57
a Diperlukan strategi pembangunan nasional, regional dan daerah yang terpadu;
b Diperlukan perubahan kelembagaan dari pendekatan manajemen proyek sektoral ke manajemen metropolitan, yang meliputi
peningkatan desentralisasi pengambilan keputusan dan peng- awasan;
c Diperlukan peningkatan kemampuan meningkatkan pendapatan dari tanah dan pajak;
d Diperlukan peningkatan sumber daya manusia di segala lini untuk menangani masalah perkotaan; dan
e Diperlukan kebijakan yang tepat untuk memecahkan ma salah lingkungan.
Model manajemen metropolitan integratif yang diajukan McGee di atas secara jelas merupakan kritik keras terhadap gaya manajemen
proyek yang dilakukan oleh pemerintah-pe merintah di Asia Tenggara, yang cenderung terpecah-pecah dan bersifat sektoral. Artinya, peme-
cahan masalah-masalah kota dengan menggunakan gaya proyek dari proyek satu ke proyek lain, namun tanpa kesinambungan dan keter-
kaitan satu sama lain. Misalnya, pada tahun anggaran tahun 199495 dialokasikan perbaikan jalan kota, namun tidak memperha tikan sektor
lain air minum atau kesehatan. Seringkali dinas tertentu memperbaiki jalan kota, sedangkan dinas lain mem perbaiki saluran air minum, yang
harus menggali jalan-jalan yang baru saja diperbaiki tersebut. Dengan demikian, gaya pendekatan ini banyak menimbulkan masalah daripada
me mecahkan masalah itu sendiri.
3. Pendekatan Ekonomi
Dalam pendekatan ekonomi ini, pemerintah kota dipan dang sebagai salah satu aktor ekonomi, yaitu sebagai produsen barang dan
jasa bagi masyarakat kota. Dari perkembangan ekonomi kontemporer dalam skala global, peran pemerintah kota sebagai aktor ekonomi ber-
fungsi mendorong dinamika investasi asing dan pertumbuhan ekonomi nasional. Proses globalisasi ekonomi sebuah bangsa, khususnya bangsa
In donesia telah menyebabkan pergeseran peran pemerintah baik
58
pemerintah di tingkat pusat maupun daerah dari peran-peran tradisional selama ini.
Apakah yang menjadi penyebab proses globalisasi eko nomi ter- sebut? Variabel pertama adalah sebagai pengaruh lang sung dari proses
globalisasi yang melanda Asia Pasiik dan Indonesia pada khususnya. Uniikasi Indonesia ke dalam ja ringan global, menurut Kenichi Ohmae,
disebabkan oleh 4-I industry, investment, individual consumer, and information technology. Keempat unsur tersebut menyebabkan suatu
ne gara menjadi borderless nation bangsa tanpa mempunyai batas. Industri dan investasi tidak lagi melihat batas negara, namun dapat
dipindahkan atau ditanamkan dimana pun sesuai dengan ke inginan pihak yang mempunyai modal. Demikian pula pola konsumsi individu
cenderung homogen di seluruh dunia, karena didukung oleh teknologi informasi. Kentucky Fried Chicken yang sangat mendunia dan me-
lintasi batas budaya sebuah negara mungkin cukup ilustratif menjelaskan hal ini.
Dalam level pemerintahan, terjadi perubahan besar-be saran dalam menjalankan proses memerintah governing yang sangat berbeda
dengan masa sebelumnya, terutama di negara -negara yang sedang ber- kembang, dari peran pengatur re gulator dan pelaksana aktor sekali-
gus bergeser menjadi re gulator dan fasilitator. Pergeseran peran ini disebabkan semakin besarnya peran sektor swasta dalam pemerintahan.
Indikator yang menyolok untuk membuktikan asumsi ini adalah sxvas- tanisasi perusahaan-perusahaan negara baru-baru ini yang dilaksanakan
di Indonesia dalam hal pelayanan publik. Alin Toler menamakan proses ini sebagai ‘otonomisasi’, di mana negara menderita dua tekanan
sekaligus. Pertama, tekanan untuk terlibat dalam persoalan supra- nasional.Kedua, tekanan untuk menvebarkan pengelolaan negara
kepada unit-unit sub nasional.
