2. Preferensi Pengelolaan Lahan di Dalam Kawasan Hutan.
Kelestarian habitat menjadi terancam bila prefensi pengelolaan habitat saling bertentangan. Pengelola, wisatawan dan Masyarakat Pemerihan memberikan skor
tinggi 6 terhadap bekas lahan garapan di kawasan hutan untuk ditanami kembali dengan pohon hutan atau dibiarkan tumbuh sendiri. Masyarakat Pemerihan,
Sumberejo dan Way Haru berharap lahan ditanami tanaman kebun sehingga nantinya dapat memberikan penghasilan tambahan. Kondisi ini bertentangan dengan preferensi
pengelola dan wisatawan yang menyatakan tidak setuju ditanami tanaman perkebunan.
Preferensi 5 kelompok stakeholder terhadap pengelolaan lahan garapan di dalam kawasan hutan berbeda nyata atau tidak selaras. Kondisi ini tentunya menjadi
rintangan dalam keberhasilan penanaman kembali lahan-lahan bekas garapan di dalam kawasan hutan. Alternatif yang dapat memberikan jawaban ini adalah
pemilihan tanaman kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi diantaranya adalah pohon pala hutan Myristica inners dan pohon jaha Terminalia belirica. Menurut
informasi dari masyarakat setempat harga biji pala kering Rp. 40 000kg, sedangkan selaput kering biji pala harganya bisa mencapai Rp. 140 000kg. Adapun biji jaha
biasanya dimakan oleh masyarakat dan masih merupakan potensi ekonomi untuk dijual di pasaran.
3. Preferensi Pengelolaan Lahan di Luar Kawasan Hutan.
Dibutuhkan solusi yang tepat dalam pemilihan tanaman apabila ditanam di lahan milik masyarakat yang masuk ke dalam homerange gajah. Preferensi
Masyarakat Pemerihan, Sumberejo dan Way Haru terhadap lahan garapan di luar kawasan adalah digarap lebih intensif. Sedangkan pengelola dan wisatawan
memberikan skor 5 agak setuju agar ditanami pohon hutan di lahan yang berada di luar kawasan. Alasan pengelola adalah untuk menekan adanya illegal loging baik
untuk dijual atau untuk pembangunan rumah mereka, tetapi cukup berasal dari kebun saja.
Masyarakat, pengelola dan wisatawan menyatakan setuju adanya pemberian pagar agar tanaman mereka tidak diganggu gajah. Namun demikian, pagar fisik tentu
bukan solusi yang tepat, karena gajah akan terus datang ke area tersebut secara rutin, sehingga pembangunan pagar akan menjadi sia-sia. Menurut Fernando et al.
2010:41 pembangunan pagar elektrik sebagai mitigasi konflik manusia dan gajah tanpa pertimbangan pola pergerak gajah akan mengakibatkan hilang ataupun
terfragmentasinya habitat gajah. Uji keselarasan preferensi 5 kelompok stakeholder terhadap pengelolaan
lahan garapan di luar kawasan hutan ternyata berbeda atau tidak selaras, kecuali antara pengelola dan wisatawan yang tidak berbeda nyata atau selaras. Mereka sama-
sama berharap lahan masyarakat nantinya akan menjadi seperti hutan yang nyaman, sejuk dan indah.
Dukungan Masyarakat
Masyarakat Pemerihan, Sumberejo dan Way Haru memberikan skor tertinggi pada rencana dukungan terhadap keamanan. Pengelola memberikan skor tinggi pada
aspek pemandu dan sukarelawan. Masyarakat Sumberejo tidak mendukung pada kegiatan sukarelawan.
Motivasi mereka pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar seperti makan, rumah dan keamanan. Kondisi ini sesuai dengan teori
Motivasi Maslow, bahwa kebutuhan yang lebih rendah dalam hirarki harus dipenuhi
sebelum dapat memperhatikan kebutuhan yang lebih tinggi. Preferensi 4 kelompok stakeholder terhadap rencana dukungan yang akan
dilakukan terhadap ekowisata signifikan berbeda atau tidak selaras. Perbedaan dukungan ini diduga dilatarbelakangi oleh mindset pengelola yang cenderung
birokratis dan tunduk pada Satuan Operasional Prosedur keseharian yang mereka miliki selama ini.