Pengembangan Ekowisata Pengembangan Ekowisata Gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung

beberapa lokasi. Sebaran gajah diduga berada di 9 lokasi yaitu sekitar Sekincau, Lemong, Bengkunat, Sumberejo, Pemerihan, Way Haru, Tampang Belimbing, Way Nipah, dan Sukaraja. Organisasi Pengelola TNBBS a. Tugas Pokok dan Fungsi Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut Nomor P.03Menhut-II2007 tanggal 1 Februari 2007, Balai Besar TNBBS memiliki tugas pokok dan fungsi. Secara garis besar tupoksi Balai Besar TNBBS adalah sebagai berikut : 1 Melakukan penyusunan rencana dan program pengembangan taman nasional. 2 Melakukan pemangkuan kawasan, perlindungan, pengawetan, pelestarian flora fauna beserta ekosistemnya. 3 Melakukan pemanfaatan dan promosi serta memberikan informasi. 4 Melakukan urusan tata usaha. b. Struktur Organisasi Organisasi Balai Besar TNBBS adalah unit pelaksana teknis setingkat eselon II b, yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut Gambar 4.1 : Aksesibilitas Akses menuju TNBBS dari Kota Bandar Lampung relatif mudah. Rute dan lama perjalanannya: Bandar Lampung – Kotaagung – Sedayu – TNBBS Sukaraja – Pemerihan dengan jarak ±137 km dapat ditempuh selama ± 4 jam. Jika dari Bandara Radin Intan Bandar Lampung menuju Pemerihan menjadi 4,5 jam. Iklim Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika curah hujan rata-rata tahunan, kawasan TNBBS dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu bagian barat taman nasional dengan curah hujan cukup tinggi yaitu berkisar antara 3000 – 3500 mm per tahun dan bagian timur taman nasional berkisar antara 2500 – 3000 mm per tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh rantai pegunungan Bukit Barisan Selatan sehingga kawasan bagian timur lebih kering. Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Ferguson,bagian barat kawasanTNBBS termasuk dalam tipe ilkim A sedangkan di bagian timur termasuk dalam tipe ilkim B. Musim hujan berlangsung dari bulan November sampai Mei. Sedangkan musim Kepala Balai Besar TNBBS Bid. Teknis Konservasi TN Seksi Perlindungan,Pengawe tan Perpetaan Kotaagung Seksi Pemanfaatan Pelayanan Kotaagung KBTU Bid. Pengel.TN Wil ISemaka Seksi Pengelolaan TN ISukaraja Kelompok Jabatan Fungsional - POLHUT - PEH Seksi Pengelolaan TN IIBengkunat Sub Bag Perencanaan Dan Kerjasama Kotaagung Sub Bag Umum Kotaagung Sub Bag Data Evaluasi laporan dan Humas Kotaagung Bid. Pengel.TN Wil II Liwa Seksi Pengel. TN IIIKrui Seksi Pengelolaan. TN IVBintuhan Gambar 4.1. Organisasi Balai Besar TNBBS kemarau dari bulan Juni sampai Agustus. Bulan-bulan agak kering adalah September – Oktober.Jumlah hari hujan di musim penghujan rata-rata tiap bulannya 10 – 16 hari dan dimusim kemarau 4 – 8 hari. Keadaan angin musim hujan lebih besar dari musim kemarau. Geologi Menurut Peta Geologi Sumatera yang disusun oleh Lembaga penelitian Tanah 1966, kawasan TNBBS terdiri dari batuan endapan yaitu Miosin Bawah, Neogen,Paleosik Tua, Aluvium. Sedangkan batuan vulaknik Recent,Kuatener Tua, Andesit Tua, Basa Intermediet dan Batuan plutonik Batuan Asam dimana yang tersebar paling luas adalah batuan Vulkanik yang dijumpai di bagian tengah dan utara taman nasional. Kawasan TNBBS berdasarkan Peta Lereng dan Kemampuan Tanah Propinsi Lampung, berada pada Zona Sesar Semangka yang rawan gempa,tanah longsor, banjir dan peka terhadap erosi. Terbentuk dari depresitektonik yang ditutupi oleh sediment-sedimen dari celah vulkanik yang menutupi Wilayah Bukit Barisan pada zaman kuarter. Patahan aktif akan terus bergerak sehingga menimbulkan kerusakan didalam dan di atas permukaan tanah. Pada siklus waktu, pergeseran ini akan menimbulkan gempa dengan kekuatan yang cukup besar Bappeda Lampung Barat, 1993. Gempa bumi besar pernah terjadi pada tahun 1933 yang diakibatkan oleh meletusnya Gunung Ratu yang memunculkan Gunung Loreng di dalam kawasan TNBBS. Kemudian pada tahun 1994 kembali terjadi gempa bumi besar berskala 6,9 Scala Richter yang mengakibatkan sebagian Gunung Loreng tenggelam. Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Sekitar Masyarakat sekitar kawasan TNBBS secara administrasi pemerintahan terdapat 115 desa yang tersebar di Kabupaten Tanggamus dan KabupatenLampung Barat, dan Kabupaten Kaur,serta Kabupaten OKU Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat sekitar yang berada di Propinsi Lampung sangat plural, terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan keanekaragaman budaya masyarakat. Suku dominan adalah suku Jawa, sedangkan suku asli Lampung hanya sekitar 15. Di dalam kawasan TNBBS terdapat 4 empat wilayah enclave. Enclave merupakan areal yang terlokalisir dihuni masyarakat turun temurun dan menetap di dalam kawasan. Adapun lokasi dan luas masing-masing enclave adalah enclave Way Haru 4.900 ha, Pengekahan 671 ha, Kubu perahu 100 ha, dan Suoh 15.000 ha yang seluruhnya masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Barat. Mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan sebagian besar di sektor pertanian dan perkebunan. Budaya pertanian terbuka dibawa oleh masyarakat pendatang sedangkan pertanian tertutup berbentuk kebun campuran tanaman keras oleh masyarakat asli semakin terbatas di daerah Pesisir Barat Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung. Salah satu contoh pertanian masyarakat asli Lampung adalah Repong kebun Damar Mata Kucing di sepanjang Pesisir Kabupaten Lampung Barat. Kebiasaan masyarakat setempat untuk menanami bekas ladangnya dengan tanaman damar telah menjadikan hutan setempat pulih secara fisik dan ekologis. Ladang-ladang baru jika dibutuhkan dapat dibuat pada areal hutan alam, namun hutan damar itu sendiri tidak diganggu lagi. Pohon damar yang tidak produktif ditebang dan diganti dengan bibit damar yang telah disiapkan beberapa tahun sebelumnya. Budaya demikian merupakan suatu proses perubahankonversi hutan alam yang heterogen. Repong Damar merupakan salah satu alternatif upaya pembinaan daerah penyangga dan perluasan habitat satwa liar dalam bentuk sabuk hijau sepanjang sisi barat taman nasional. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Area Home Range Gajah Penerapan metode MCP menunjukan hasil bahwa ukuran home range gajah di Resort Pemerihan-Way Haru mencakup area seluas 15 301.20 ha Gambar 5.1. Jika dibandingkan dengan ukuran home range Gajah Asia maka luasan tersebut ternyata tidak jauh berbeda seperti yang dilaporkan Sukumar 1989; di dalam Suhartono et al. 2007:6 tentang ukuran home range gajah di India Selatan berkisar antara 10 500 ha - 32 000 ha. Begitu pula menurut IUCN 2012:1 yang melaporkan bahwa home range gajah betina di Sri Langka seluas 3 000 ha-16 000 ha. Gambar 5.1. Peta penutupan lahan di dalam home range gajah di Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS. Uuran home rangenya Gajah Afrika jauh lebih luas, seperti yang dilaporkan Mpanduji dan Ngomello, 2007:1 di Tanzania luas home range yang didapatkan adalah antara 32 800 ha – 690 500 ha. Osborn 2004: 42 menduga bahwa perbedaan home range dipengaruhi oleh besarnya curah hujan. Ukuran home range berbanding terbalik dengan curah hujan; apabila curah hujan rendah maka ukuran home range tinggi dan sebaliknya. Namun demikian, penelitiannya di Zimbabwe menunjukkan bahwa walaupun curah hujan mendekati nilai yang sama, ternyata terjadi perbedaan home range gajah yang signifikan antara di kawasan lindung dan di area milik masyarakat. Ukuran home range bukan saja dapat dipengaruhi oleh iklim dan manusia, namun juga dipengaruhi oleh perilaku makan gajah. White dan Garrott 1990: di dalam Osborn, 2004:37 melaporkan bahwa dispersal pergerakan gajah kadang-kadang bisa ke luar dari area pergerakan normalnya sebagai respon atas kelangkaan sumberdaya pakan di dalam home range normalnya. Informasi ini menunjukkan bahwa penambahan luas home range bersifat temporal dan kelompok gajah akan kembali pada jalur seperti biasanya. Dikaitkan dengan pemanfaatan home range untuk aktivitas ekowisata gajah di TNBBS maka data yang ada menunjukkan bahwa selama ini ternyata hanya sebagian kecil home range yang telah dimanfaatkan untuk aktivitas ekowisata gajah. Area yang selama ini dimanfaatkan untuk ekowisata gajah di TNBBS hanyalah seputar Camp Elephant Patrol