47
lebih mengacu kepada masa lah manajemen kota. Terdapat beberapa pendekatan dan va rian dalam studi tentang pemerintahan kota, seperti
pende katan siapa yang memerintah, di mana, kapan dan apa pengaruh- nya.
4
Atau pendekatan bagaimana meningkatkan ei siensi, efektivitas, reponsivitas, dan keadilan atau persamaan dalam pemerintah.
5
b. Pendekatan-Pendekatan dalam studi Pemerintahan Kota
1. Pendekatan ilmu Politik
Jurgen Ruland melakukan kategorisasi dengan enam pen dekatan besar dalam mempelajari pemerintahan kota: pen dekatan legal-
kelembagaan legal institutional approach, pen dekatan normatif normative approach, pendekatan model sirkular kausasion model of
the circular causation, pende katan kekuasaan masyarakat community power approach, pendekatan sistem terpenetrasi penetrated system
approach, dan pendekatan perbandingan comparative approach.
6
Pendekatan legal kelembagaan lebih membahas pemerin tahan kota dari peraturan-peraturan kelembagaan, fungsi-fung si yang dilaksanakan,
kekuasaan atau urusan yang dimiliki, ukuran optimal pemerintah kota, otonomi, keuangan, manaje men personalia, dan aspek-aspek prosedural.
Alderfer’ secara eksklusif memfokuskan studinya pada “bentuk” dan “struktur” dengan menggunakan pendekatan ini. Sedangkan studi-
studi dengan topik yang sama di Asia Tenggara lebih memperde batkan isu desentralisasi yang dipengaruhi oleh perspektif de mokrasi,
liberalisasi, dan paham kemajemukan Barat. Pende katan ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori modernisasi yang memfokuskan
pada reformasi kelembagaan pemerin tahan. Sebagai contoh, studi yang dilakukan di Filipina lebih memfokuskan pada otonomi, manajemen
personalia, peren canaan kota, kinerja pemerintah kota dalam berbagai pembe rian pelayanan publik, dan sejenisnya. hailand, di bawah
National Institute of Developmentn Administration MDA, juga mem- pelajari masalah otonomi lokal.
Kritik utama terhadap pendekatan ini adalah terlalu for malistik dan legalistik, sehingga lebih banyak bersifat deskriptif dan kurang
bersifat analitis. Akibatnya, pendekatan ini tidak mampu memberikan
48
jawaban-jawaban yang memuaskan ten tang masalah-masalah yang ber- kaitan dengan siapa yang ber kuasa, kapan, bagaimana, dan apakah
pengaruhnya.
Pendekatan normatif merupakan pendekatan antitesis terhadap pendekatan legal kelembagaan. Pendekatan ini lebih menekankan pada
nilai-nilai demokrasi, partisipasi politik, oto nomi lokal, keterwakilan, dan tanggung jawab terhadap publik. Penelitian-penelitian yang
sebelum nya lebih memfokuskan pada aspek-aspek administratif, pada pendekatan ini telah beralih kepada aspek-aspek politik atau proses
politik. Asumsi yang ditawarkan oleh pendekatan ini adalah bahwa pemba ngunan sosial-ekonomi hanya dapat berhasil jika program dan
proyek yang dijalankan sesuai dengan kondisi lokal dan regio nal. Oleh karena itu, hak untuk berpartisipasi dalam perenca naan dan pelaksanaan
pembangunan bottom-up planning harus diwujudkan atau development from below.
Terdapat dua aliran besar di dalam pendekatan ini, yaitu pendekatan demokrasi perwakilan representative-democracy approach dan pen-
dekatan akar rumput grass-rootsapproach. Aliran pertama lebih mem- fokus kan pada substansi demokrasi lembaga-lembaga lokal. Lembaga-
lembaga pemerintah lokal atau kota merupakan lembaga yang ideal untuk melaksanakan demokrasi di tingkat yang paling bawah. Dalam
konteks ini, maka pembangunan politik harus difokuskan pada pen- ciptaan suasana yang pluralistik bagi perbedaan pendapat dan sistem
pemerintahan perwakilan. Aliran pertama ini lebih mengguna kan standar-standar demokrasi Barat dalam penentuan kriteria demokrasi
perwakilan, yang memang tidak sesuai dengan kon disi sosio-kultural masyarakat Asia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak
studi yang menggunakan pende katan ini menyimpulkan bahwa pemerintah lokal di Asia adalah pemerintah yang tidak demokratis dan
tidak aktif. Dengan kata lain, pendekatan ini sangat bersifat etnosentrik atau terlalu bias terhadap kriteria-kriteria Barat untuk mengukur situasi
sosial di negara-negara non-Barat.
