391 Gb.10.2. Metode Saniatary Landill
Sumber: https:www.google.co.krsearch?newwindow=1safe=activerlz=1C2OP RB_
Dengan mahalnya biaya sanitary landill, maka banyak kota-kota di Indonesia lebih menggunakan open dumping terkelola. Sampah
ditumpuk sedemikian rupa dan diratakan dan ditutupi dengan tanah apa adanya.Masalah yang dihadapi pemerintah kota adalah biaya
pengolahan sampah yang mahal dan tidak dapat ditutupi oleh hasil pengumpulan retribusi sampah.
E. Manajemen limbah cair
Sebagaimana diketahui sebagai besar sungai besar di kota Indonesia telah tercemar limbah rumah tangga dan limbah industri dan bahkan sampah.
Dapat disimpulkan, kota-kota Indonesia telah jauh terbelakang dibandingkan kota-kota negara lain seperti Malaysia dan hailand di dalam mengelola
limbah cair waste water
. Data dari Kementerian Lingkungan sampai
tahun 2013 terdapat 52 sungai strategis nasional di 33 provinsi telah tercemar, dan tercemar berat adalah Sungai Ciliwung DKI Jakarta
dan Sungai Citarum Jawa Barat.
392 Gb. 10.3. Kondisi salah satu sungai Di DKI Jakarta
Sumber:https:www.google.co.krsearch?newwindow= 1safe=activehl=enq=su ngai+tercemar+di+Indonesia
Kondisi seperti ini merupakan buruknya pengolahan sampah dan limbah cari di sebagian besar kota-kota di Indonesia. Kota Jogyakarta,
Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul bekerjasama dengan meng- alirkan air limbah ke IPAL Sewon.
Gb.10.4. IPAL Sewon Bantul, Jogyakarta
393
Menurut pengelola IPAL Sewon, sampai 2014 mendatang, ada14.000 KK yang limbahnya akan terhubung langsung ke IPAL
tersebut denganrincian di Sleman ada 3.000 KK, Kota Yogyakarta 5.000 KK dan Bantul 6.000 KK.Dia menyatakan,pembangunan
IPAL untuk mengelola limbah warga ini akan justru akan dapat me- maksimalkan kinerja IPAL Sewon. Selama ini IPAL tersebut hanya
meng olah limbah sebanyak 15.000 KK, padahal IPAL Sewon dapat meng olah limbah 110.000 KK. Ferry mengatakan, biaya yang di-
butuhkan untuk proyek tersebut sedikitnya Rp92 miliar. Rinciannya untuk pembuatan sanitasi terpusat ke Sewon sebesar Rp23 miliar per
tahun selama empat tahun.Sumber dana berasal dari Asia Development Bank ADB, APBN, APBD DIY sekitar Rp1,3 miliar per tahun,
APBD Kota Yogyakarta sekitar Rp2- 4 miliar per tahun. Persoalan pokok pengelolaan IPAL ini adalah biaya yang cukup mahal dan
pemanfaatan oleh pendudukan kota belum maksimal karena belum semua rumah tangga terhubungan ke jaringan IPAL. Kondisi sanitasi
kota-kota Indonesia memang masih memprihatinkan, dan belum men- jadi perhatian penting politisi di masing-masing kota. Data BPS berikut
menunjukkan bahwa hanya 55,60 sanitasi dari seluruh dari perkotaan dan pedesan di Indonesia layak.
Tabel. 10.10. Proporsi Sanitasi Layak di Indonesia
Provinsi 2011
Perkotaan Perdesaan
Perkotaan+ Perdesaan
Aceh 75.80
40.01 50.10
Sumatera Utara
72.78 41.64
56.47
Sumatera Barat
67.23 30.69
44.67
Riau
81.94 35.42
53.29
Jambi
75.16 40.45
50.65
Sumatera Selatan
72.43 34.35
47.36
Bengkulu
68.12 26.84
39.22
Lampung
74.43 34.63
44.33
Kep. Bangka Belitung
83.12 52.91
67.64
Kep. Riau
80.62 36.22
73.01
394
DKI Jakarta
87.83 87.83
Jawa Barat
60.84 37.48
52.50
Jawa Tengah
72.51 48.63
59.42
DI Yogyakarta
89.35 66.09
82.15
Jawa Timur
71.50 38.92
54.21
Banten
81.30 29.09
64.15
Bali
90.73 71.45
83.26
Nusa Tenggara Barat
58.08 39.93
47.34
Nusa Tenggara Timur
48.92 17.82
23.82
Kalimantan Barat
77.86 29.89
43.81
Kalimantan Tengah
64.59 18.57
33.72
Kalimantan Selatan
70.70 32.52
48.38
Kalimantan Timur
82.10 41.27
66.56
Sulawesi Utara
82.37 54.62
67.23
Sulawesi Tengah
75.01 40.13
48.39
Sulawesi Selatan
84.41 49.36
62.02
Sulawesi Tenggara
84.09 39.40
51.43
Gorontalo
74.16 31.88
46.68
Sulawesi Barat
72.38 35.33
43.40
Maluku
72.59 37.27
50.75
Maluku Utara
89.47 39.42
52.53
Papua Barat
56.61 32.20
39.23
Papua 73.36
8.73 24.31
Total
72.54 38.97
55.60
Sumber: BPS, 2013.