CEP, meliputi area seluas 475 ha. Atas hal ini, dapat dibayangkan betapa besarnya potensi pengembangan kegiatan ekowisata yang tersia-sia selama ini di TN BBS. Dikaitkan dengan status kepemilikan lahan, maka nampaknya 31 4 732.31 Ha area home range gajah di TN BBS adalah berada di tanah warga, sedangkan sisanya seluas 10 568.89 ha 69 berada dalam kawasan hutan. Walaupun demikian, data dari Metoda Kernel menunjukan bahwa intensitas keberadaan gajah lebih terpusat di perbatasan tanah warga dan kawasan hutan. Pemusatan pergerakan gajah berada di area perbatasan antara Desa Pekon Pemerihan dan Sumberejo dengan kawasan hutan; yang mencakup Intensitas Kernel 25 dengan luas area mencakup 702 ha Gambar 5.2. Diduga kondisi tersebut dipengaruhi oleh ketersedian pakan yang melimpah di lahan pertanian atau pun kebun dan juga dilalui Sungai Pemerihan yang biasa digunakan gajah untuk minum, dan berkubang. Menurut Pe’rez-Garci’a et al. 2012:1 pola pergerakan satwa dan penggunaan ruang tergantung pada sumberdaya lingkungan seperti ketersediaan pakan, air dan lainnya serta interaksi interspesifik dan intraspesifik. Gambar 5.2. Peta intensitas pergerakan gajah berdasarkan Metode Kernel di home range gajah, TNBBS Hasil pengamatan menunjukan kelompok gajah bergerak keluar dari hutan dan masuk ke lahan pertanian pada malam hari, untuk kemudian masuk kembali ke dalam hutan pada pagi harinya. Pola pergerakan ini akan berlangsung terus menerus dimana rombongan gajah akan berbaris menuju kebun atau lahan pertanian dan kemudian berpencar satu sama lain ketika makan. Tanaman pertanian yang disukai gajah adalah jagung Zea mays, padi Oryza sativa, coklat Teobroma cacao dan kelapa Cocos nucifera. Kelerengan dan Iklim di dalam Home range Berdasarkan kelas kelerengan di dalam home range, karakteristik habitat gajah didominasi oleh kelerengan landai dengan luasan 9 218.98 ha 60.25 . Kelerengan berbukit hanya 316.78 ha 2 dan terjal hanya sebagian kecil 12.99 ha atau 0,08; berada di bagian utara home range yang bervegetasi hutan primer Gambar 5.3. Gambar 5.3. Karakteristik habitat berdasarkan kelas kelerengan di home range gajah TNBBS. Kondisi kelerengan ini sebagai petunjuk untuk merancang infrastruktur dan fasilitas yang perlu di bangun pada jalur ekowisata gajah yang akan diselenggarakan. Selain itu, informasi kelerengan tersebut juga dapat dipergunakan sebagai bahan pemikiran dalam merancang intensitas tingkat kesulitan aktivitas rekreasi ekowisata gajah yang akan ditawarkan pada wisatawan di TNBBS. Iklim di dalam home range gajah di TNBBS menunjukan bahwa curah hujan bulanan tergolong sedang hingga tinggi. Curah hujan terendah sebesar 163 mm pada bulan April dan tertinggi bulan Oktober sebesar 642.2 mm pada tahun 2010. Rata-rata curah hujan bulanan sebesar 335.1 mm. Bulan-bulan kering dimana curah hujan 100 mm sepanjang tahun 2010 tidak ada. Merujuk pola pergerakan yang telah dipaparkan di atas, maka curah hujan tersebut tampaknya tidak mempengaruhi jarak tempuh gajah Tabel 5.1. Kondisi iklim ini juga menjadi penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengeliminasi hambatan program rekreasi yang disebabkan oleh kondisi iklim. Tabel 5.1. Curah hujan bulanan dan rata-rata jarak tempuh gajah di Resort Pemeruhan-Way Haru, TNBBS WCS, 2010 Bulan Curah hujan mm Jarak km Suhu o C Min maks Januari 206.6 120 21,77 34,63 Pebruari 263.5 108 21,41 35,80 Maret 356.7 185 21,65 37,65 April 163,0 261 22,08 34,08 Mei 290,0 212 22,15 32,16 Juni 255.7 164 21.28 29.23 Juli 457.1 145 21.21 29.06 Agustus 219.6 117 21.79 32.77 September 309.9 54 22.15 35.22 Oktober 642.2 145 22.18 36.79 November 472.9 96 22.38 35.82 Desember 386.8 73 22.27 35.29 Rata-rata 335.3 140 22,27 34.45 Karakteristik Vegetasi Di Dalam Home range Berbagai tipe ekosistem di dalam home range gajah, bukan saja memperlihatkan berbagai tipe ekosistem, namun juga membuktikan adanya peran manusia terhadap perubahan hutan yang mempengaruhi pola pergerakan gajah. Dalam konteks penelitian ini akan dideskripsikan penutupan vegetasi yang berisi spesies pepohonan kayu di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun.