Aliran kedua dari pendekatan normatif adalah pendekatan akar rumput. Pendekatan ini berakar pada gerakan sosial politik alternatif,
sebagai bentuk baru tuntutan politik dari wilayah per kotaan di Eropa dan Amerika Latin pada abad ke-16 dan 17. Gerakan ini cenderung
49
bersifat radikal, dengan tuntutan uta nanya adalah artikulasi dan agregasi kepentingan kaum miskin perkotaan. Untuk mencapai tujuan
itu, maka gerakan kolektif dalam proses demokratisasi dari bawah, terutama yang berkait an dengan partisipasi kaum miskin di dalam
proses politik dan ekonomi, menjadi prioritas utama. Gerakan ini merupakan gerakan sosial yang otonom, yang diorganisir oleh kaum
miskin dan bebas dari pengaruh pemerintah pada struktur organisasi, tujuan, pengambilan keputusan, tindakan, dan pemilihan pada
kelompok pendukungnya. Namun dalam sejarah politik di Asia Tenggara, gerakan kaum miskin perkotaan ini dapat di katakan relatif
mandul, karena sistem politik yang otoriter atau semi-otoriter yang cukup menghambat munculnya gerakan sosial politik tersebut.
Pendekatan Model Penyebab Sirkular berdasarkan pada model Gunnar Myrdal tentang hubungan antara institusiona lisasi dan pem-
bangunan ekonomi.8 Dengan menggunakan model ini juga Rigg menunjukkan dari hasil studinya di Filipina bahwa rendahnya tingkat
otonomi lokal dan lemahnya lem baga-lembaga lokal disebabkan oleh keterbelakangan under development. Stagnasi ekonomi dan tidak ber-
kembangnya lembaga-lembaga lokal adalah variabel yang saling mem- pengaruhi dan dikatakan oleh Myrdal sebagai backwash efect. Sebalik-
nya, di negara-negara maju ditemukan lembaga-lemba ga lokal yang kuat dan mapan.9 Bagi Rigg, desentralisasi dan otonomi lokal bukanlah
obat yang mujarab untuk melawan kemiskinan dan stagnasi ekonomi, karena pelimpahan we wenang yang besar kepada pemerintah lokal
dalam masyarakat prismatik akan membawa dampak yang tidak di- inginkan, se perti penguatan oligarki lokal, yang selanjutnya me nyebab-
kan keterbelakangan ekonomi dan ketimpangan sosial.
10
Untuk memecah lingkaran setan keterbelakangan terse but, maka Rigg mengusulkan konsep kutub pertumbuhan eko nomi dan kelem-
bagaan, dengan ciri utama adalah pemerintah pusat yang kuat. Hal yang terakhir ini akan menyebabkan ter capainya eisiensi struktur
administrasi lokal di negara-negara yang sedang berkembang atau di dalam masyarakat prisma tik.” Namun usul Rigg ini dapat dikatakan
sebagai model pembangunan yang diadopsi dari negara-negara Barat, yang pada kenyataannya belum tentu cocok bagi negara yang se dang
berkembang. Sebaliknya, justru model kutub pertum buhan ini sering
50
menghasilkan ketimpangan ekonomi antar wilayah sebagaimana yang dialami oleh Indonesia saat ini, dengan dominasi ekonomi Pulau Jawa
atau Indonesia Barat.
Pendekatan Kekuasaan Masyarakat Community Power Approach merupakan pendekatan yang berusaha mengidenti ikasi struktur ke-
kuasaan dalam sebuah masyarakat melalui analisis empiris. Penelitian yang menggunakan pendekatan ini memfokuskan pada peran elite
dalam politik lokal, asal mereka, latar belakang sosial ekonomi, pola sikap dan perilaku, tujuan, dan sumber daya yang digunakan untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan lokal, pola hubungan dan ko munikasi antar anggota elite dan faksi-faksinya.