18
Variabel eksternal yang kedua adalah kemampuan inan sial pemerintah yang terbatas, yang berhadapan dengan tun tutan masyarakat
yang semakin tinggi untuk memperoleh pelayanan yang baik. Pemerintah tidak mungkin membiayai semua kebutuhan masyarakat,
mulai kebutuhan pangan, san dang sampai papannya. Dengan ketidak- mampuan ini, maka pemerintah kota harus berperan sebagai aktor
ekonomi, baik sebagai produsen barang maupun jasa dan bekerja sama
59
de ngan perusahaan-perusahaan swasta. Peran pemerintah terse but dikenal sebagai public entrepreneurship. Apakah yang mem beda kan-
nya dengan peran tradisional, yang selama ini dimainkan oleh peme- rintah? Perbedaan antara peran tradisio nal dan peran wira swasta serta
harapan pemerintah kewira swastaan ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 2.5. Peran yang Diharapkan dari Pemerintah LokalKota
Peran Tradisional Peran Kewiraswastaan
Pemerintah memproduksi semua pelayanan publik atau
peran sentral Pemerintah hanya sebagai fasilitator yang
mengontrakmemberikan konsensi kepada pihak lain
Peran historis perusahaan negara
Pemerintah secara aktif mendirikan perusahaan
Semua kebutuhan masyarakat di biayai oleh pemerintah
dengan kemampuan inansial Kebutuhan masyarakat di kelola sedemikian
rupa untuk di sesuaikan Peran masyarakat yang pasif
dalam proses pembangunan Peran masyarakat yang aktif, melalui
kerjasama pemerintah dan pihak swasta Pelayanan publik tertentu di
berikan pada semua tingkatan Pelayanan publik tertentu difokuskan pada
tingkat dan kelompok yang lebih terbatas Pemerintah menawarkan
pelayanan publik Pemerintah memasarkan pelayanan publik
Hubungan minimal dengan pihak swasta
Kerjasama yang aktif antara pemerintah dan pihak swasta
Pemerintah lebih memfokuskan pada rencana jangka pendek
Pemerintah memfokuskan pada perencanaan jangka panjang dan strategis
Struktur organisasi yang birokratis
Struktur organisasi yang longgar
Peran tradisional yang biasanya dilakukan oleh pemerin tah adalah memproduksi semua pelayanan publik yang dila kukan oleh perusahaan-
perusahaan negara. Asumsi yang digu nakan adalah bahwa semua kebutuhan masyarakat harus di biayai oleh pemerintah dan, sebaliknya,
masyarakat berada pada posisi yang pasif. Guna memenuhi tuntutan peran seperti ini, maka organisasi-organisasi pemerintah baik kota
maupun non-perkotaan dikembangkan sedemikian rupa untuk mela- yani berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemerintah mem-
bentuk perusahaan negara atau daerah yang menangani urusan pangan,
60
jalan, reklame, telekomunikasi, kuburan, pe nerbitan, dan sebagainya. Dengan demikian, organisasi peme rintah pun menyerupai gurita yang
menjalar ke mana-mana tanpa mempertimbangkan eisiensi. Jumlah pegawai mem bengkak dan terjadi inlasi, namun gaji yang diterima
kecil.
Sebaliknya peran kewiraswastaan yang dilakukan oleh pemerintah kota hanyalah sebagai fasilitator saja. Pemerintah hanya memasarkan
pelayanan publik. Kondisi ini telah men ciptakan berbagai mekanisme pengelolaan atau manajemen pelayanan publik baru, seperti BOT
build, operate, and trans fer, BOO build, operate, and own dan BOOT build, operate. own, and transfer. Pembangunan jalan to1 di
Indonesia meng gunakan skema BOT, di mana pihak swasta diberikan konsesi dalam jangka waktu tertentu untuk mengembalikan investasi
yang telah dikeluarkan.