1. Komposisi dan Struktur Vegetasi

a. Hutan Primer

Komposisi dan struktur vegetasi pada berbagai tipe ekosistem penting diketahui, selain dapat menggambarkan dominansi spesies terhadap spesies lain juga menunjukkan proses regenerasi sebagai upaya eksistensi spesies di dalam suatu ekosistem. Hasil studi menunjukan bahwa komposisi hutan primer pada fase pohon di home range gajah didominasi oleh kayu tiyung Strombosia javanica; INP=19.25, diikuti oleh simpur Dillenia excelsa; INP= 12.25 dan meluang Dipterocarpus humeratus;INP=11.38. Sebagai bahan perbandingan, hutan primer di Bengkulu Utara menurut Supartono 2008:64, didominasi oleh sepalok Santiria laevigata; INP= 24.41. Menurut Singh 2006; di dalam Bargali et al. 2013:270 komposisi hutan berbeda dari tempat ke tempat disebabkan karena berbagai topografi seperti dataran rendah, berbukit atau pegunungan. Selanjutnya, spesies tumbuhan pada fase tiang didominasi oleh Rhinorea lanceolata INP=33.29, diikuti dua spesies berikutnya Strombosia javanica INP=20.63 dan Dillenia excelsa INP=17.35. Jika Supartono 2008:64 melaporkan bahwa pada fase tiang, hutan primer di Bengkulu, didominasi oleh Syzygium sp, atau jambu hutan INP=24.00, maka dalam home range gajah di penelitian ini ternyata kedua jenis tersebut hanya menempati peringkat 9 dari 10 jenis dominan. Hasil analisis juga menunjukan bahwa ada 5 jenis dominan 50 pada fase tiang yang sama dengan fase pohon, yaitu Strombosia javanica, Dillenia excelsa, Ixonanthes icosandra, Aglaia sp, dan Dipterocarpus humeratus. Spesies tersebut menjadi generasi penerus yang akan menjadi pohon. Menurut Bargali et al. 2013:270 keberhasilan regenerasi dari spesies pepohonan dipengaruhi oleh 3 komponen utama, yaitu ketersediaan semai dan pancang, kemampuan untuk hidup dan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang. Spesies tumbuhan pada fase pancang didominasi oleh bandotan Popowia bancana;INP=28.02, balik angin Mallotus miquelianus; INP =16.64, dan geok Popowia psocarpa; INP =16.62. Dikaitkan dengan ketersediaan regenerasi untuk fase tiang, maka hanya ada 3 spesies pancang dari 10 INP tertinggi 30 yang sama dengan fase tiang, yaitu Dillenia excelsa, Strombosia javanica dan Ixonanthes icosandra. Untuk fase semai, ekosistem didominasi oleh mara Mallotus floribundus; INP =12.41, Strombosia javanica INP=11.76, dan tinduran punai Cleistanthus myrianthus; INP=11.79. Hasil analisa menunjukan bahwa nilai-nilai INP 10 spesies terbesar pada fase semai adalah tidak berbeda jauh satu sama lain. Pada fase semai ini tercatat 5 spesies yang sama dengan fase pancang 50; kondisi ini menunjukkan regenerasi yang baik pada fase semai. Selanjutnya, perlu untuk digarisbawahi bahwa ternyata spesies Strombosia javanica selalu ada pada fase pancang, tiang dan pohon di hutan primer.

