• Apakah pelayanan tersebut dibutuhkan oleh penduduk miskin? Kalau dibutuhkan, berapa volumenya, berapa har ga yang dapat
dibayar dan di manakah lokasi yang layak? • Apakah program dapat meretribusikan kepemilikan ke pada kaum
miskin?
d. Perencanaan Kota di indonesia