Ada tiga teknik yang digunakan untuk membedah struktur ke- kuasaan ini, yaitu teknik posisional, teknik reputasional dan teknik
desisional. Teknik pertama melihat struktur kekuasaan dari posisi legal seseorang dalam suatu masyarakat atau dalam suatu organisasi. Jika
sese orang memegang posisi penting da lam suatu organisasi atau masya- rakat, maka ia menduduki pira mida tertinggi dalam struktur kekuasaan.
Teknik kedua lebih melihat struktur kekuasaan dari reputasi orang- orang yang ada di dalamnya. Jika reputasinya baik, maka kemungkinan
besar wilayah domain kekuasaan yang dimilikinya pun akan besar pula. Sedangkan teknik terakhir lebih memfokuskan pada siapa aktor
yang membuat keputusan-keputusan penting dalam sua tu organisasi atau masyarakat. Walaupun aktor tersebut tidak menempati posisi
penting dalam suatu organisasi, namun bila ia secara dominan membuat keputusan-keputusan, maka di dalam piramida kekuasaan aktor ter-
sebut menempati posisi yang paling tinggi.
Pendekatan sistem penetrasi penetrated system approach meng- analisis pengaruh kekuatan supralokal dan interaksi politik vertikal ter-
hadap pemerintah lokal. Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai sasaran pengaruh politik dan birokrasi utama, baik dari peme-
rintah lokal maupun peme rintah pusat, terutama dalam pengambilan keputusan-kepu tusan. Pemerintah pusat dengan otoritas legal dan
sumber daya keuangannya selalu menempatkan masyarakat dalam posisi lemah.
Terdapat dua aliran utama di dalam pendekatan ini, yaitu pen- dekatan otoritarian dan pendekatan klien. Pendekatan oto ritarian lebih
51
banyak berasal dari studi-studi di Amerika Latin yang melihat kondisi- kondisi historis dan sosial yang menye babkan munculnya pemerintah
yang otoriter. Studi-studi me ngenai pemerintah lokal menunjukkan secara kuat tersen tralisasinya kekuasaan pada rezim yang otoriter, yang
melaku kan penetrasi sampai tingkat lokal. Hat ini dilakukan untuk menjamin doktrin keamanan nasional, yang lebih lanjut berarti
stabilisasi rezim. Melalui kooptasi, pengangkatan pejabat yang loyal, manipulasi pemilu lokal, dan cara lain, pemerintah pusat berusaha
memperkuat pengaruhnya terhadap pemerintah lo kal. Lebih lanjut studi ini memfokuskan pada dua jenis peme rintah lokal yang berkaitan
dengan stabilitas rezim, yaitu sistem pemerintah lokal di wilayah ibukota dan organisasi-organisasi masyarakat bawah yang disponsori
oleh pemerintah.
Konsentrasi penduduk miskin di wilayah perkotaan dan ke- senjangan sosial yang ada merupakan prakondisi bagi re volusi sosial.
Untuk meredam keresahan sosial ini, maka ja ringan organisasi rukun warga neighbourhood organizations diperkuat dan dikontrol sebagai
bagian dari sub-pemerintah lokal. Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa organisasi organisasi sejenis ini lebih merupakan instrumen
politik bagi stabilisasi rezim pada wilayah-wilayah yang secara politik sa ngat sensitif. Dengan demikian, integrasi masyarakat ke dalam sistem
politik tidak dilakukan secara sukarela, melainkan me lalui paksaan struktural dan isik.
12
Aliran kedua dari pendekatan sistem terpenetrasi adalah pendekatan klien atau bapak-anak buah. Klientisme terutama dicirikan pada
hubungan yang saling menguntungkan dan hubungan yang tidak egaliter. Studi-studi dalam pendekatan ini memberikan konsentrasi
pada tema-tema besar seperti bagaimana hubungan patron-klien yang dihubungkan dengan perubahan ekonomi, dampak perkembangan
sistem patron klien, dan peranan kaum miskin dalam sistem politik patron klien.