b. Hutan Sekunder

Hutan sekunder pada fase pohon didominasi oleh Tetrameles nudiflora dengan INP=38.17, Karidung Glochidion arborescens; INP= 30.28, dan Cananga odorata; INP=26.81. Jika dikaitkan dengan hutan primer pada fase pohon, maka ke 3 spesies tersebut telah menggantikan posisi dominansi Strombosia javanica, Dillenia excelsa dan Dipterocarpus humeratus. Perubahan ini diduga kuat karena adanya aktivitas penebangan liar. Thakuri 2010:6 menyebutkan gangguan manusia terhadap hutan meliputi pengambilan bahan bakar dan makanan, pembakaran hutan, penggembalaan ternak, penebangan pohon, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. Menurut DeWalt et al. 2003:139, di Panama struktur ekosistem di hutan sekunder yang telah berumur 70 tahun sangat mendekati hutan yang berumur 100 tahun dan hutan tua old-growth forest atau hutan primer. Informasi ini menujukkan bahwa paling tidak membutuhkan waktu 70 tahun untuk proses pemulihan struktur hutan yang rusak mendekati struktur hutan primer. Spesies pada fase tiang didominasi oleh kelandri Bridelia monoica;INP=38.42, Calicarpa tomentosa INP=29.65, Croton argyratus 25.25. Sebagai pembanding, Syarifuddin 2008:130 melaporkan bahwa pada fase tiang, hutan di Bengku Utara didominasi oleh Mallotus paniculatus INP=30.955. Kelandri dan mallotus merupakan tanaman cepat tumbuh yang menjadi pionir pada hutan-hutan yang mengalami gangguan manusia. Ketika ruang dibuka oleh manusia, kemampuan kelandri berkembang sangat cepat melebihi jenis yang lainnya. Adapun pada fase tiang, juga tercatat 5 spesies yang sama dengan fase pohon, yaitu Strombosia javanica, Dillenia excelsa, Ixonanthes icosandra, Aglaia sp, dan Dipterocarpus humeratus. Adapun regenerasi pada fase tiang menunjukkan angka 5 dari 10 spesies 50 sama dengan spesies pada fase pohon. Atas hal ini maka dapat dikatakan bahwa proses regenerasi pada fase tiang ini berlangsung secara alami, dan komposisi jenisnya tersusun mendekati hutan primer. Spesies tumbuhan pada fase pancang didominasi oleh Leea indica dengan INP=32.51, Croton argyratus 29.38 dan Dillenia excelsa INP=24.32. Syarifuddin 2008:130 menyebutkan jenis Parkia speciosa INP=11.38 adalah menjadi dominan pada fase pancang di Bengkulu Utara. Regenerasi fase pancang menunjukkan 3 jenis yang sama pada fase tiang, yaitu Croton argyratus, Dillenia excelsa dan Glochidion arborescens. Spesies Croton argyratus selalu menempati posisi 3 besar dari mulai fase tiang hingga pancang. Spesies Dillenia excelsa dan Glochidion arborescens selalu hadir mulai dari fase pohon, tiang dan pancang. Menurut Tripthi dan Khan 1992:431 di India, populasi pancang di hutan sekunder lebih banyak dibandingkan hutan primer; yaitu sejalan dengan lebih terbukanya tajuk di hutan sekunder sehingga intensitas cahaya matahari menjadi lebih tinggi dibandingkan hutan primer. Spesies pada fase semai di hutan sekunder didominasi oleh Leea indica INP=27.70, Croton argyratus INP=7.23 dan Archidendron bubalinum INP=6.66. Jenis Croton argyratus selalu hadir pada fase pancang dan tiang, sedangkan jenis Leea indica selalu menempati posisi teratas pada fase pancang dan semai dalam 10 INP tertinggi. Spesies yang sama dengan fase pancang tercatat 3 jenis Leea indica, Croton argyratus dan Pterospermum javanicum bayur.

c. Semak

Pada tipe ekosistem semak, hasil studi menunjukan munculnya satu spesies dimana sebelumnya tidak pernah ada di hutan primer maupun hutan sekunder yaitu Erythrina letosperma; spesies ini biasa disebut dadap oleh masyarakat setempat. Batang pohon dadap sering digunakan sebagai rambatan tanaman lada dan juga