Profil Alel, Tingkat Heterozigositas dan Polimorfisme Berdasarkan Marka SSR

sedangkan lokus CnCir 87 dan CnCir A3 memiliki jumlah alel per lokus terendah sebanyak 5 alel. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian Meerow et al. 2003 yang mendapatkan jumlah alel 1.0 –3.2 per lokus dari 15 lokus SSR untuk 56 genotipe kelapa yang ditanam di Miami, Florida. Kumar et al. 2011 memperoleh jumlah alel 1.00 –1.88 per lokus dari 14 aksesi kelapa di Pasifik Selatan menggunakan 14 marka SSR. Tabel 6.3 Jumlah alel yang diamati pada setiap lokus marka SSR untuk populasi GKN, DTA dan KHINA-1 Populasi Z21 Z51 56 A9 87 123 121 C5 C9 E4 A3 H11 73 1 226 E11 119 E2 2 GKN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 DTA 4 4 3 3 2 5 3 4 5 3 2 4 4 4 2 6 3 4 4 KHINA-1 4 5 3 3 2 5 3 3 5 3 2 4 4 4 2 5 3 3 4 Total 9 10 7 7 5 11 7 8 11 7 5 9 9 9 6 12 7 8 9 Rerata 3 3.33 2.33 2.33 1.67 3.67 2.33 2.67 3.67 2.33 1.67 3.00 3.00 3.00 2.00 4.00 2.33 2.67 3.00

6.3.2.3 Analisis Kebenaran Tetua

Untuk mengetahui adanya illegitimate hybrid dalam suatu populasi, data genotipe dianalisis menggunakan piranti lunak COLONY. Hasil identifikasi COLONY, diperoleh sebanyak 72 individu KHINA-1 tidak membentuk kelompok berdasarkan tetuanya. Hal tersebut dapat dilihat dari garis yang tidak sesuai dengan perkiraan konstruksi tetua sehingga perpasangan antar tetua terlihat acak Gambar 6.4 . Hal ini disebabkan oleh jenis persilangan yang dilakukan adalah persilangan kompleks yang menggunakan komposit tetua jantan. Menurut Acquaah 2007 proses pembentukan hibrida dibedakan atas persilangan sederhana yaitu persilangan antar 2 tetua dan persilangan kompleks yaitu persilangan antar lebih dari 2 tetua. Polen yang digunakan merupakan campuran polen dari beberapa pohon kelapa terseleksi dan benih yang diperoleh pada setiap generasi tidak dilabel dengan baik sehingga identitas individu tetua pohon sebagai jantan dari setiap generasi zuriat tidak diketahui. Dengan demikian persilangan antara tetua GKN dan tetua DTA yang komposit sulit untuk menentukan pola konstruksi tetua berdasarkan analisis COLONY. Gambar 6.4 Konstruksi pedigree menggunakan piranti lunak COLONY. Identitas tetua pada bagian atas dan keturunannya pada bagian bawah. Garis merah menunjukkan tetua jantan dan garis kuning menunjukkan tetua betina

6.3.2.4 Frekuensi Alel Populasi GKN, DTA dan KHINA-1

Pengelompokan frekuensi alel dari 19 marka SSR pada seluruh populasi KHINA-1, alel 1 sampai 18 1.45 sampai 90.0 yang dikelompokkan ke dalam frekuensi alel tinggi dan 0 sampai 3 alel 0 sampai 4.48 masuk dalam kelompok alel jarang. Mayoritas alel berada pada frekuensi alel rendah 46.27 sampai 52.17 dan frekuensi alel sedang 10.0 sampai 46.38. Populasi DTA memiliki nilai frekuensi alel menengah tertinggi 46.38 dan frekuensi alel rendah dengan persentase tertinggi 52.17. Alel khusus banyak terdapat di populasi KHINA-1, yaitu 9 alel 13.43 pada P0.05 sedangkan populasi GKN tidak memiliki alel khusus 0. Menurut Rajora et al. 2000 alel khusus berhubungan dengan kemampuan tanaman beradaptasi terhadap kondisi cekaman abiotik dan biotik. Alel khusus ini diduga lebih dipengaruhi oleh seleksi alam dibandingkan terjadinya hanyutan genetik genetic drift Arias et al. 2012. Tabel 6.4 Klasifikasi alel berdasarkan frekuensi alel menurut Buchert et al. 1997 dan Marshall dan Brown 1975 pada populasi tetua dan KHINA-1 Populasi N Tinggi Sedang Rendah Jarang Umum Khusus GKN 20 18 2 20 90.00 10.00 100.00 DTA 69 1 32 36 64 5 1.45 46.38 52.17 92.75 7.25 KHINA-1 67 2 31 31 3 58 9 2.99 46.27 46.27 4.48 86.57 13.43 Frekuensi dihitung berdasar pada = Buchert et al. 1997; = Marshall dan Brown 1975; N= jumlah alel per populasi

