b. Kompleksitas; AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. c.
Saling ketergantungan; AHP mencerminkan kecenderungan alami dari pemikiran untuk memilih elemen dalam suatu sistem dengan berbagai
tingkat yang berlainan dan pengelompokkna unsur serupa dalam setiap tingkatan.
d. Pengukuran; AHP menghasilkan satu skala untuk mengukur hal-hal dan
terwujudnya suatu metode untuk menetapkan prioritas. e.
Konsistensi; AHP melacak konsistensi logis dari berbagai pertimbangan yang dipakai untuk menetapkan berbagai prioritas.
f. Sintesis; AHP menuntun kepada taksiran menyeluruh tentang kebaikan
setiap alternatif. g.
Tawar menawar; AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi dapat memilih
alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditentukan. h.
Pemilihan konsensus; AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang
berbeda. i.
Pengulangan proses; AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka atas satu persoalan dan memperbaiki berbagai
pertimbangan serta pengertian mereka melalui berbagai pengulangan.
2.6 Aransemen Kelembagaan
Kebijakan pengelolaan sektor perikanan dan kelautan masing belum terintegrasi dengan aransemen kelembagaan pembangunan. Hal tersebut
dijelaskan oleh Kusumastanto 2010 yang diacu dalam Rudiyanto 2011 bahwa penanganan suatu kasus pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik
kepentingan daripada solusi integral. Upaya merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus didukung oleh suatu kelembagaann
yang melibatkan
pihak-pihak terkait
pada tingkat
lembaga politik,
diimplementasikan ke lembaga departemen dan non departemen yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan pengelola sumberdaya kelautan, stakeholders dan masyarakat. Arahan kebijakan tersebut pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi
politik yang menjadi tanggung jawab bersama semua level institusi eksekutif dan legislatif
yang mempunyai
keterkaitan kelembagaan
maupun sektor
pembangunan.
2.7 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Pulau Pasaran telah dilakukan oleh Helda 2004. Penelitian ini mengenai analisis nilai tambah pengolahan ikan teri di Pulau
Pasaran Provinsi Lampung. Berdasarkan hasil analisis, usaha pengolahan ikan teri masih menguntungkan walaupun pengolahannya masih tradisional. Nilai tambah
dari pengolahan produk adalah Rp950,82 per kg, dengan rata-rata rasio nilai tambah sebesar 18,16. Marjin yang diperoleh pengolah sebesar Rp1.342,67 per
kg terdiri dari pendapatan tenaga kerja perebus 2,6, pendapatan penjemur 3,61, pendapatan sortir 0,52, sumbangan input lain 29,18, dan tingkat
keuntungan sebesar 64,09. Penelitian mengenai biaya transaksi telah dilakukan oleh Anggraini
2005. Penelitian tersebut membandingan komponen biaya transaksi pada Nelayan Diesel dan Nelayan kincang, serta biaya transaksi petani pemilik dan
petani penggarap. Rasio biaya transaksi-penerimaan Nelayan Diesel adalah 0,10 dan Nelayan Kincang 0,17. Rasio biaya transaksi-biaya total Nelayan Diesel
adalah 0,15 dan Nelayan Kincang adalah 0,24. Dari sisi petani, rasio biaya transaksi-penerimaan petani pemilik 0,19 dan petani penggarap 0,18, sedangkan
rasio biaya transaksi-biaya total petani pemilik adalah 0,30 dan petani penggarap adalah 0,21. Penelitian ini memiliki kelebihan yang lebih detil karena
membandingkan biaya transaksi nelayan dan petani dalam kondisi yang berbeda. Penelitian mengenai analisis kelembagaan dan biaya transaksi juga telah
dilakukan oleh Suhana 2008, Marasabessy 2010, dan Rudiyanto 2011. Aspek yang diteliti oleh masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Pada penelitian
Suhana 2008 analisis stakeholders melalui pemetaan aktor grid dan peran masing-masing aktor dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhan
Ratu, Sukabumi. Total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan setiap tahunnya
mencapai Rp 9.962.500. Tingkat diskonto 12 memperlihatkan jangka waktu lima tahun biaya keefektifan pemerintah mencapai Rp783.140.270,15 jauh lebih
tinggi dibandingan dengan kelompok nelayan yang mencapai Rp25.521.874,33. Penelitian oleh Marasabessy 2010 mengidentifikasi aktor yang berperan
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan melibatkan pihak
pemerintah, swasta, dan nelayan. Biaya transaksi pemberian paket bantuan di Kecamatan Leihitu berupa biaya seleksi sebesar Rp7.025.000, biaya pembinaan
sebesar Rp5.300.000, dan biaya monitoring sebesar Rp6.900.000. Penelitian ini memiliki kelebihan karena terdapat kelompok pembanding dalam satu kecamatan
Leihitu yang menerima paket bantuan lainnya dalam menganalisis rasio biaya transaksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Rudiyanto 2011 menganalisis kelembagaan dan biaya transaksi dalam pengelolaan Sea Farming di Pulau
Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Berdasarkan hasil penelitian, total biaya transaksi kelompok sea farming adalah sebesar Rp875.000
per tahun. Biaya tersebut lebih banyak dikeluarkan untuk kegiatan operasional bersama. Efektifitas biaya transaksi mencapai 0,13 yang mengindikasikan
penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif. Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak ada pembanding dalam analisis biaya transaksi,
sehingga analisis kualitatif terhadap rasio biaya transaksi terkesan subjektif. Penelitian mengenai Analytic Hierarchy Process dilakukan oleh Arti 2011
untuk menilai strategi kebijakan pemerintah terkait dengan industri kelapa sawit nasional di PTPN IV Medan. Hasil penelitian mengenai analisis faktor yang yang
mempengaruhi industri kelapa sawit adalah keamanan berusaha, teknologi produktivitas, investasi, pemberdayaan masyarakat, daya saing, sarana pra
saranan, dan situasi politik ekonomi. Hasil analisis kebutuhan AHP masing- masing faktor, aktor, dan tujuan diperoleh strategi kebijakan yang paling dominan
dan sangat menentukan adalah penetuan harga tandan buah segar. Penelitian lainnya yang menggunakan metode AHP adalah Ruswandi
2009 yang merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Ciamis sebagai masukan bagi pemerintah. AHP