Karakteristik ekonomi dan peran ekonomi dari pemerin tah kota di atas menyebabkan beberapa pertanyaan yang rele van dengan keberadaan
pemerintah kota di dalam Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004. Permasalahan yang harus dikaji lebih mendalam dari sudut ekonomi
politik kota adalah ke dudukan kota sebagai tempat pemusatan modal dan aktivitas sektor formal modern. Pada sisi lain, kota telah menjadi
tempat terjadinya marjinalisasi masyarakat pinggiran yang tidak dapat diserap di sektor formal-modern. Dikaitkan dengan kenyataan ini,
maka pembelaan terhadap kepentingan masyarakat ping giran yang ter- singkir dari sektor formal adalah dengan cara mengalokasikan peranan
dan intervensi pemerintah kota secara optimal. Mekanisme pasar jelas tidak dapat diandalkan dalam mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran.
Untuk mengendalikan kekuatan pasar ini, Bish dan Os trom meng- ajukan suatu pendekatan pilihan publik public choice, untuk me-
mahami permasalahan publik perkotaan,’ terutama yang berkaitan dengan preferensi individual sebagai mana dijelaskan di atas. Pada
pendekatan ini, masalah-masalah pemerintah kota difokuskan pada individu-individu. Individu -individu ini diasumsikan bertindak atas
dasar pengetahuan tentang alternatif-alternatif yang mungkin layak bagi mereka. Individu juga diasumsikan mempunyai preferensi yang
bera gam dan menekankan pada kemungkinan yang berhubungan
61
dengan preferensinya. Individu akan memilih dari kemung kinan- kemungkinan itu, yang mereka percayai paling mem berikan ke-
untungan.
Adanya asumsi terhadap individu ini mensyaratkan peme rintah kota atau pemerintah di daerah perkotaan untuk menve imbangkan se-
demikian rupa kepentingan-kepentingan indivi du dengan kepentingan umum. Ketidakberhasilan dalam me ngendalikan kepentingan individu
ini akan membawa dampak yang besar bagi masyarakat golongan marjinal. Sebagai contoh dapat dilihat dari masalah kemacetan lalu
lintas di bawah ini.
Gb. 1.3. Pengaruti Pemilikan Kendaraan Pribadi terhadap Maya soslalsociat Cost Sumber: Sutrisno Prawiro H. Ekonomi Publik, Modul Universitas Terbuka,
Jakarta,198G.
Pertama, sumbu horizontal menunjukkan jumlah ken daraan umum dan kendaraan pribadi, sedangkan sumbu ver tikal menunjukkan
ongkos atau tarif umum kendaraan publik seperti bus kota. Kurva menunjukkan permintaan terhadap kendaraan umum, dan kurva AA’
menunjukkan tarif kendaraan umum. Pada titik E sepanjang kurva AA’, biaya sosial social cost atau biaya yang harus ditanggung masya-
rakat meningkat, karena adanya kemacetan lalu lintas. Apabila dahulu penum pang membayar setinggi OA atau BE, karena kemacetan lalu
lintas penumpang harus membayar setinggi OG atau BF yang di- sebabkan oleh rasa letih dan kehilangan waktu di jalan. Tingginya
social cost atau eksternalitas negatif yang ditimbul kan oleh kemacetan
62
biaya sosial lalu lintas adalah seluas segi empat AFGH. Untuk meng- hilangkan atau meminimalisasi ini, hendaknya diusahakan agar se-
jumlah kendaraan yang melalui daerah bersangkutan hanya mencapai jumlah OH.
Kedua, asumsi tentang barang-barang dan jasa. Individu diasumsi- kan mempunyai preferensi-preferensi sendiri, baik tentang barang
privat maupun barang publik. Barang-barang tersebut mempunyai karakteristik yang beragam. Individu individu tidak dapat diabaikan
dari menikmati barang-barang publik. Barang-barang dan pelayanan seperti keamanan, pe layanan polisi, pemadam kebakaran dan kualitas
lingkungan adalah tugas-tugas dan fungsi yang harus dilakukan oleh pe merintah kota atau unit politik yang terkait.
