. Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung

menemukan bahwa hampir semua lanskap hutan di Jammu dan Kashmir India dipengaruhi oleh gangguan manusia. Menurut Liu dan Brakenhielm 1996:125, perubahan kekayaan spesies sering digunakan sebagai indikator adanya antropogenik atau gangguan hutan karena manusia. Tidak samanya spesies antara di hutan dan kebun, bukan saja karena aktivitas penebangan pohon tetapi karena adanya pemilihan jenis pohon yang ditanam di kebun. Preferensi ini tentu berhubungan dengan nilai ekonomi yang menurut persepsi masyarakat bermanfaat atau berharga. Jika proses regenerasi pada tipe ekosistem di hutan primer, sekunder dan semak berjalan secara alamiah, maka pada vegetasi kebun memperlihatkan proses regenerasi buatan, karena adanya peran manusia dalam pengelolaan kebun. Regenerasi semai dan pancang tumbuh sangat banyak sebagai jaminan kelestarian di hutan primer. Pada fase tiang tersedia bakal pohon sampai 2 kali lipat, sedangkan pada fase pancang 10 kali lipat dari tiang dan pada fase semai juga 10 kali lipat jumlah pancang Tabel 5.3. Tren regenerasi ini juga terjadi pada hutan sekunder dan semak. Namun pada kebun jumlah individu pancang hanya menyediakan 2 kali lipat. Hal ini karena adanya seleksi semai dan pancang oleh manusia. Hanya spesies pohon yang dianggap ekonomis yang dibiarkan tumbuh besar. Tabel 5.3. Jumlah individuha di di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, di TNBBS Tipe type Pohon treeha Tiang pole ha Pancang sapling ha Semai seedling ha Hut. Primer 288 453 4 107 39 333 Hut.Sekunder 218 240 2 947 42 083 Semak 61 210 1 820 21 000 Kebun 156 230 480 15 875

4. Keanekaragaman Spesies H’

Semakin tinggi jumlah spesies dan jumlah individu, maka semakin tinggi nilai keanekaragamannya. Nilai keanekaragaman di hutan primer paling tinggi pada fase pohon H’= 4.3 dan tiang H’= 3.7. Keanekaragaman di hutan sekunder paling tinggi pada fase pancang H’=3.7 dan semai dengan nilai H’= 3.9; seperti terlihat pada Gambar 5.6 . Hasil studi Thakuri 2010:2 di Nepal menunjukan bahwa nilai keanekaragaman spesies pohon lebih tinggi di hutan primer undisturbed forest, sedangkan nilai keanekaragaman semak dan herba lebih tinggi di hutan sekunder disturbed forest. Hutan primer dan sekunder secara signifikan berbeda atas pH tanah, nitrogen tanah, karbon organik, penutupan serasah litter coverage, kerapatan pohon, dan total kekayaan spesies. Adapun hasil penelitian Zahrah 2002:40 di hutan primer Besitang Aceh menunjukkan nilai H’=5.3, di hutan sekunder H’=4.7. Sedangkan menurut Giriraj et al. 2008:12 keanekaragaman spesies di India sebes ar H’=4.89, di Amazon H’= 4.8-5.4 pada fase pohon’dbh 10 cm, Sabah H’=4.78, di Nigeria H’=4.0. Gambar 5.6. Keanekaragaman spesies H ’ pada fase pertumbuhan di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di home range gajah TNBBS. Nilai keanekaragaman spesies di kebun lebih rendah dibandingkan tipe ekosistem lainnya pada berbagai fase pertumbuhan. Pada fase tiang dan pancang di kebun nilai H’ = 1.5 rendah. Spesies-spesies di kebun dikontrol oleh manusia. Pemilihan spesies dan pembersihan tumbuhan yang dianggap gulma oleh manusia menjadi penyebab rendahnya nilai keanekaragaman spesies di kebun.

5. Kemerataan Spesies

Selanjutnya, nilai kemerataan di hutan primer menunjukkan nilai yang tertinggi pada fase pohon E ’=0.92 dibandingkan dengan hutan sekunder E’=0.80, semak E’=0.89 dan kebun E ’=0.64. Sebagai perbandingan data di hutan lainnya, Zahrah 2002:47 melaporkan di hutan Besitang Aceh nilai kemerataan di hutan primer, sekunder dan semak masing-masing E ’=0.9. Kondisi ini menggambarkan meratanya distribusi jumlah individu setiap spesies di dalam hutan. Sebaliknya, dikebun nilai kemerataan spesies lebih kecil pada semua fase pertumbuhan dibandingkan tipe hutan primer, sekunder dan semak. Data ini menunjukkan bahwa ada dominasi jumlah pada spesies tertentu dan sekali lagi hal ini erat kaitannya dengan adanya preferensi pohon bagi masyarakat setempat. Data kemerataan spesies E’ selengkapnya disajikan pada Gambar 5.7. Gambar 5.7. Kemerataan spesies E tiap fase pertumbuhan di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun di dalam home range gajah, di TNBBS