6.3.2.5 Heterozigositas Antar Populasi GKN, DTA dan KHINA-1

Parameter keragaman genetik dari populasi tetua dan KHINA-1 ditampilkan pada Tabel 6.5. Nilai heterozigositas pengamatan Ho berada pada kisaran 0.05 sampai 0.64, sedangkan heterozigositas harapan He pada kisaran 0.03 sampai 0.59. Hasil analisis terhadap tiga populasi, nilai heterozigositas pengamatan Ho seluruhnya lebih tinggi terhadap heterozigositas harapan He. Nilai Ho yang lebih besar daripada nilai He menunjukkan bahwa lokus tersebut memiliki tingkat heterozigositas yang tinggi. Sebaliknya, jika He lebih besar dari Ho, maka lokus tersebut memiliki tingkat heterozigositas yang rendah Govindaraj et al. 2015. Tabel 6.5 Parameter keragaman genetik pada populasi GKN, DTA dan KHINA-1 berdasarkan nilai heterozigositas pengamatan Ho dan heterozigositas harapan He Populasi Jumlah sampel Ho He GKN 10 0.05 0.03 DTA 15 0.64 0.59 KHINA-1 72 0.56 0.53 Rerata 0.42 0.38

6.3.2.6 Nilai Polimorfisme Marka SSR Pada Populasi GKN, DTA dan KHINA-1

Sebanyak 19 marka SSR yang digunakan umumnya bersifat polimorfik. Pada seluruh populasi, nilai rata-rata polymorphic information content PIC tertinggi terdapat pada lokus CNZ 51 yaitu 0.45. Sedangkan nilai PIC terendah pada seluruh populasi terdapat pada lokus CnCir E2 sebesar 0.17. Pada populasi GKN, nilai PIC tertinggi terdapat pada lokus CnCir 226 yaitu sebesar 0.38, sedangkan lokus yang lain memiliki nilai PIC sama dengan nol. Untuk populasi DTA, nilai PIC tertinggi 0.64 terdapat pada tiga lokus CNZ 21, CnCir C5 dan CnCir E4 dan terendah 0.36. Populasi KHINA-1 memiliki nilai PIC tertinggi dari populasi tetua yang terdapat di lokus CNZ 51 sebesar 0.75 dan nilai terendah pada lokus CnCir E2 0.16. Berdasarkan nilai PIC pada setiap populasi yang diuji, terlihat bahwa nilai rataan PIC terhadap masing-masing populasi masih sangat rendah. Namun nilai PIC pada seluruh populasi kurang informatif terlihat dari nilai rataan yaitu 0.34. Hanya 4 marka CNZ 51, CNZ 21, CnCir C9, CnCir H11 yang memiliki nilai PIC diatas 0.4 yaitu secara berurutan 0.45, 0.42, 0.42 dan 0.41. Nilai PIC pada 15 marka SSR lainnya di bawah 0.4 yaitu pada kisaran 0.17 –0.37 Tabel 6.6. Berdasarkan hal tersebut, 4 marka SSR yang digunakan dalam penelitian ini cukup informatif di dalam membedakan individu dalam populasi yang diuji. Berdasarkan Okoye et al. 2016, nilai PIC lebih dari 0.7 menunjukkan marka yang digunakan sangat informatif. Sedangkan PIC 0.4 menunjukkan marka cukup informatif.