Latar Belakang Analisis Kebijakan Ekonomi Kelembagaan Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran Kota Bandar Lampung

Arahan strategi kebijakan dievaluasi dengan struktur hirarki untuk menentukan kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal. Kajian penelitian ini hanya difokuskan pada pengembangan kawasan minapolitan di bidang pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti, departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, industri pengolahan ikan teri dan pemerintah. Manfaat yang didapat peneliti adalah sebagai tambahan pengetahuan dalam mengaplikasikan teori-teori yang telah diajarkan di perkuliahan khususnya dalam pengembangan ekonomi kelembagaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengembangkan teori-teori terkait pengurangan disparitas pembangunan kawasan pesisir melalui pengembangan kawasan minapolitan. Pengembangan klaster dikalangan industri pengolahan ikan teri dan nelayan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kerja sama yang menguntungkan, serta perbaikan kapasitas masyarakat mengenai teknik pengolahan hasil-hasil perikanan yang ramah lingkungan. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klaster Industri

Teori klaster industri yang dikembangkan oleh Porter 1990 menyatakan bahwa industri nasional akan kompetitif secara internasional jika terjalin sinergi interrelationship diantara empat variabel dalam Diamond Factor Model, yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan lokal, kesesuaian dan dukungan industri,strategi perusahaan, struktur, dan persaingan, serta dua pengaruh penting dari kesempatan dan pemerintah. Klaster merupakan konsentrasi geografis perusahaan yang saling terhubung, pemasok terspesialisasi, penyedia jasa, perusahaan di industri terkait, dan institusi yang berkaitan dan berkompetisi dengan bidang tertentu. Menurut Daryanto 2010 klaster adalah kelompok usaha yang terdapat dalam suatu kesatuan geografis yang terkait dari hulu sampai hilir dan terlibat dengan aktivitas penunjang seperti pembiayaan serta lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang aktivitas usaha klaster. Hubungan antar perusahaan dalam klaster bersifat vertikal dan horizontal. Bersifat vertikal adalah mekanisme rantai pembelian dan penjualan, sedangkan horizontal melalui produk dan jasa komplementer, penggunaan input terspesialisasi, teknologi, dan institusi. Indikator keberhasilan struktur klaster adalah industri penghela yang berorientasi ekspor dan berkaitan dengan industri pemasok. Komponen keberhasilan tersebut didukung oleh tatanan kelembagaan yang diilustrasikan pada Gambar 1 dalam piramida kunci klaster. Klaster didefinisikan oleh Soetrisno 2009 adalah pendekatan pembangunan yang melibatkan pola pengelompokkan usaha sejenis dalam suatu kawasan industri maupun manufaktur. Pengelompokkan Klaster dapat dipertimbangkan dalam upaya mencegah dampak negatif ketimpangan pembangunan di era otonomi daerah saat ini. Tujuan pembentukan klaster industri adalah untuk meningkatkan omset dari hasil pengelompokan yang disertai dukungan pemerintah dalam hal infrastruktur dan pelayanan jasa harus tumbuh menjadi sebuah ekonomi yang dapat hidup dengan kekuatan pasar. Klaster Leader Firms Sistem pemasok pemasok bahan baku, komponen, dan jasa Economic Foundations sumberdaya manusia, penelitian dan teknologi, sumberdaya kapital, iklim usaha, infrastruktur fisik, dan kualitas hidup industri adalah upaya untuk mengurangi biaya transportasi dan transaksi dalam suatu sektor usaha untuk meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif, serta mendorong terciptanya inovasi. Gambar 1. Komponen Kunci Klaster Industri Sumber : SRI International 2007 dalam Daryanto 2010

2.2 Kerangka Analisis Kelembagaan

Ekonomi politik selalu berkaitan dengan pembatasan kelembagaan dalam suatu pengelolaan sumberdaya. Deliarnov 2006 menjelaskan terdapat tiga lapis kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main, serta kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan. Lebih lanjut Deliarnov 2006 menyatakan bahwa kelembagaan sebagai norma dan konvensi merupakan aransemen yang didasari oleh konsensus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakan oleh keluarga, masyarakat, dan adat. Kelembagaan sebagai aturan main umumnya bersifat formal dan tertulis. Bogason 2000 yang diacu dalam Suhana 2008 menyebutkan tiga level aturan main, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Level aksi merupakan aturan langsung yang biasanya tercantum standar atau rules of conduct. Level aksi kolektif merupakan aturan untuk aksi berupa kebijakan di masa mendatang, sedangkan level konstitusi merupakan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa mendatang. Aturan pada level konstitusi biasanya tertulis secara formal dan dikodifikasi. Kerangka analisis kelembagaan menurut Ostrom et al 1997 adalah sebuah kerangka berpikir yang dapat membantu mengidentifikasi variabel yang relevan untuk dikembangkan serta menyediakan bahasan yang lebih luas mengenai spesifik teori pembahasan yang akan digunakan. Langkah dalam pendekatan analisis kelembagaan adalah dengan mengidentifikasi unit konseptual yang disebut arena aksi dengan fokus kepada analisis, prediksi, dan penjabaran dari kebiasaan serta outcomes yang mutlak didapatkan. Arena aksi terdiri dari situasi aksi dan komponen aktor. Situasi aksi dapat dicirikan dengan menggunakan beberapa variabel, yaitu partisipan, posisi, aksi, potensial outcomes, fungsi pemetaan aksi terhadap outcomes, informasi, serta biaya dan manfaat setiap aksi dan outcomes. Komponen lain, aktor, merupakan partisipan pada situasi aksi yang memiliki preferensi, informasi, kriteria pemilihan dan sumberdaya. Langkah selanjutnya dalam kerangka analisis kelembagaan adalah mengevaluasi outcomes yang didapatkan menggunakan kriteria evaluasi. Kriteria evaluasi sangat berkaitan erat dengan konsep efisiensi dan pareto optimal. Konsep lainnya yang juga berhubungan adalah prinsip keadilan sangat penting dalam menentukan tipe aturan yang dipertimbangkan untuk diterapkan dalam suatu komunitas. Kriteria aturan yang diturunkan kepada generasi di masa mendatang tanpa pengenalan substansi eror masih menjadi kriteria lainnya. Kerangka analisis kelembagaan dapat diilustrasikan pada Gambar 2.

2.2.1 Tata Kelola Sumberdaya Perikanan

Terdapat tiga pilar kelembagaan dalam manajemen perikanan menurut Jentoft 2004, pertama, pilar kebijakan the regulative pillar yang mengatur tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh pelaku perikanan, misalnya peraturan mengenai kuota tangkap dan alat tangkap yang diperbolehkan. Kedua, pilar normatif the normative pillar yang menjelaskan mengenai implementasi kebijakan perikanan yang memperhitungkan resiko pada pelaku sektor perikanan