Pendekatan Perbandingan Comparative Approach le bih mem- fokuskan pada proil dan perbandingan dari beberapa pemerintah lokal
atau metropolitan. Annamarie Hauck Walsh melakukan studi terhadap 13 kota metropolitan, yang ia be dakan antara variabel-variabel
lingkungan, variabel-variabel input dan variabel-variabel ouput. Model
52
yang dikembangkan ini diadopsi dari model Gabriel Almond
13
dan David Easton
14
tentang sistem politiknya. Variabel-variabel lingkungan terdiri dari kejadian-kejadian internasional; sedangkan level nasional
adalah demograi, ekonomi, sosial, geograi, politik, dan bio logis. Variabel-variabel input terdiri dari tuntutan yang berasal dari berbagai
aktor politik seperti partai politik, elite, birokrat, kelompok kepentingan, gerakan massa dan sebagainya serta sistem kelembagaan lainnya.
Variabel terakhir berkaitan dengan hubungan timbal balik yang di- gambar kan sebagai sistem dinamik perkotaan, yang merespon
perkembangan kota di masa yang akan datang.
Selain pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam ilmu politik, di dalam analisis masalah pemerintahan kota dapat pula di-
gunakan pendekatan interdisipliner ilmu ekonomi dan ilmu politik, yaitu pendekatan ekonomi-politik. Dalam pen dekatan ini terdapat dua
aliran besar yang secara paradigmatik saling bersaingan. Pertama, paradigma neoklasik yang mewa kili sumbangan ekonomi pebangunan
generasi kedua. Ke dua, ekonomi politik pertentangan kelas di antara kelas-kelas dominan dalam tradisi Marxian.
16
Aliran ekonomi pem- bangun an lebih melihat kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan
tidak melihat aktor-aktor ekonomi mana yang berperan dalam pem- bangunan ekonomi tersebut. Sebaliknya, aliran ke dua lebih mem-
fokuskan analisisnya pada bukti-bukti empiris keterpisahan kota dan desa dan membangun teori sosio-politik, di mana bias urban dilihat
dari pertumbuhan ekonomi.
Fu-chen Ho mengajukan sebuah model keterkaitan dan per- tentangan antara kota dan desa, terutama pada situasi eko nomi negara-
negara berkembang sekitar tahun 1980-an dan secara empiris masih relatif valid sampai dekade 1990-an. Da lam model yang dikembangkan
oleh Fu-chen Ho, dunia dibagi menjadi dunia Utara negara-negara industri maju dan dunia Selatan negara-negara yang sedang ber-
kembang, yang berbe da antara satu sama lain. Hubungan dagang dan ekonomi an tara dua dunia tersebut ditandai dengan hubungan yang
tidak adil, di mana terjadi pengisapan sumber daya alam dari negara- negara di dunia Selatan oleh negara-negara Utara.” Hubungan yang
tidak adil ini dapat dilihat dalam gambar berikut.
53 Gb. 1.1. Model Makro Spasial Dasar di Asia Tenggara
Sumber: Diadopsi dari Fu chen-Ho peny., Rural Urban Relation and Regional Development, UNCRD, Nagoya, Japan, 1987, h. 32.
Keterangan: 1 WM atau World Market yang terdiri dari negara-negara yang sedang ber-
kembang yang memasarkan produk-produk primer dan mengekspor pro duk- produk manufaktur. Sedangkan negara-negara industri mengekspor produk-
produk industri dan teknologi. 2 Urban-Formal Sector UF adalah sektor formal di daerah perkotaan yang terdiri
dari sektor bisnis, modern, dan industri; 3 Urban-Informal Sector UI adalah sektor informal kota yang terdiri dari
pedagang kaki lima, buruh kota, pekerja harian, dan sejenisnya; 4 Rural Export RX adalah sektor-sektor pedesaan yang bersifat komersial yang
dieksploitasi untuk keperluan ekspor, seperti sumber daya alam, pertambangan. 5 Rural Peasant RP adalah sektor tradisional yang terdiri dari petani, petani
gurem, dan pengusahaan pertanian yang mengandalkan alam.