Ketiga, asumsi terhadap organisasi. Barang publik dan pelayanan mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan-ke butuhannya, namun
banyak pula individu yang tidak mampu memenuhinya. Untuk meng- atasi dilema ini, maka peran peme rintah kota sangat penting. Pemerintah
di harapkan dapat meng komunikasikan preferensinya pada barang- barang dan jasa publik melalui sebuah “mekanisme organisasi”.
Asumsi kepada organisasi harus menjadi perhatian peme rintah. Pembentukan dinas-dinas otonom di lingkungan peme rintah kota
selama ini lebih didasarkan pada objek isik dan tugas pengaturan saja. Pembentukan dinas pasar, dinas perta manan dan kebersihan lebih
didasarkan pada adanya pasar dan perlunya kebersihan dan taman- taman kota. Dalam pera turan daerah-peraturan daerah tentang pem-
bentukan dinas dan susunan organisasi tidak terdapat perhatian secara lang sung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misal nya,
pembentukan Dinas Paririwisata di Yogyakarta, yang susun annya terdiri dari Sub-Dinas Pemasaran, Sub-Dinas Sarana Wi sata, Sub-Dinas
Bina Program, Sub-Dinas Diklat dan Unsur Pelaksana.
19
Lebih lanjut Bish dan Ostrom memberikan pedoman bagi pengem- bangan organisasi pemerintahan kota, sebagaimana dikatakannya
berikut ini:
“he theory of government inherent in the reform tradition suggest certain casual relationship among uariabels. Among there asso-
ciations are thefollowing 1 increasing the size of urban govern- mental unit through consolidation udll be associated with improwd
63
output ofpublic serznces, increased eiciencv, increased responsi- bility of local oicial and increased conidence among citizens about
their capacity to efect public policies; 2 reducing the municipality of jurisdictions senring an urban are through conso lidation will also
be associated unth improved output ofpublic ser vices, increased eiciency, increased responsibility olocaloicials and increased
conidence among citizens about their capacity to afect public policies. ‘’
25
“Dalam teori pemerintahan yang secara inheren selalu berubah yang menyangkut hubungan sebab akibat antarvariabel, yaitu 1
se makin meningkatnya besaran unit pemerintahan kota melalui kon solidasi akan berkaitan dengan output pelayanan publik yang
di tingkatkan, peningkatan eisiensi, peningkatan tanggung jawab apa rat kota dan peningkatan kesadaran masyarakat kota akan
tanggung jawab mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik; 2 penci utan yurisdiksi pelayanan pemerintah kota adalah juga melalui
konsolidasi yang berkaitan dengan peningkatan output pelayanan publik, peningkatan eisiensi, peningakatan tanggung jawab aparat
pemerintah kota dan peningkatan kesadaran masyarakat akan tang- gung jawabnya untuk mempengaruhi kebijakan publik.”
Dengan demikian, variabel-variabel peningkatan pela yanan publik, eisiensi, tanggung jawab aparat dan peningkatan kesadaran masyarakat
kota untuk mempengaruhi kebijakan publik sangat berpengaruh kepada perubahan organisasi pe merintahan kota, baik pengembangan
ataupun penciutan. Pe ngembangan dilakukan melalui pembentukan unit-unit baru yang relevan dengan kebutuhan pelayanan baru yang
dike hendaki oleh masyarakat kota. Sebaliknya, penciutan organisasi pemerintahan kota dilakukan melalui swastanisasi pelayanan publik
yang baru. Dengan kata lain, pemerintah kota tidak perlu membentuk unit atau dinas baru dengan pertimbangan eisiensi pembiayaan.
Sebagai contoh, masyarakat kota meng hendaki adanya pelayanan pembangunan perumahan untuk masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Pemerintah kota da pat saja membentuk dinas perumahan atau sebaliknya tidak membentuk dinas perumahan, namun menyerahkan
sepenuh nya kepada pihak swasta.
64
4. Pendekatan lingkungan