395 Gambar 10.5. Prosentase rumah tangga yang menggunakan cara-cara lain pembuangan
kotoran. Sumber: Riskerdas, 2012
Temuan UNICEP Indonesia juga bahwa kontaminasi feses ter- hadap tanah dan air merupakan hal yang umum di daerahh perkotaan,
hal ini diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang berlebihan, toilet yang kurang sehat dan pembuangan limbah mentah ke tempat terbuka
tanpa diolah. Lebih Unicef 18 mencatatSebagian besar rumah tangga di perkotaan yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk
persediaan air bersih mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari septik tank atau pembuangan toilet. Di Jakarta,
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Jakarta
396
menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang digunakan oleh rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank. Septik tank
jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3
persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif
yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen menggunakan pompa hisap untuk
mendapatkan air bersih dari sistem peariran kota.
Catatan
1. Hardoy dan Satterwhite, Squatter Citizen: Life in the Urban hird World, Earthscan, London, 1989.
2. Data-data kuantitatif mengenai hal ini lihat Gunnar S. Eskeland, “he Objective: Reduce Pollution at Low Cost”, Outreach 2, World Bank, 1992; Marhta
Schteingan, “he Environmental Problems Associated with Urban Development in Mexico City”, Environmental and Urbanization, Vol. 1, No. 1, April 1989;
dan Sergio Marnguis, “Back of the Envelope Estimate of Environmental Damage Cost in Mexico”, World Bank Policy Research Working Paper 828, Washington
D.C., 1992.
3. World Bank, World Bank Development Report 1993: Investing Health, Oxford University Press, Oxford, 1993..
4. World Bank, OurPlanet, OurHealth, Geneva, 1992. 5. Republika, 31 Maret 1997.
6. Republika, 28 Maret 1997. 7. World Bank, World Bank Development Report 1993: Investing Health, Oxford
University Press, Oxford, 1993. 8. Bindhu N. Lohani dan Whitington, “Environmental Management: An
Intersectoral Approach”, dalam Jefry Stubbs dan Gile Clarke penyJ, MegacityManagement in theAsian andPaciic Region, Asian Development
Bank, Manila, 1996. 9. Carl Bartone dkk., Toward Environmental Strategies for Cities, Policy
Considerations for Urban Environmental Management in Developing Countries, UPM Program, World Bank, 1994.
10. Hardoy dan Satterwhite, op. cit. 11. Lihat Montgomery Watson, “Environmental Regulation in Asia and Paciic”’,
Waste Management and the Ent.nronment, Vol. 3, September, 1995, h. 12. 12. Joseph Leitmann, “Urban Environmental Proile: A Global Synthesis of Seven
Urban Environmental Proiles”, Cities, Vol. 12, No. 1, 1995, h. 30.
397 13. Remy Proud’homme, “Management of Megacities: he Institutional
Dimensions”, dalam Jefr Stubbs dan Giles Clarke peny. Megacity Management in the Asian and Paciic Region, ADB-UMP, Manila, 1996.
14. Bartone dkk., op. cit., h. 21. 15. Bhindu L. Lohani dan Whitington, op. cit., h. 156-67.
16. Republika, 29 Maret 1997. a.
Wawancarta dengan Pejabat Bagian Lingkungan Hidup Kotamadya Yog¬yakarta. 17. Sumber: Laporan Tim Prokasih DIY, 1996, h. 26.
18. UNICEF, Ringkasan Kajian Air Bersih, Sanitasi, Kebersihan, 2012.
398
399
bAb 11
KOTA cERdAs sMART ciTy
A. Pendahuluan