Ekonomi di negara-negara Asia Tenggara termasuk dalam dunia Selatan secara struktural dicirikan oleh sumber daya alam yang kaya,
pasar domestik yang relatif terbuka dan secara relatif rnempunyai kemampuan teknologi rendah. Prosespenatrans- formasi sosial ekonomi
yang terjadi adalah terjadinya naman modal asing secara besar-besaran di daerah perkotaan no. 3 dan konsentrasi industri substitusi impor di
sana no. 4. Kedua proses ini secara langsung atau pun tidak mendorong pembentukan sektor “modern-formal” di daerah perkotaan. Pada sisi
54
lain terjadi proses marjinalisasi masyarakat kota yang tidak terlibat dan terserap ke dalam sektor modern tersebut, karena tingkat pendidikan
dan ketrampilan yang rendah atau buta huruf fungsional. Buta huruf fungsional adalah ketidak mampuan masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan peru bahan sosial dan ekonomi yang cepat. Pertumbuhan kota yang cepat dan konsentrasi sumber-sumber ekonomi nasional me-
rupakan daya tarik bagi masyarakat desa untuk bermigrasi secara massal ke daerah perkotaan no. 6.
Model ekonomi politik di atas tampaknya memberikan tingkat penjelasan yang cukup memuaskan bila kita ingin mengeksplorasi
keberadaan kota dan peran apa yang harus dimainkan oleh pemerintah kota dalam kerangka makro ekonomi tersebut.
Sementara itu pendekatan-pendekatan yang ditawarkan oleh Ruland memang lebih berdimensi politis dan merujuk pada studi-studi
klasik perkotaan, namun tidak mengeksplorasi pendekatan-pendekatan manajerial dan ekonomi - sebagai mana digambarkan oleh Fu-chen Ho
- dan lingkungan yang lebih kontemporer. Walaupun pendekatan- pendekatan politik banyak diminati dalam studi masalah perkotaan
karena mem berikan daya eksplanasi penjelasan yang cukup baik untuk mendudukkan masalah pemerintahan kota secara mendasar,
khusus nya tentang struktur kekuasaannya, namun disadari bahwa pen- dekatan tersebut tidak memberikan problem solving terhadap masalah-
masalah riil yang dihadapi oleh pemerintah kota. Masalah-masalah per- kotaan seperti kualitas lingkungan kota, kuantitas rumah layak huni
yang minimal dibandingkan dengan jumlah penduduk kota, kuantitas dan kualitas pela yanan publik dan lain sebagainya adalah masalah-
masalah yang harus dianalisis melalui pendekatan-pendekatan manajerial, ekonomi dan lingkungan.
Secara substansial, organisasi pemerintah kota bertugas men- distribusi kan kesejahteraan dan pendapatan. Dari perspektif teori
pilihan publik public choice theory, konsep pemerintah kota me- lakukan redistribusi kesejahteraan secara empiris sulit dibuktikan.
15
Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah kota ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan individual penduduk kota jelas
sangat sulit dipenuhi. Sedangkan dari perspektif teori politik Marxian, dalam wilayah perkotaan selalu ada kelas masyarakat yang tertindas dan
55
tidak diuntungkan oleh struktur sosial dan ekonomi yang ada, sementara ada kelas lain yang berkuasa baik secara politik maupun
ekonomi.
Michael Keating lebih melihat politik redistribusi kesejahteraan dan pendapatan dari faktor budaya dan struktukral.
16
Faktor budaya mengacu kepada solidaritas dan kepentingan umum menjadi landasan
utama kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota, seperti keperdulian kepada pekerja sektor informal, perbaikan pemukiman kumuh dan
sebagainya. Sedangkan faktor struktural mengacu kepada sistem sosial yang terfragmentasi dalam masyarakat kota, baik dari aspek kelas
maupun suku bangsa. Pada kota-kota di negara,seperti Amerika Serikat dan Perancis, stratiikasi dan fragmentasi sosial antara kulit hitam dan
kulit putih atau migran dari negara-negara Asia dan Afrika dengan suku bangsa Eropa, politik redistribusi harus memperhatikan variabel-
variabel ini. Bentuk-bentuk politik redistribusi disebutkan oleh Keating antara lain:
• Penetapan pajak kota yang progresif pada masyarakat mampu; • Alokasi jabatan administratif dan politik sesuai dengan distribusi
jumlah penduduk secara proporsional; • Belanja publik proporsional pada suku bangsa atau kelas sosial
tertentu;
2. Pendekatan Manajerial